Yayasan Inklusif: UU Cipta Kerja Perlu Direvisi untuk Penuhi Hak KBB

Kabar Utama25 Views

Kabar Damai | Rabu, 31 Maret 2021

 

Jakarta | kabardamai.id | Tokoh agama dan aktivis kebebasan beragama kembali menyuarakan kritik dan rekomendasi atas beberapa pasal Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang dinilai mengancam Hak Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (Hak KBB) di Indonesia.

Kritik dan saran ini disampaikan dalam forum diskusi publik yang diselenggarakan oleh Yayasan Inklusif: Community for Islam, Diversity and Equality (CIDEQ) dan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) pada Selasa (30/3) siang secara virtual.

Subhi Azhari dari Yayasan Inklusif, narasumber forum ini, menyampaikan hasil kajian Yayasan Inklusif terhadap UU dan PP Cipta Kerja yang menemukan sejumlah pasal yang berpotensi mengancam, selain menyokong hak KBB warga negara.

Yayasan Inklusif sebagai lembaga non-pemerintah dengan visi mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, setara dan bhineka, berkepentingan untuk memberikan masukan terhadap RPP UU Ciptaker sebagai bagian dari partisipasi publik.

“Kita tidak bermaksud menentang pemerintah tetapi kita wajib mengkritik sekaligus memberikan masukan bagi proses rancangan perarturan yang lebih baik dan tepat ke depannya,” ujarnya.

UU Ciptaker memang tidak secara langsung mengatur kehidupan keagamaan, namun ternyata terdapat sejumlah UU yang diubah dan berdampak pada pemenuhan hak kebebasan beragama/berkeyakinan (Hak KBB).

Hasil kajian oleh Yayasan Inklusif menemukan 22 pengaturan yang berpotensi mengancam hak KBB (15 padal UU Ciptaker dan 7 pasal RPP).

Terkait hal ini, hasil penemuan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu aturan yang multitafsir, membatasi hak sebagian kelompok, dan yang hanya berpihak kepada agama/kelompok tertentu.

 

Aturan multitafsir

  1. Dalam UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja:

a. Pasal 34 yang mengatur perubahan UU No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Yang diubah antara lain Pasal 29 (4) yang di dalamnya menyebut istilah “ketertiban umum.”

Pada Penjelasan Pasal ini disebutkan, “Yang dimaksud dengan ‘tidak mengganggu ketertiban umum’ antara lain adalah kegiatan budi daya ternak dilakukan dengan memerhatikan ‘kaidah agama’.”

b. Pada Pasal 67 yang mermengubah Undang­Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan disebutkan adanya perubahan pada Pasal 26 (1) “Setiap pengusaha pariwisata wajib: a. menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat.”

Pada bagian Penjelasan Pasal ini disebutkan cukup jelas tetapi pariwisata apa yang tidak menghormati norma agama?

c. Pasal 64 yang mengatur perubahan UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan, antara lain mengubah Pasal 1 (4) tentang definisi Ketahanan Pangan.

Disebutkan “Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.”

Sayangnya, tidak dijelaskan lebih jauh apa yang dimaksud dengan “tidak bertentangan dengan agama, keyakinan.”

d. Pasal 108 yang mengatur perubahan UU No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, salah satunya mengubah Pasal 20 (a) sehingga berbunyi, “Merek tidak dapat didaftar jika: a. bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundangan-undang, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum.”

e. Pasal 67 yang mermengubah Undang­Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan disebutkan adanya perubahan pada Pasal 26 (1) “Setiap pengusaha pariwisata wajib: a. menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat.”

 

2. Dalam RPP Sektor Pertanian:

Pasal 75 menyebutkan “Varietas tananan yang penggunaannya bertentangan dengan: c. kesusilaan, d. norma agama, tidak dapat diberi PVT (Perlindungan Varietas Tanaman).”

Tidak ada penjelasan lebih lanjut terkait pengaturan ini. Pasal ini dapat mendorong tindakan intoleran dan diskriminasi dengan alasan kesusilaan dan norma agama.

Pasal ini sangat multitafsir. Hal ini dikarenakan definisi “kesusilaan” dan “norma agama” selama ini sangat luas dan subjektif.

 

3. RPP Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah

a. Pasal 16 (1) dinyatakan bahwa perizinan berusaha sektor sebagaimana yang diselenggarakan di daerah terdiri atas sektor: m. keagamaan.

Pada ayat selanjutnya dinyatakan bahwa sektor keagamaan merupakan kewenangan Pemerintah Pusat yang proses perizinannya diselenggarakan di daerah terintegrasi dengan Pelayanan Perizinan Berusaha di daerah.

Sayangnya, tidak ada penjelasan perizinan apa saja yang dikategorikan sebagai sektor keagamaan.

 

Aturan yang membatasi sebagian hak kelompok

a. Pasal 106 yang mengatur perubahan UU No. 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian. Pasal ini antara lain mengubah Pasal 54 tentang izin tinggal rohaniwan.

Pada penjelasan Pasal ini disebutkan, “Yang dimaksud dengan ‘rohaniwan’ adalah pemuka agama yang diakui di Indonesia.

Baca juga: Komnas HAM: Membangun Masyarakat Inklusif Harus Tempatkan Setiap Individu Setara

 

RPP Bangunan Gedung

b. Pasal 4 ayat 2, salah satu fungsi bangunan gedung tempat manusia melakukan kegiatan keagamaan (Pasal 1 angka 1), tempat ibadah.

Dalam Penjelasan disebutkan bangunan tempat ibadah antara lain: f. bangunan  peribadatan agama/kepercayaan lainnya yang diakui oleh negara.

 

c. Pasal 111 yang mengatur perubahan UU No. 36 tahun 2008 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Pasal ini antara lain mengubah Pasal 4 (3) sehingga berbunyi, “Yang dikecualikan dari objek pajak:  a.1.  …atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh.”

 

Aturan yang mengandung state favoritism

1.RPP Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah

UU Cipta Kerja mengatur: “Untuk mendapatkan perizinan berusaha menjadi PIHK dan PPIU badan hukum harus memenuhi persyaratan: a. dimiliki dan dikelola oleh warga negara Indonesia yang beragama Islam.”

Pada pasal ini tidak ada penjelasan lebih lanjut mengapa pemilik PIHK harus beragama Islam.

 

2.RPP Jaminan Prduk Halal

a. Pasal 1 ayat 6 mengatur Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu Produk yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia.

b. Kemudian Pasal 76 ayat (1) mengatur Penetapan kehalalan Produk dilaksanakan oleh MUI melalui sidang fatwa halal MUI.

 

3.RPP Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (KUKKM)

Pasal 1 angka 7 RPP KUKMM dengan masih menggunakan dua alternatif rumusan. Yaitu:

 

Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan Koperasi berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia.

Selain menemukan kecacatan, hasil kajian juga menemukan 15 pengaturan yang inklusif dan memperkuat hak KBB. Beberapa di antaranya:

  1. RPP Sektor Kehutanan yang melibatkan tokoh agama dalam mengatasi kebakaran hutan, evakuasi, litigasi bencana dan pencegahannya,
  2. RPP tentang BUM Desa yang mencerminkan inklusifitas terhadap agama, dan adat istiadat dalam pendirian BUM Desa,
  3. RPP Sektor Kesehatan Pada Bidang Perumahsakitan yang menegaskan prinsip pelayanan publik yakni non- diskriminatif,
  4. RPP Sektor Transportasi yang menjamin penumpang berkebutuhan khusus memperoleh akses terhadap pelayanan angkutan udara tanpa ada diskriminasi dan memiliki hak untuk menyampaikan kebutuhannya selama penerbangan (pre-notification) dan melayani calon penumpang secara adil tanpa diskriminasi atas dasar suku, agama, ras, antargolongan, serta strata ekonomi dan sosial,
  5. RPP Sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang memenuhi hak KBB adalah ketentuan prasarana dan sarana pemanfaatan Gedung yang harus menyediakan, diantaranya:

“a. ruang ibadah” yang merujuk sifat netral untuk semua pemeluk agama/keyakinan dan upaya untuk melestarikan nilai-nilai sejarah termasuk peninggalan bangunan dan gedung yang memiliki makna dan nilai penting bagi pemeluk agama di Indonesia,

  1. RPP Bank Tanah yang menjamin dalam mendukung ketersediaan tanah untuk kepentingan sosial diantaranya untuk kepentingan peribadatan, dlsb.

 

Rekomendasi

Dari hasil temuan di atas, Yayasan Inklusif merekomendasikan beberapa hal, seperti:

  1. Pemerintah dan DPR melakukan revisi terhadap UU Cipta Kerja khususnya terhadap pasal-pasal yang masih mengandung ketentuan yang melanggar hak KBB dan diskriminatif, seperti penggunaan frase-frase yang multitafsir dan yang mengutamakan agama tertentu,
  2. Mengubah frasa “agama/kepercayaan lainnya yang diakui oleh negara” dalam penjelasan Pasal 4 RPP Sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menjadi dapat diganti dengan “agama dan/atau kepercayaan lainnya di Indonesia,”
  3. Menambahkan “sasana sarasehan atau sebutan lain” dalam penjelasan Pasal 4 RPP Sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,
  4. Menghapus atau mengubah pasal-pasal yang mengutamakan agama atau kelompok agama tertentu.

 

Respon pemerintah atas kritik dan rekomendasi dari Yayasan Inklusif

Lebih lanjut, Subhi mengungkapkan bahwa rekomendasi di atas sudah disampaikan ke pihak pemerintah dan beberapa rekomendasi tersebut ada yang diakomodir dan ada juga yang tidak diakomodir.

 

Yang diakomodir

  1. RPP Sektor Perindustrian (PP No. 28 Th. 2021) menghapus frase ‘norma agama’.
  2. RPP Keimigrasian (PP No. 48 th. 2021), menghilangkan istilah ‘agama yang diakui negara’ pada definisi “rohaniwan.”
  3. RPP KUMKM (PP No. 7 th. 2021), menghapus kalimat ‘fatwa yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia’ pada definisi ‘Prinsip Syariah’ diganti menjadi ‘fatwa yang dikeluarkan oleh Lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah’.
  4. RPP Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus dan Umrah (masih dibahas).

 

Yang tidak diakomodir

  1. RPP Pertanian (PP No. 26 Th. 2021), pertimbangan ‘kesusilaan’ dan ‘norma agama’ dalam pemberian Izin Varietas Tanaman, masih dipertahankan.
  2. RPP sektr PUPR (PP No. 16 Th. 2021 tentang Bangunan Gedung), frase “agama/kepercayaan lainnya yang diakui negara” pada penjelasan tentang ‘fungsi keagamaan”, masih dipertahankan.
  3. RPP Jaminan Produk Halal (PP No. 39 Th. 2021), masih mengistimewakan MUI sebagai satu-satunya Lembaga yang mengeluarkan fatwa halal.

Subhi mengakhiri presentasinya dengan mengajak berbagai pihak untuk terus mengadvokasi kebijakan yang bermasalah, mulai dari:

  1. Mendorong revisi pasal-pasal mengancam hak KBB dalam UU No. 11/2020 Ciptaker,
  2. Mendorong revisi PP yang masih memuat pasal-pasal bermasalah,
  3. Mengawal proses pembahasan RPP yang belum final,
  4. Mengawasi pelaksanaan PP yang sudah final,
  5. Meningkatkan pemahaman publik terutama kelompok minoritas tentang ancaman pelanggaran KBB dalam UU dan PP Ciptaker.

Nia Sjarifudin, pengurus ICRP, menanggapi bahwa pengawasan dan advokasi kebijakan perlu dilakukan dan diikuti oleh para pemuka agama sehingga kebijakan yang dihasilkan tidak merugikan salah satu pihak.

“Salah satu hal yang harus menjadi semangat bagi kita semua, Indonesia berpotensi menjadi inspirasi bagi dunia dalam mengelola keberagaman. Untuk itu, kritik dan advokasi semacam ini menjadi sangat penting,” ungkapnya.

Para tokoh lintas agama yang hadir sebagai penanggap: Prof. Philip K. Widjaja (Ketua Permabudhi), Yanto Jaya, SH. (Ketua Bidang Hukum PHDI Pusat), Suhendi, SH (Wakil Bidang Hukum & Advokasi MATAKIN), Bpk Naen Suyono (Ketua MLKI), dan Rina Tjua Leena (Humas Baha’i Indonesia), mengapresiasi upaya advokasi revisi UU Ciptaker yang mengancam Hak KBB, khususnya bagi kelompok agama minoritas di Indonesia.

Advokasi terkait revisi kebijakan UU Ciptaker yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas sebelumnya sudah mulai disuarakan sejak Oktober 2020 lalu melalui Rilis Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.

 

Informasi lebih lanjut terkait hasil rilis tersebut dapat dibaca di https://www.alinea.id/nasional/uu-cipta-kerja-dinilai-langgengkan-praktik-diskriminasi-b1ZVr9xX88 dan https://kbr.id/nasional/07-2020/omnibus_law_ruu_cipta_kerja_berpotensi_ancam_penganut_kepercayaan/103362.html.

 

Penulis: Hana Hanifah

Editor: Ahmad Nurcholish

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *