Suara Keberagaman: Tokoh Agama Perempuan Mengakhiri Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Kabar Utama160 Views

Jakarta | Kabardamai.id | Tujuh tokoh agama perempuan berdialog di Gedung RRI Jakarta untuk membahas upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, Jumat (8/9). Dialog ini diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dan JalaStoria Indonesia.

 

Perwakilan tokoh agama yang hadir di antaranya, Nur Rofiah dari Islam, Sr. Stefani Rengkuan dari Katolik, Pdt. Sifra Glorianthy N dari Kristen,  Kadek Nur Mantik dari Hindu, Dharmika Pranidhi dari Buddha, Ponny Wijaya dari Konghucu dan Is Wediningsih dari Penghayat Kepercayaan.

 

Selain itu, turut hadir Direktur Eksekutif JalaStoria, Ninik Rahayu dan Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan KPPPA, Eni Widiyanti. Dalam dialog itu ketujuh tokoh agama memberikan pendapat dan masukan tentang isu KDRT menurut agama masing-masing dan memaparkan mekanisme pelaporan bila jamaahnya melapor kasus kekerasan.

Ponny Wijaya dari Konghucu menekankan bahwa laki dan peremuan saling membutuhkan dan menyelaraskan.

“Tokoh agama sering menyampaikan pada saat pernikahan, ada pembekalan supaya pembekalan hidup harmonis. Kita selalu bongkar dan memberikan pembekalan sebelum adanya pernikahan. Kami juga mensosialisasi UU PKDRT dengan khutbah untuk menyampaikan ke semua umat,” kata Ponny.

 

Hindu menyediakan konseling pernikahan untuk keluarga dan juga pasangan baru. Kadek Nur Mantik dari Hindu mengatakan apabila ada kasus KDRT, keluarga harus bisa memberikan kenyamanan untuk korban, dan tidak ditutup-tutupi yang ujung-ujungnya justru menyalahkan korban.

“Pemuka pemuka agama Hindu selalu mengingatkan insan yang akan menikah untuk bahagia,  sejahtera lahir dan batin baik laki-laki atau perempuan,” kata Kadek

 

Sr. Stefani Rengkuan dari Katolik mengatakan di gereja katolik sudah aktif mengupayakan penghapusan KDRT sejak lama. Bahkan Gereja Katolik sudah memiliki mekanisme untuk menindaklanjuti KDRT.

“Kami dari tingkat KWI memiliki komisi dan membuat jejaring hingga ketingkat keuskupan, Ada 37 keuskupan di Indonesia. Selain itu ada mekanisme untuk jemaah yang mengalami KDRT. Kami mencoba meminimalisir kasus KDRT,” kata Stefani.

 

Sedangkan Pdt. Sifra Glorianthy N. dari Kristen mengatakan Gereja Kristen Pasundan punya kepedulian terhadap KDRT saat ini. Para pendeta dibekali pembinaan dan training keadilan gender.

“Kami diberikan pemahaman bahwa laki-laki dan perempuan sejajar. Kami dibekali membaca alkitab dengan mata baru. Dibalik kisah kekerasan dalam alkitab, kita harus hidup berkeadilan. Ada pembekalan suami istri [sebelum menikah] bahwa hubungan mereka setara,” kata Sifra.

 

Is Wediningsih dari Penghayat Kepercayaan menyatakan bahwa jamaah mengadakan sarasehan setiap minggu. Saat ini ada 109 kepercayaan di Indonesia.

“Kita saling berbagi tugas, 109 kepercayaan seluruh Indonesia. Kebahagiaan itu bukan hanya untuk laki-laki tetapi juga mutlak. Penghayat sangat antusias soal ini, dan menimba ilmu terus. Pemuka penghayat ada konseling pernikahan,” kata Is.

 

Nur Rofiah dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) mengatakan kekerasan yang terjadi karena banyak akar permasalahan. Dia menekankan bahwa beberapa akar permasalahan adalah tafsir agama dan kesadaran.

“Pemahaman agama yang menyebabkan banyak tindakan kekekerasan untuk perempuan. Peradaban yang kita miliki panjang sekali kekerasan pada perempuan,” kata Nur Rofiah.

Baca juga: Perjuangan Perempuan Melawan Tradisi Adat (kabardamai.id)

Dia menjelaskan ada problem besar dimana orang masih melihat perempuan sebagai objek, baik sebagai alat seksual dan mesin reproduksi. Kondisi ini masih terjadi sampai sekarang. Nur Rofiah memberikan beberapa solusi untuk mengurangi kekerasan pada perempuan. Salah satunya adalah memastikan lembaga-lembaga keagamaan sendiri bebas dari kasus kekerasan.

“Misalnya pesantren. Ini masih jadi tantangan untuk kami,”kata Nur Roriah.

 

Sedangkan Dharmika Pranidhi dari Buddha menekankan bahwa dalam Buddha masih banyak pemuka agama yang belum paham bagaimana konsep kekerasan perempuan dan bagaimana menjadikan perempuan seutuhnya.

“Umat juga banyak yang belum sadar bahwa telah terjadi kekerasan dalam rumah tangga,” kata Dharmika.

 

Pada awal minggu lalu, KPPPA menyebutkan bahwa dalam 18 bulan terakhir telah terjadi 15.921 kasus kekerasan pada perempuan.

Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA) mencatat data pelaporan kasus kekerasan yang terjadi saat ini, sepanjang tahun 2022 sampai dengan bulan Juni 2023 terdapat 15.921 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dengan jumlah korban 16.275 orang.

 

Sedangkan untuk kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 23.363 kasus dengan jumlah korban 25.802 orang. Berdasarkan jenis kekerasannya, kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa dengan korban berjumlah paling banyak adalah kekerasan fisik dengan jumlah 7.940 kasus, kekerasan psikis berjumlah 6.576, kekerasan seksual berjumlah 2.948 kasus, dan penelantaran sejumlah 2.199 kasus.

 

Berdasarkan data Simfoni PPA dari Januari- Juni 2023 menurut tempat kejadian, kasus yang paling banyak dialami adalah dalam rumah tangga (KDRT) yakni sebesar 48,04% (7.649 kasus) diikuti di tempat kejadian lainnya kemudian fasilitas umum, tempat kerja, sekolah dan lembaga pendidikan. Sedangkan sebanyak 60% (14.034 Kasus) kekerasan yang terjadi terhadap anak adalah kasus kekerasan seksual.

 

Data tersebut menunjukkan bahwa Kampanye Penghapusan KDRT sangat penting karena pada tahun ini Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PDKRT) tepat berusia 19 tahun.  UU itu harusnya sudah memberikan ruang bagi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) untuk mengupayakan akses terhadap keadilan dan pemulihan.  Namun kenyataannya belum maksimal dalam hal implementasi.

 

Sumber: Pers rilis

Reporter: Nurul Sayyidah Hapidoh

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *