Kabar Damai | Sabtu, 31 Juli 2021
Jakarta | kabardamai.id | Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat ada 202 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan aparat kepolisian, sepanjang tahun 2019-2021.
Hal ini diungkapkan Wakil Ketua Manajemen Pengetahuan YLBHI, Aditya Bagus Santoso, via Zoom dalam serial diskusi laporan pemantauan YLBHI bertajuk “Pelanggaran HAM oleh Kepolisian RI Tahun 2019-2021”, yang disiarkan langsung lewat kanal YouTube Yayasan LBH Indonesia dan digelar pada hari Kamis, 29 Juli 2021.
Aditya menjelaskan jika dibagi berdasarkan waktu, di tahun 2019 ada 51 kasus pelanggaran, 2020 ada 105 kasus pelanggaran serta di tahun ini ada 46 kasus pelanggaran yang dilakukan oleh kepolisian. Kemudian kalau berdasarkan kompetensi kepolisian atau wilayahnya, maka pelanggaran yang terbanyak dilakukan oleh kepolisian berada di kepolisian resor (Polres) yakni mencapai 123 kasus.
Aditya menambahkan, di kepolisian daerah (Polda) terdapat 40 kasus pelanggaran yang dilakukan polisi. Selain itu, di kepolisian sektor (Polsek) ada 28 kasus pelanggaran serta ada 11 kasus yang tidak teridentifikasi. Data ini didapatkan dari 17 provinsi di Indonesia.
“Tidak teridentifikasi ini karena ada beberapa kantor yang mengambil data dari media online atau media cetak, yang di mana kepolisiannya tidak dicantumkan secara jelas,” terangnya.
Baca Juga: Kekerasan Polisi dan Upaya Mengakhirinya
Kemudian, kelompok yang menjadi korban paling banyak dari perilaku kekerasan ini adalah pelaku atau tersangka sebanyak 79 kasus, mahasiswa 63 kasus, masyarakat umum 46 kasus. Berikutnya, aktivis 18 kasus, pengacara 6 kasus, masyarakat adat 4 kasus, dan penyandang disabilitas 1 kasus.
“Total ada 13.000 yang telah menjadi korban,” ujar Aditia.
Temuan YLBHI, ada 17 jenis bentuk pelanggaran yang dilakukan kepolisian dari 202 kasus itu. Total pelanggaran sebanyak 341 kasus. Sebab, satu orang bisa mengalami lebih dari satu kekerasan.
“Pelanggaran paling banyak adalah penangkapan sewenang-wenang,” ungkap dia.
85 Kasus Penangkapan Sewenang-wenang
Ditambahkan Aditya, ada 85 kasus penangkapan sewenang-wenang. Kemudian, penyiksaan 40 kasus, kriminalisasi 36 kasus, penembakan 32 kasus, dan pembubaran aksi 29 kasus. Ada pula pelanggaran dalam bentuk penganiayaan, pembiaran laporan, ancaman, penyerangan, dan perusakan.
Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI Era Purnama Sari mengatakan, secara khusus di masa pandemi Covid-19 ini, ada empat pelanggaran serius yang dilakukan Polri.
Pertama, bertalian dengan kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Kedua, berkaitan dengan kebebasan menyampaikan pendapat dan berpartisipasi urusan pemerintahan. Ketiga, dwifungsi kepolisian. Keempat, pengabaian wewenang.
Soal pelanggaran kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, Era mencontohkan surat telegram Kapolri STR/645/X/PAM.3.2./2020 tanggal 2 Oktober 2020. Surat itu diteken Kapolri Jenderal Idham Azis untuk mengantisipasi demonstrasi dan mogok kerja buruh terkait omnibus law RUU Cipta Kerja.
Kemudian, terkait dwifungsi kepolisian, Era mengatakan setidaknya pada 2020 ada 13 orang polisi aktif yang menduduki posisi beragam di lembaga negara, perusahaan BUMN, dan kedutaan besar.
“Seperti Firli Bahuri yang menjadi Ketua KPK,” kata dia.
Era pun memberikan rekomendasi terhadap Polri. Menurut dia, perlu ada pengawas eksternal yang efektif bagi Polri. Selain itu, dia menyatakan perlu ada pembaruan KUHAP yang antara lain menjadikan jaksa sebagai pengendali perkara.
“Serta adanya mekanisme checks and balances untuk upaya sebagaimana yang dimandatkan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik,” ujar Era.
Terakhir, dia meminta presiden sebagai atasan langsung Kapolri segera bertindak memimpin reformasi kepolisian.
Ada 13.083 Korban Akibat Pelanggaran oleh Kepolisian
Aditya Bagus Santoso, mengungkapkan, ada 13.083 korban akibat pelanggaran yang dilakukan oleh kepolisian. Data ini dikumpulkan berdasarkan pelaporan korban serta data dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
“Jumlah yang besar ini disumbang oleh massa aksi demonstrasi yang dilanggar haknya karena dibubarkan aksi demonstrasi,” tulisnya di kolom chat Zoom, dalam serial diskusi laporan pemantauan YLBHI tersebut.
Menurut temuan YLBHI, dari tahun 2019-2021, ada 202 kasus pelanggaran yang dilakukan oleh kepolisian. Sementara itu, jika berdasarkan kelompok korban, mereka membaginya ke dalam 7 kelompok korban.
“Ada pelaku atau tersangka, mahasiswa, masyarakat umum, aktivis, pengacara, masyarakat adat, dan penyandang disabilitas,” kata Aditya.
Ia pun membeberkan bahwa pelaku atau tersangka itu merupakan korban yang paling banyak mendapatkan pelanggaran oleh kepolisian, yakni sebanyak 79 kasus. Kemudian diikuti oleh 63 kasus terhadap mahasiswa, 46 kasus terhadap masyarakat umum, 18 kasus terhadap aktivis, 6 kasus terhadap pengacara, 4 kasus kepada masyarakat adat, serta 1 kasus pelanggaran yang dilakukan oleh kepolisian terhadap penyandang disabilitas.
“Selain dari bentuk pelanggaran yang ada di dalam laporan, kami juga menemukan di dalam laporan YLBHI lainnya, penahanan tersebut terlalu panjang, tanpa ada tujuan pemeriksaan,” terang Aditya.
6 Persoalan Polri Versi YLBHI
Sekadar mengingatkan, awal Juli 2020 lalu, YLBHI juga merilis catatan untuk Polri di hari ulang tahun Bhayangkara ke-74. Ada 6 permasalahan utama, menurut YLBHI, harus diperhatikan dan dibenahi Polri agar institusi ini baik ke depannya.
“Dalam Hari Bhayangkara tahun 2020 ini, YLBHI menyampaikan catatannya dalam pers rilis ini. Selama menjalankan bantuan hukum struktural, YLBHI bersama 16 kantor LBH di 16 provinsi kerap menerima pengaduan dari pencari keadilan dan mendampingi masyarakat miskin, minoritas, dan rentan. Selama tahun 2019-2020, YLBHI mencatat beberapa permasalahan utama berkaitan dengan Kepolisian RI,” ujar YLBHI dalam rilis yang berjudul ‘Temuan YLBHI, Kepolisian RI: Menegakkan Hukum dengan Melanggar Hukum dan HAM, Serta Mengancam Demokrasi’, yang diterima, Rabu, 1 Juli 2020.
YLBHI mengatakan ada 6 catatan permasalahan Polri dalam menegakkan hukum di Indonesia. Salah satunya itu saat menangani pelaporan dugaan tindak pidana penodaan agama. Menurut YLBHI, dalam memproses kasus ini sering kali muncul ketidakjelasan perkara.
“Dari 38 kasus yang terkait penodaan agama yang dipantau oleh YLBHI sepanjang Januari hingga Mei 2020, 16 kasus telah diselidiki dan 10 kasus telah disidik serta ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik kepolisian di seluruh Indonesia. Namun masuknya perkara ini ke ranah penyelidikan dan penyidikan sangat dipengaruhi oleh desakan massa atau publik, sehingga alasan gangguan ketertiban umum masih kerap menjadi alasan penangkapan dan penahanan. Bahkan penangkapan dan penahanan tersebut tidak jarang berbuntut pada tidak jelasnya perkara tersebut sehingga yang tampak, polisi hanya menjadi alat pelegitimasi desakan massa atau publik semata,” katanya.
Kedua, yaitu masalah keterlibatan Polri dalam konflik lahan dan perampasan tanah. YLBHI menyebut Polri sering kali menjadi salah satu aktor dominan dalam kasus ini untuk melindungi salah satu yang memiliki kepentingan terkait lahan.
“YLBHI menemukan Polisi adalah salah satu aktor dominan yang terlibat dalam perampasan lahan baik untuk kepentingan modal maupun pemerintah atas nama pembangunan/kepentingan umum. YLBHI menemukan dalam konflik lahan di masa pandemi COVID-19 menunjukkan polisi terlibat dalam lebih dari 75% konflik lahan,” tulisnya.
Gunakan Pasal Makar Secara Sembarangan
Catatan berikutnya, Polri dinilai menggunakan pasal makar secara sembarangan dan dianggap mengembalikan dwifungsi polisi. YLBHI pun langsung menyinggung Ketua KPK Firli Bahuri yang masih aktif di Polri.
“Misalnya Ketua KPK RI hingga 2023 nanti, Komjen Firli Bahuri yang juga masih berstatus anggota POLRI aktif dan beralasan di KPK adalah penugasan. Selain Firli, tercatat ada 13 polisi lainnya dengan posisi paling rendah Inspektur Jenderal (Irjen) dan paling tinggi Jenderal yang mengisi posisi strategis lembaga dan kementerian seperti Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog), Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), Menteri Dalam Negeri, Duta Besar, hingga menjadi Direktorat Jenderal maupun Inspektorat Jenderal di beberapa Kementerian,” ucapnya.
Kemudian YLBHI juga menyoroti tingginya kasus penyiksaan akhir-akhir ini. Tak hanya itu, dia juga menyinggung kasus penyerangan Novel Baswedan. YLBHI juga menyebut dalam penyelidikan dan penyidikan Polri penuh pelanggaran.
Oleh karena itu, YLBHI meminta Presiden Jokowi memberi perhatian serius dengan mengawasi kinerja Polri. Dia juga meminta Polri patuh pada prinsip HAM dalam menjalankan tugasnya. [ ]
Penulis: Ahmad Nurcholish