Zen: Tawaran Penangkal Terorisme Bernapaskan Agama

Kabar Utama3560 Views

Kabar Damai | Senin, 05 April 2021

 

Jakarta | kabardamai.id | “Ada masa saat kita baru lahir ke dunia ini, dan belum dilabeli agama, kebangsaan, ras, suku, dan label-label sosial lainnya. Ke masa itulah Zen ingin mengajak kita kembali,” jelas Dr. Rizal Wattimena, Peneliti filsafat politik, filsafat ilmu, dan kebijaksanaan Timur, saat menjadi salah satu pembicara utama di Diskusi Forum Studi Agama-agama Ke-25 yang diadakan secara daring pada Sabtu, 3 April 2021.

Diskusi bertema “Zen untuk Para Teroris Bernapaskan Agama” ini diadakan oleh Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) dan turut mengundang Dr. Budhy Munawar-Rachman, Dosen STF Driyarkara Jakarta, sebagai pembicara utama. Forum diskusi yang dihadiri 66 orang ini mengeksplorasi inti ajaran Zen dan bagaimana ia dapat menjadi salah satu penangkal terorisme bernapaskan agama.

Baca Juga : Zen dan Upaya Meredam Terorisme

Bagi Reza, maraknya aksi teroris bernapaskan agama di banyak tempat, termasuk Indonesia, punya tiga akar masalah, yaitu pola pendidikan agama yang salah, perspektif narsistik dan megalomaniak terhadap identitas diri sendiri dan kelompoknya, dan identitas yang sempit dan tertutup.

Jaringan-jaringan teroris banyak tumbuh di lingkungan pendidikan agama yang salah. Sebagian besar dari mereka tumbuh dengan keyakinan bahwa tafsir agama yang mereka anut adalah yang paling benar sementara tafsir lain tidak hanya salah tetapi juga jahat dan harus dihancurkan.

Pemahaman ini membentuk manusia-manusia yang narsistik dan megalomaniak terhadap identitas diri dan kelompoknya, dan akhirnya membentuk identitas yang sempit dan tertutup.

Kondisi individual dan kelompok ini juga terhubung dengan kondisi geopolitik global, khususnya setelah berakhirnya Perang Dingin.

Dalam periode ini, ada sejumlah faktor geopolitik penting yang berkelindan dengan tumbuhnya kelompok-kelompok teroris bernapaskan agama, misalnya runtuhnya rezim negara-negara komunis yang dahulu menjadi rival Amerika Serikat, dan problem komplikasi industri militer negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat.

Mengacu pada teori yang ditulis oleh Noam Chomsky, Reza menjelaskan bahwa ketiadaan musuh bersama bagi imperialisme Amerika Serikat dan kebutuhan komplikasi industri militer Amerika Serikat untuk terus memproduksi dan memasarkan produk-produk militer turut punya andil dalam kemunculan dan maraknya kelompok-kelompok dan aksi teroris bernapaskan agama.

 

Pendekatan Mikro dan Makro

Lantas, di mana Zen dapat menjadi penawar bagi maraknya terorisme bernapaskan agama? Bagi Rizal, ada dua aspek pendekatan yang perlu dilakukan secara bersamaan, yaitu pendekatan mikro dan pendekatan makro.

Di tataran mikro, yang berarti pendekatan secara individual dan kelompok, Zen dapat diajarkan sebagai cara pandang invididual dan kelompok terhadap realitas hidup. Zen pada dasarnya merupakan sebuah spritualitas sederhana yang mengajak manusia untuk menelisik relung batinnya sebelum segala label sosial muncul. Zen mencoba hanya melihat dan menyadari realitas hidup manusia tanpa penghakiman yang bersumber dari label sosial yang narsistik, megalomanika, sempit dan tertutup.

“Analoginya, kalau ada seorang yang sedang angkat barbel, sadari saja bahwa dia sedang angkat barbel supaya lengannya berotot, tanpa perlu dinilai dan dihakimi dari sudut pandang agama, kebangsaan, ras, suku, dan lain-lain,” terang Reza.

Cara pikir khas Zen ini dipandang akan membentuk manusia yang mempunyai kesadaran yang jernih atas realitas di sekelilingnya, dan pada akhirnya akan membentuk ekosistem dan planet yang punya kesadaran jernih pula. Reza menyebut proses tersebut sebagai dekonstruksi identitas sehingga identitas yang narsistik, megalomaniak, tertutup, dan sempit dapat ditinggalkan.

Pendekatan kedua yang tidak kalah penting adalah pendekatan makro. Pendekatan ini berfokus pada perubahan struktural yang memungkinkan masalah-masalah sosial muncul, termasuk terorisme bernapaskan agama. Pengenalan Zen di tingkat individual dan kelompok tentu saja tidak cukup tanpa mengubah kondisi-kondisi struktural yang bermasalah, seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, ketimpangan akses ke kebutuhan dasar, dan lainnya.

Budhy Munawar-Rachman sendiri lebih banyak menelusuri asal-usul dan inti Zen sebagai spiritualitas yang lahir dan tumbuh dalam Budhhisme, dan menjelaskan inti dari Buddhisme-zen. Menurut Budhy, Zen sebagai cabang dari Buddhisme bertujuan untuk membantu manusia mencapai pencerahan dari dalam dirinya.

Seringkali, terorisme bernapaskan agama berangkat dari dualisme absolut yang menempatkan “baik” dan “buruk” secara hitam-putih. Dalam konteks inilah Zen dipandang punya inti ajaran yang dapat melampaui dualisme absolut tersebut.

Budhy menjelaskan, bagi Buddha, hidup secara esensial bersifat problematis sekaligus tidak memuaskan. Inilah hal yang disebut sebagai “kebenaran akan penderitaan”. Ada tiga hal utama yang jadi penyebab penderitaaan.

Pertama, problem dari rasa sakit, yaitu bahwa setiap keadaan yang tidak mencukupi dan tidak memuaskan selalu membawa rasa sakit, baik fisik maupun psikologis.

Kedua, problem dari perubahan, yaitu problem yang muncul akibat sifat dunia yang dapat berubah dan tidak tetap. Pengalaman manusia menunjukkan bahwa kesenangan tidak pernah abadi, dan keadaan ini menyebabkan situasi yang tidak nyaman.

Ketiga, kemungkinan munculnya problem, yaitu bahwa pikiran manusia membuatnya mudah mendapat problem.

 

Kepelekatan Diri dengan yang Fana

Dalam konteks terorisme bernapaskan agama, Budhhy memandang bahwa bisa jadi para teroris yang melakukan pemboman ini punya duka dan penderitaan yang mendalam dalam dirinya, dan melihat satu-satunya jalan untuk membebaskan dirinya dari penderitaan tersebut adalah melawan kejahatan, melakukan pemboman yang menghancurkan manusia lain termasuk dirinya, demi memperoleh imbalan surga.

Ini dapat dilihat sebagai jalan untuk mengatasi kebenaran penderitaan bahwa hidup dan semua kesenangan dalam hidup ini akan berakhir. Dalam konteks ini, Zen mempunyai inti ajaran Buddha yang memandang bahwa masalah-masalah penderitaan semacam ini dapat diatasi dengan menerima problem-problem yang muncul dari sifat dunia yang fana dan berubah, lalu berupaya untuk tidak terlalu melekatkan diri pada hal-hal tersebut.

Pada sesi penutup, Rizal menekankan bahwa diskusi ini adalah sebuah tawaran untuk mulai memperkenalkan Zen lewat pendekatan-pendekatan yang telah disebutkan di atas. Tentu saja tawaran ini bukanlah solusi instan atas maraknya terorisme bernapaskan agama yang terjadi di banyak tempat, khususnya Indonesia.

Ini adalah solusi jangka panjang yang mungkin baru dapat dinikmati berpuluh-puluh tahun kemudian. Akan tetapi, tentu saja upaya ini tetap perlu dicoba sedini mungkin. Bagi Rizal, Zen telah ada jauh sebelum kemunculan agama-agama formal saat ini, dan sebagian nilai-nilainya masih bisa ditemukan dalam agama-agama tersebut.

Reza yakin, karena Zen melihat manusia sebagai manusia tanpa embel-embel label sosial yang dilekatkan padanya, ia bersifat universal dan dapat diperkenalkan kepada seluruh manusia dan dipraktikkan. [ ]

 

Penulis: Albertus Budi Prasetyo

Editor: Ahmad Nurcholish

Leave a Reply to Reza Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 comment