Hikmat Budiman, Mentor dan Penulis yang kukagumi

Opini1146 Views

Oleh Ridwan al-Makassary

Perjumpaan ide dengan Hikmat Budiman (selanjutnya disebut Hikmat) berlangsung di Yogyakarta, pungkasan 1990-an. Saya mahasiswa yang gandrung dengan buku-buku bertema ilmu sosial, meskipun sedang kuliah pada jurusan hukum Islam di sebuah kampus.

Saya menemukan buku “Pembunuhan yang Selalu Gagal: Modernisme dan Krisis Rasionalitas menurut Daniel Bell” (Pustaka Pelajar) karya Hikmat di Shopping Centre Yogyakarta dan membelinya. Saya terpukau gaya bahasa yang puitis nan indah dan kemampuannya menjelaskan sesuatu yang rumit sehingga dipahami.

Buku tersebut, sejujurnya, telah menginspirasi saya meningkatkan kemampuan menulis, selain buku Catatan Pinggir, buah karya Gunawan Muhammad yang berjilid-jilid tersebut. Karenanya, saya berhasil menulis satu dua artikel di berbagai media saban bulan dan senang dapat honor tulisan untuk biaya hidup.

Kegemaran pada ilmu-ilmu sosial telah mengantarkan saya menyelesaikan tesis pada jurusan Sosiologi UGM di bawah bimbingan Profesor Heru Nugroho, yang juga diterbitkan menjadi buku dengan judul “Kematian Manusia Moderen: Nalar dan Kebebasan Menurut C.Wright Mills” (UII Press).

Baca Juga: Asuh Anak Dengan Cinta, Pasti Bahagia: Refleksi Hari Anak Nasional dalam Masa Pandemi dan PPKM

Terlintas dalam rerimbun ingatan, satu ketika Prof Nugroho masuk kelas dan menunjukkan buku Hikmat Budiman tersebut ke muka mahasiswa dan sangat bangga dengan karya tersebut. Tujuannya saya kira adalah memotivasi mahasiswa untuk menulis dengan baik seperti Hikmat.

Darah muda dan aktivisme membawa saya ke rimba Jakarta. Dalam pencarian kerja, bang Chaider S Bamualim, senior di Yogyakarta, menawari saya sebagai peneliti di Pusat kajian Agama dan Budaya (sekarang Centre for the Study of Religion and Culture UIN Jakarta). Satu ketika bang Chaider meminta saya untuk mengikuti Forum Interseksi di Sela Bintana Sukabumi yang mengumpulkan aktivis dan pemikir muda, di antaranya Philips Vermonte, Nur Khoiron, Sapei Rusin, untuk menyebut beberapa.

 

Supel, Ramah dan Humoris

Pertama kali ketemu dengan Hikmat secara fisik, kesan saya beliau supel, ramah dan humoris. Juga, pengetahuannya yang luas dan perkenalannya dengan banyak intelektual tanah air dan pemikirannya. Kami ngobrol cukup lama seperti orang yang sudah kenal bertahun-tahun padahal baru berjumpa.  Mungkin juga karena kami sama-sama dibimbing oleh Prof Nugroho dan berbagi pengalaman di Yogya sehingga cepat klik. Setelah itu, saya membersamai beberapa forum interseksi di Kuningan dan Bandung, dan sejumlah kegiatan Interseksi lainnya.

Singkat kata, ingatan akan forum Interseksi adalah ingatan akan pergumulan intelektualitas yang menyenangkan dengan sejumlah pemikir muda, dan rerata pemikir muda tersebut kagum akan kepiawaian Hikmat dalam menulis dan berbicara. Gabungan kemampuan yang tidak dimiliki semua skolar atau aktivis.

Perjumpaan saya dengan Hikmat semakin intens di Yayasan Interseksi. Setelah dia meninggalkan Japan Foundation yang memberinya banyak kemewahan, dia mengundang saya untuk terlibat dalam pendirian Yayasan Interseksi dengan dana yang hampir tidak ada. Bersama Nur Khoiron, Mashudi Nursalim kami mencari sebuah kantor awal di wilayah Pancoran.

Saya dipercaya mencari staf administrasi dan bendahara, termasuk mewawancarai yang akhirnya terpilih. Teman-teman Interseksi lain acap datang kalau ada rapat, oleh karena masing-masing cukup sibuk dengan tugas di kantor masing-masing.  Pada masa formative years ini, Tifa Foundation memberikan beberapa program, termasuk Hak Minoritas yang diterbitkan menjadi buku yang banyak dipuji tersebut.

Kantor Interseksi kemudian pindah ke Lenteng Agung dan secara rutin melakukan dialog-dialog keIlmuan di sana dengan berbagai akademisi dan skolar yang baru selesai S3. Bersama Hikmat Budiman, saya bersyukur banyak belajar tentang cara menulis yang baik dan membuat proposal, yang nantinya berguna bagi saya sebagai penulis dan pembuat proposal untuk funding.

Selain jejaring dengan alumni Interseksi yang lain. Saya beberapa kali menemaninya ketemu dengan funding dengan menyewa taksi, dan tidak semuanya membuahkan hasil yang positif.

 

Sangat Peduli pada Teman

Hikmat adalah orang yang peduli. Satu waktu dia membelikan saya ikan sembilang agar istri saya cepat hamil dan memperoleh keturunan. Waktu itu sudah memasuki tahun ke tiga usia pernikahan saya. Bahkan dia membantu sewaktu istri saya operasi kista, dan tidak lama setelah itu istri saya hamil dan melahirkan anak semata wayang, yang saat ini sudah menginjak Year 7 di Perth, Australia.

Takdir tak dapat ditolak, hubungan kerjasama saya dengan Hikmat tidak berlangsung lama, ketika saya meninggalkan Yayasan Interseksi karena mengejar prioritas yang lain. Tidak lama kemudian saya melanjutkan studi S2 di Sydney dan kembali ke Papua untuk menjadi seorang peacebuilder dan mengabdi sebagai dosen di kampus.

Sejak meninggalkan Yayasan Interseksi, saya hilang kontak dengan Hikmat. Sesekali saya masih membaca buku terbitan Interseksi yang terbaru dan tidak pernah gagal untuk terpukau dengan output riset-riset Interseksi yang dieditori Hikmat.

Saat saya meniti jalan sunyi intelektual di Perth, beberapa bulan terakhir para pegiat Interseksi dan sejumlah alumni yang pernah ikut kegiatan Forum Interseksi terhubung dalam satu grup Whatsapp yang dikomandoi oleh Philips dan Irine. Meskipun saya lebih banyak menyimak obrolan di grup, saya senang dan bersyukur pernah berada dalam komunitas tempat kami sama-sama beraktualisasi.

Pada pagi hari 18 Juli 2021 yang dingin di negeri angsa hitam, berita kelabu menghampiri. Hikmat Budiman telah dipanggil oleh yang kuasa di masa pageblug yang mengganas di tanah air. Seorang pemikir ilmu sosial yang karya-karyanya kuat berbasis data lapangan telah berpulang ke hariban Tuhan. Pada malam harinya saya khusyuk mengikuti acara “Mendoakan dan Mengenang Hikmat” yang diselenggakan oleh alumni Interseksi yang dibuka untuk umum, termasuk teman-teman kuliahnya dan teman yang mengenalnya dalam

berbagai organisasi dan kesempatan. Saat menulis kenangan ini di kantor pagi ini, saya masih tidak percaya beliau telah dipanggil Tuhan. Selamat jalan bang Hikmat dalam keabadian. Karya-karyamu akan abadi dan terima kasih telah menjadi mentor, guru dan abang selama saya membersamai Yayasan Interseksi. Lahu al-fatihah.

 

Ridwan al-Makassary, aktivis perdamaian, sedang studi S3 di University of Western Australia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *