Indonesia Economic Outlook 2023: Tumbuh di Tengah Perlambatan Global

Jakarta, 3 November 2022. LPEM FEB UI melaksanakan kegiatan press conference Indonesia Economic Outlook 2023 yang bertajuk “Rising Against The Odds”. Acara Indonesia Economic Outlook kali ini dilakukan dalam rangka memperingati Dies Natalis Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI).

Agenda kegiatan diawali dengan pembukaan dari Vid Adrison, Kepala Departemen Ilmu Ekonomi FEB UI. Presentasi Indonesia Economic Outlook 2023 dipaparkan oleh Jahen F. Rezki selaku Kepala Kajian Ekonomi Makro LPEM FEB UI yang dilanjutkan oleh presentasi dari Teuku Riefky dan Faradina A. Maizar selaku Peneliti LPEM FEB UI.

Dalam press conference ini, Jahen memaparkan kondisi perekonomian Indonesia dalam beberapa waktu terakhir. Jahen menjelaskan, “Dibandingkan negara lainnya, Indonesia merupakan salah satu negara yang dapat bertahan dengan cukup baik di tengah krisis akibat pandemi Covid19”.

Pertumbuhan PDB Indonesia pada triwulan-II 2022 di atas ekspektasi, yaitu sebesar 5,44% (y.o.y) di Triwulan-II 2022. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya karena adanya aspek musiman periode Ramadhan dan Idul Fitri yang jatuh di triwulan kedua tahun ini berkontribusi menopang tumbuhnya konsumsi masyarakat.

Selanjutnya, lonjakan harga komoditas akibat ter-eskalasinya tensi geopolitik dan berlanjutnya pemulihan ekonomi global menguntungkan Indonesia sebaga net eksportir komoditas energi utama, seperti batubara dan CPO, dalam bentuk tingginya nilai ekspor dan penerimaan pajak.

Faktor terakhir yang mendorong kuatnya pertumbuhan ekonomi Triwulan-II 2022 adalah keputusan pemerintah Indonesia untuk menaikkan subsidi BBM dan menunda kenaikan harga di tengah meroketnya harga minyak global membantu mengendalikan inflasi dan menjaga daya beli masyarakat.

Hal menarik lainnya yang dibahas dalam paparan Jahen adalah utang negara. Dalam menghadapi krisis, pada umumnya pemerintah meningkatkan belanja, dimana hal ini dapat menjadi stimulus membantu perekonomian.

Akan tetapi, dengan meningkatnya pengeluaran negara ada harga yang harus dibayarkan yaitu kenaikan utang.

Baca juga : LPEM FEB UI  Mendorong Pemulihan Ekonomi Global Berkelanjutan Melalui Forum G20

“Level utang baseline di negara-negara maju mungkin berbeda dengan negara berkembang. Bagi negara berkembang yang memiliki tingkat hutang lebih tinggi, tidak mudah bagi mereka untuk mengeluarkan hutang baru yang tentunya akan berdampak signifikan” jelas Jahen.

Berkat pengelolaan utang yang baik selama periode sebelum Covid-19 dan selama masa krisis pandemi, Indonesia tidak termasuk pada golongan negara yang menghadapi risiko gagal bayar di 2022 dan 2023.

Pada sesi selanjutnya, Teuku Riefky memaparkan mengenai highlight kondisi makroekonomi Indonesia dan estimasinya pada sisa tahun 2022 hingga kondisi di tahun 2023.

Dengan pertumbuhan ekonomi 5.72% (y.oy) di Triwulan—III 2022, LPEM memprediksi PDB Indonesia akan tumbuh 5,35% untuk FY 2022 dengan didorong olehlow-base effect, performa surplus neraca perdagangan, dan konsumsi domestik.

Sementara itu, untuk tahun 2023 LPEM mengestimasi pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan pandangan optimis sebesar 5% di tengah perlambatan global.

Sesi terakhir yang dibawakan oleh Faradina A. Maizar menjelaskan lebih detail mengenai kondisi Hutang Indonesia. Krisis Covid-19 telah mengakibatkan dampak asimetris beban utang antar kelompok negara.

Rasio utang terhadap PDB kelompok negara maju ‘hanya’ meningkat sebesar 8,5% menjadi 112,4% pada tahun 2022 dari 103,9% pada tahun 2019, sedangkan rasio utang terhadap PDB negara-negara pasar berkembang dan ekonomi berpenghasilan menengah meningkat sebesar 10,5% (dari 54,5% menjadi 65,1%) selama periode yang sama.

Secara umum, pasar negara berkembang dan ekonomi berpenghasilan menengah memiliki ruang fiskal yang lebih terbatas dibandingkan dengan negara maju, dan masalah utang mereka telah diperburuk oleh akumulasi utang relatif yang lebih tinggi selama periode Covid-19.

Seperti yang dijelaskan oleh Jahen sebelumnya, Indonesia tidak menghadapi risiko gagal bayar dibandingkan negara berkembang lainnya. Performa pengelolaan fiskal yang baik juga telah mampu membuahkan peningkatan credit rating Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

Namun, tantangan terkait isu utang di waktu mendatang tidak akan mudah. Berlanjutnya tekanan depresiasi dan era suku bunga tinggi membuat pengelolaan utang semakin menantang.

“Oleh karena itu, pengelolaan utang perlu terus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian yang tinggi dan perlunya koordinasi erat antara pemerintah Indonesia dan BI” Tutup Faradina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *