Sudhamek: Nilai Pancasila Harus Dijabarkan Menjadi Mentalitas Dasar

Wawancara62 Views

Kabar Damai  | Senin, 03 Mei 2021

Jakarta I Kabardamai.id I Banyak kegiatan yang bisa dilakukan sebagai bentuk pengabdian manusia kepada Tuhan. Dilatarbelakangi niat untuk berbagi ilmu pengetahuan dan ide gagasan demi mengabdikan diri kepada masyarakat, Chairman Garudafood Sudhamek Agoeng Waspodo  terus berpacu dengan waktu demi membuat lingkungan bernilai toleransi yang tinggi.

Sudhamek percaya bahwa sukses itu lahir dari kejujuran, keuletan dan ketekunan yang diiringi dengan do’a. Karena pendalaman pada aspek spiritualitas inilah yang menghantarkan Sudhamek menjadi Ketua Dewan Pengawas Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) dari 2013 hingga sekarang.

Sebagai anak bangsa yang bangga menjadi Warga Negara Indonesia, mengabdi untuk  negara merupakan hal krusial yang menjadi tanggung jawabnya di fase kehidupannya saat ini. Ini merupakan salah satu  prinsip hidup yang Sudhamek praktikkan ketika dirinya dipercaya oleh Presiden Jokowi untuk menjadi Anggota Dewan Pengarah Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) pada tahun 2017 lalu.

BPIP adalah lembaga yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden yang memiliki tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila dan mengarusutamakan nilai-nilai Pancasila. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kolaborasi dengan berbagai pihak dan seluruh komponen bangsa. BPIP merupakan revitalisasi dari Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP).

Dengan dedikasi dan pencapaiannya tersebut, Sudhamek berbagi dan menjawab mengenai hal-hal yang harus dilakukan demi terciptanya bisnis dengan hati. Sebuah bisnis yang dibangun tidak semata mengejar laba tapi justru dijadikan sarana untuk menjadi insan spiritual yang lebih baik dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Berikut petikan wawancara Ai Siti Rahayu dari Kabar Damai yang dilakukan secara daring akhir April 2021 lalu.

Pancasila ditengarai akan hilang sebagai mata pelajaran atau mata kuliah di Lembaga Pendidikan baik formal, informal maupun informal. Bagaimana tanggapan Pak Sudhamek?

Ini persoalan yang sangat besar dan krusial. Saya awali dengan dengan peran dan fungsi Pancasila itu sendiri. Pancasila mempunyai fungsi yang luas. Pancasila bukan hanya ideologi negara dan landasan filosofis serta sekaligus dasar negara Indonesia, tetapi juga sebagai bintang penuntun dan kepribadian bangsa bahkan Pancasila adalah alat pemersatu bangsa. Tanpa Pancasila bangsa Indonesia kemungkinan besar sudah tidak bisa bersatu lagi di kala kita mengalami pancaroba reformasi.

Seperti yang kita ketahui, Pancasila memiliki sejarah panjang bahkan sebelum Indonesia merdeka. Sungguh perlu perjuangan yang berliku dan panjang untuk mewujudkan nilai-nilai Pancasila menjadi realita (habituasi nilai Pancasila).  Pancasila sebagai kepribadian bangsa sangat diperlukan di tengah derasnya pergaulan global yang sangat bisa menggerus identitas dan kepribadian kita. Tapi dengan hidup di tamansari intenasional (global) bukan berarti kita harus menjadi orang (bangsa) lain atau bahkan terseret arus. Di situlah peran penting Pancasila sebagai pemandu dan kepribadian bangsa.

Pembangunan Budaya

Artinya apa? Berbicara tentang habituasi nilai-nilai Pancasila sesungguhnya kita berbicara tentang Nation & Character building atau secara luas pembangunan budaya.  Pembangunan budaya itu baru terjadi apabila nilai-nilai luhur yang dikandung dalam Pancasila bisa mewujud menjadi perilaku.

Pembangunan budaya itu proses panjang yang, bukan overnight job,  diawali dari perumusan mengenai nilai-nilai itu sendiri. Nah, perumusan nilai-nilai luhur itu sudah selesai dilakukan oleh Founding parents kita dengan sangat sempurna, baik pilihan kata, susunannya, dan maknanya yang sangat mendalam dan perennial.

Selanjutnya, nilai-nilai Pancasila tersebut juga harus dijabarkan menjadi mentalitas dasar karena nilai itu sesuatu yang kita junjung tinggi tetapi masih abstrak. Agar tidak abstrak maka perlu didaratkan jadi mentalitas dasar (basic mentality). Namun demikian kita masih belum bisa mengukur apabila hanya berhenti pada  tataran mentalitas, “mind”. Mind itu belum bisa dibaca yang bisa dibaca adalah perilaku. Oleh karena itulah mentalitas dasar perlu kita jabarkan menjadi perilaku kunci (key behaviours). Dengan kata lain pembangunan budaya itu adalah proses pembelajaran dari sejak tahapan kognitif, afektif hingga psikomotorik.

Dengan memahami semua hal di atas, dapat disimpulkan bahwa menghilangkan mata ajar Pendidikan dari Pendidikan dasar, menengah hingga perguruan tinggi adalah merupakan kesalahan besar karena dapat menimbulkan ancaman disintegrasi bangsa. Padahal banyak bangsa lain yang iri dan sekaligus mengagumi karena kita punya ideologi negara, Pancasila.

Menghapuskan mata ajar Pancasila dan pembinaan ideologi Pancasila untuk seluruh warga negara Indonesia berarti juga bertentangan dengan tujuan pendiri bangsa. Karena seperti yang saya sampaikan sebelumnya, Pancasila itu bukan hanya dasar negara tapi di dalamnya juga merupakan nilai yang mencerminkan kepribadian bangsa dan sekaligus menjadi “bintang penuntun”, sebuah arah ideal yang kita tuju dalam jangka panjang. Jadi Pancasila itu bukan hanya relevan pada saat ini tapi juga sangat relevan untuk masa depan kita semua.

Intoleransi, radikalisme, dan terorisme, nampaknya belum juga surut. Apa yang mesti Lembaga interfaith lakukan?

Berbicara perihal radikalisme kita perlu kembali ke Pancasila. Nilai-nilai Pancasila adalah hasil dari sebuah sintesa dan sekaligus konsensus pendiri bangsa, sehingga aneh kalau sebuah sintesa & konsensus masih dipertanyakan lagi eksistensinya. Sekali lagi, Pancasila itu proses kelahirannya panjang, dirumuskan oleh tokoh-tokoh terbaik dengan pikirannya maju dan sangat visioner (primus inter pares).

Baca Juga : Sudhamek, Pebisnis yang Mengedepankan Spritualitas Mengabdi Untuk Negara

Tata urutan sila-sila Pancasila dalam pembukaan UUD 1945 itu sengaja disusun secara deduktif, dari yang abstrak hingga semakin konkret. Namun demikian lima sila itu merupakan satu kesatuan, yang saling menjiwai satu sama lain. Misalnya, kita baru bisa bicara Kemanusiaan yang adil dan beradab apabila jiwa kita dipenuhi dengan jiwa yang penuh dengan cinta kasih. Bukankah itu manifestasi dari Ketuhanan?.

Kata Ketuhanan (Divinity) sengaja yang ditekankan. Jadi sifat-sifat hakiki Tuhan, bukan personifikasiNYA. Demikian pula Persatuan Indonesia akan terjadi bila hidup kita dilandasi dengan semangat kemanusiaan, bahwa kita semua adalah bersaudara, apapun latar belakangnya. Oleh sebab itulah saya katakan bahwa sila-sila Pancasila itu merupakan satu kesatuan. Namun Kita baru bisa memahami semua ini   dengan baik bila dilandasi oleh paradigma non dualitas atau Oneness of Part and Whole. Apabila semua nilai Pancasila sudah terpatri dalam segala ucapan dan tindakan maka segala bentuk radikalisme akan hilang dengan sendirinya.

 

Peran Pemuda san Sosialpreneurship

Bagaimana peran pemuda untuk mewujudkan hal itu?

Terkait ini, ijinkan saya untuk meninjaunya dari sudut ekonomi. Banyak di antara pelaku terorisme yang dilakukan anak muda ada kaitannya dengan kesulitan ekonomi. Jadi keadilan dan kesejahteraan ekonomi adalah salah satu root causes of the problem (terorisme) ini. Untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan ekonomi maka yang bisa dilakukan adalah melakukan pemberdayaan UMKM yang jumlahnya lebih dari 64 juta usaha yang menyerap hampir 120 juta jiwa.

Ketahuilah bahwa generasi muda itu banyak yang kreatif dan innovatif. Ini yang harus diwadahi, difasilitasi dan didampingi sehingga mereka bisa tumbuh menjadi pengusaha yang sukses. Program ini akan efektif dan masif bila menjadi sebuah Government-led program. Yang menggembirakan adalah Presiden Jokowi, dengan segala kegigihannya, telah mewujudkan janjinya (saat pelantikan Presiden) untuk memberdayakan UMKM dengan menyediakan satu Klaster khusus Pemberdayaan UMKM dalam UU Ciptaker yang sempat dihebohkan itu. Ini sebuah kebijakan afirmatif yang sangat perlu disambut dengan baik, dikawal dan didukung untuk dapat diwujudkan bersama.

Apabila UMKM (utamanya dengan wadah koperasi) tumbuh dengan sehat maka kesejahteraan dan keadilan ekonomi, insya Allah, akan juga terwujud dan itu sekaligus akan sangat mengatasi terorisme di Indonesia.

Baca Juga : Sudhamek: Berbisnis dengan Kebersadaran Agung

Tantangan utama dari Lembaga interfaith adalah kemandirian dalam sosial pembiayaan program yang selama ini masih bergantung pada funding. Adakah cara lain untuk keluar dari kubangan itu? Dengan mengembangkan social entrepreneur misalnya? Lalu bagaimana cara memulainya?

Pertanyaan yang sangat bagus.  Sebenarnya social entrepreneur dengan  bentuk bisnis pada umumnya  itu sesungguhnya sama saja. Yang berbeda adalah tujuan dan visi misinya. Selain itu juga ada perbedaan dalam hal kepemilikan dan penggunaan hasil usaha tentu saja. Korporasi atau bisnis pada umumnya, itu ada pemiliknya sedangkan social entrepreneur itu biasanya dimiliki oleh koperasi. Dan kita tahu koperasi itu tidak mempunyai ultimate shareholder karena yang ada adalah anggota.

Selanjutnya, penggunaan laba (sisa hasil usaha) dan kekayaan yang dihasilkan atau dimiliki korporasi itu lebih untuk kepentingan shareholders sedangkan koperasi untuk kepentingan anggotanya. Di sinilah keistimewaan bentuk koperasi. Dengan berbasis pada anggota maka keadilan dan kesejahteraan akan lebih terjamin bila bisnisnya berkembang. Walaupun sebuah koperasi itu bisa saja memiliki anak perusahaan berbentuk perseroan terbatas (seperti halnya korporasi). Tidak ada hambatan bagi koperasi untuk dikelola secara professional. Eksperimen ini paling tidak sudah berhasil saya buktikan dalam organisasi sosial keagamaan yang pernah saya pimpin (2003 – 2013), yaitu MBI (Majelis Buddhayana Indonesia).

Selain alasan di atas, kenapa kami memilih bentuk koperasi ? Karena koperasi itu layaknya pedang bermata dua; dia adalah kekuatan bisnis itu sendiri (jika berkembang dengan baik), yang dan sekaligus adalah sebuah peluang untuk pengembangan dan peningkatan kesejahteraan serta business acumen anggotanya.

Perlu disadari bahwa untuk bisa memberdayakan UMKM itu tidak cukup hanya dibantu dari sisi permodalan tapi UMKM itu harus kita bina, kita dampingi, kita kunjungi, kita kembangkan sedemikian rupa sehingga kemampuan berbisnisnya berkembang.

Walaupun misi social entrepreneur itu berbeda dengan korporasi, tetapi social entrepreneur itu juga harus mendatangkan profit agar tumbuh dengan sehat. Kalau di koperasi disebutnya sisa hasil usaha, kalau di perusahaan disebutnya profit. Tanpa ada sisa hasil usaha (profit), organisasi bisnis apapun tidak akan bisa tumbuh dengan sehat dan kuat. Karena apa? karena sumber uang yang paling baik paling sehat dalam organisasi bisnis (apapun bentuknya) itu adalah  laba atau sisa hasil usaha.

Lalu bisa gak Lembaga yang bergerak dalam bidang keagamaan bisa mewujudkan itu? Jawabannya bisa, sangat bisa karena Lembaga seperti NU, Muhammadiyah juga sudah mengembangkan social entrepreneurship. NU dengan puluhan ribu pondok pesantrennya telah menumbuhkan bisnis yang banyak dan sehat.

Demikian juga Muhammadiyah dengan bisnis rumah sakit dan Pendidikan yang tersebar di seluruh pelosok nusantara yang tumbuh sehat dan besar telah menjadi salah satu tulang punggung bagi organisasi Islam mainstream ini. Sebagai Ketum MBI (2003 – 2013) saya juga belajar tentang hal ini.

Jadi tentu saja ICRP juga bisa melakukan hal yang sama dengan membangun usaha dengan wadah yang sehat. ICRP sebagai Yayasan bisa saja langsung membentuk perseroan terbatas (PT). Kenapa PT? bentuk inilah yang lebih disukai oleh dunia perbankan. [ ]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *