Cara Unik Memupuk Toleransi Siswa: Pengalaman dari Teen Religion Camp Sekolah Global Mandiri Jakarta

Kabar Damai | Kamis, 25 Maret 2021

 

Oleh: Muhammad Mukhlisin

 

Selasa, 23 Maret 2021 lalu saya beruntung, bisa bertemu dengan siswa-siswi SMP Global Mandiri Jakarta. Saya diminta sharing soal “The Spirit of Tolerance” pada kegiatan Teen Religion Camp. Kegiatan ini bertujuan untuk membangun empati dan toleransi antar umat beragama antar siswa. Biasanya Teen Religion Camp dilaksanakan di luar kota sembari mengenal komunitas-komunitas lokal, namun karena pandemi kegiatan ini dilaksanakan secara daring.

Ada cerita menarik yang saya temui tadi pagi. Seperti biasa, sebelum pembelajaran yang lebih serius. Saya memulai kegiatan dengan bermain-main. Ada beberapa pertanyaan yang saya ajukan dan mereka menjawab dengan spontan di fitur chat zoom. Misalnya, berapa jumlah provinsi di Indonesia. Dan mereka menjawab beragami. Ada menjawab 34, 35, 30-an, dll. “I think, Timor Leste still part of Indonesia, so 35,” salah satu chat siswa.

Ketika saya tanya, “apa yang membedakanmu dengan teman-temanmu?” Mereka menjawab macam-macam. Agama, etnis, racialism, interest, hobi, face, dll. Lalu, “apa yang kamu rasakan dengan perbedaan itu?” Mayoritas menjawab, “biasa saja” dan sebagian kecil menjawab “penasaran”. Dari sini saya sudah dapat pemetaan awal, siapa di kelas ini yang tertarik dengan isu toleransi yang akan saya paparkan.

Dalam pembelajaran daring, pemetaan awal siswa seperti ini saya anggap penting. Biasanya dalam pembelajaran luring (offline) untuk memastikan siswa-siswa siap belajar, saya perhatikan betul mimik muka, tatapan mata dan gerak tubuh untuk memastikan murid benar-benar dalam ruangan kelas baik fisik maupun perhatian mereka.

Oke, dari asesmen awal, tidak ada yang menunjukkan masalah dalam menghadapi keragaman, dan mereka sudah paham keragaman yang ada di sekitar. Sampai akhirnya saya munculkan satu gambar. Anak-anak menjawab beragam, ada yang bilang itu gambar nenek-nenek lalu ada yang bilang perempuan muda. Ya, memang saya menunjukkan gambar itu untuk belajar “perspektif”. Jadi wajar jika ada yang menangkap berbeda-beda.

Baca juga: Sepuluh Tips Menguatkan Toleransi dalam Kehidupan

Tapi ada yang jawab, “Costume Among Us”, Lalu saya bertanya, apa itu among us? Ada yang menjawab, “this is great game Mr”. Lalu ada menimpali dalam komentar chat, “this is bad game Mr”. Beberapa chat saling menimpali, ada yang setuju dan tidak terhadap among us.

“Why we distolerance (mungkin maksudnya intolerance) to Among Us?”

Nah, perdebatan ini kemudian yang saya jadikan bahan untuk diskusi perbedaan perspektif seseorang, dan toleransi. Toleransi tidak hanya persoalan SARA, tapi juga soal interest dan hobi. Tidak jarang juga orang konflik karena hobi, misalnya tawuran suporter sepak bola. Contoh kecil saja.

Akhirnya diskusi berjalan seru dan menyenangkan. Beberapa pertanyaan disampaikan secara terbuka. Saya sendiri merasa cukup kaget dengan pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan. Misalnya, “apakah kita perlu bertoleransi terhadap orang yang berideologi kiri?” “Kenapa kita perlu berpikir kritis dan kreatif, bukankah tidak semua orang bekerja di industri kreatif?”

Sampai terakhir, ada yang berkomentar, “Terima kasih Mr, saya tertarik dengan toleransi, saya akan membaca buku-buku toleransi” sampai disini, rasanya kopi gak pakai gula pun terasa manis.

Beruntung sekali kalian belajar di sekolah yang mengembangkan kemerdekaan dan berpikir kritis sejak dini. [ ]

 

Muhammad Mukhlisin, Kepala Sekolah Guru Kebinekaan Yayasan Cahaya Guru, Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *