Pernikahan Beda Agama: Se-Amin Namun Tak Se-Iman yang Dilegalkan

Oleh: Siti Fatimathus Z

Pernikahan merupakan suatu ikatan suci yang merupakan hak masing-masing individu dengan dilegalkan oleh agama dan negara. Dalam perjalanan beberapa waktu terakhir di Indonesia sempat digemparkan oleh kasus pernikahan beda agama yang tetap diselenggarakan secara tertutup maupun terang-terangan.

Sebagaimana dikutip melalui laman populis disebutkan bahwa lembaga Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) mencatat sebanyak 1.425 pasangan beda agama yang menikah di Indonesia sejak tahun 2005. Hal tersebut menunjukkan bahwa kekuatan hukum dan penegakan hukum terkait pernikahan beda agama di Indonesia masih semu.

Selain itu, dugaan seperti masyarakat kurang memperoleh edukasi terkait pelaksanaan pernikahan yang sah menurut agama dan negara mungkin benar saja terjadi.

Sebelum pernikahan beda agama dijalankan calon pengantin sebelumnya telah mengalami masa-masa love bombing dalam ikatan pacaran beda agama yang kemudian dimantabkan lagi ke jenjang yang serius yaitu pernikahan. Apabila ditinjau dalam keabsahan hukum perkawinan seharusnya pernikahan beda agama tidak boleh terjadi dan kalaupun tetap dilaksanakan salah satu pasangan harus menyamakan keyakinannya.

Sebagaimana yang dicontohkan dalam Islam dengan memu’alafkan pengantin beda agama sebelum dilaksanakan pernikahan yang sah. Menyikapi hal tersebut, pada masing-masing Kantor Urusan Agama (KUA) telah diberlakukan pendampingan bagi calon pengantin beda agama dengan dibantu menjadi mu’alaf dan diuruskan berkas administrasi kependudukannya kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil).

Apabila ditinjau dalam perspektif pemenuhan hak asasi manusia pemaksaan keyakinan seseorang sebagai syarat pernikahan yang sah adalah merupakan bentuk pembatasan hak karena melukai psikologis seseorang dan menciderai keyakinan yang dianutnya.

Baca Juga: Nasib Pendidikan Anak Pada Pernikahan Beda Agama

Sehingga pada beberapa tempat di Indonesia tetap dilangggengkan dan diperbolehkan untuk pelaksanaan pernikahan beda agama, dengan alasan menghormati keyakinan masing-masing individu. Hal ini juga ditegaskan oleh Direktur Program ICRP Ahmad Nurcholis bahwasannya pernikahan beda agama merupakan realitas di Indonesia yang memiliki keragaman dalam kebhinekaan yang harus dihormati.

Dalam perspektif hukum perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, pernikahan beda agama memang tidak diperbolehkan dan sepatutnya dapat direvisi atau ditinjau kembali. Sebab, undang-undang tersebut mengandung makna yang multitafsir terkait permasalahan pernikahan beda agama di Indonesia.

Menyikapi kasus pernikahan beda agama yang semakin melunjak, pada April 2022 Pengadilan Negeri Surabaya mengeluarkan putusan perizinan pernikahan beda agama yang ditetapkan dalam Penepatan Nomor 916/Pdt.P/2022?PN.Sby dengan alasan pemenuhan hak asasi manusia dan adanya kekosongan hukum.

Hal tersebut tentu menuai pro dan kontra dari masyarakat. Namun, apabila konversi agama dianggap sebagai solusi dari pernikahan beda agama, maka justru akan menciderai keyakinan suci yang dipertahankan oleh masing-masing individu sehingga solusi tersebut dianggap belum solutif.

Sehingga hal kecil yang bisa dilakukan saat ini adalah melakukan pendampingan konseling yang ditawarkan oleh lembaga-lembaga yang menanangi pernikahan beda agama seperti ICRP, Yayasan Percik, dan Yayasan Indonesia Bahagia.

Penulis beranggapan bahwa pelaksanaan pernikahan bukan merupakan ajang untuk saling mengintervensi kepercayaan tertentu. Apabila ditinjau dalam pandangan liberal semua orang berhak untuk mendapatkan kasih sayang juga bersatu dalam ikatan cinta yang disepakati kedua belah pihak, meskipun terdapat perbedaan keyakinan.

Sebab, pada dasarnya cinta merupakan kebutuhan psikologis individu yang dialami secara sadar dan dipertanggungjawabkan oleh pemiliknya. Adanya perbedaan keyakinan seperti slogan generasi saat ini yaitu se-amin namun tak seiman seharusnya bukan menjadi penghalang bagi individu untuk saling mengasihi dalam ikatan suci.

Sehingga, tanpa intervensi untuk melakukan konversi agama pun mereka berhak mempertahankan agama dan cintanya kepada Tuhan dan hamba-Nya dengan tenang, sebagaimana jalan yang mereka pilih.

 

 

Penulis: Siti Fatimathus Z, Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *