Kabar Damai | Selasa, 5 Oktober 2021
Jakarta | kabardamai.id | Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof. Hariyono menyatakan bahwa orang yang memiliki sikap toleransi tinggi maka akan cenderung lebih berbahagia. Sebaliknya, orang yang intoleran lebih banyak memiliki kecurigaan tinggi terhadap orang lain.
Dilansir dari laman BPIP, Hariyono juga mengatakan bahwa Pancasila merupakan pemersatu bangsa yang tidak dapat dipisahkan dari bangsa Indonesia.
“Kita tidak akan bisa kokoh apabila tidak ada persatuan, persatuan itu membutuhkan toleransi dari keberagaman bangsa kita. kita ambil contoh kebetulan di negara-negara Timur Tengah karena intoleransi dan ujaran kebencian dibiarkan di dalam dunia digital, kemudian lama-lama masyarakat percaya, sehingga elemen masyarakat itu saling mencurigai. Maka yang terjadi kemudian menjadi perang saudara yang barangkali menjadi fokus kita jangan sampai kita terpengaruh,” paparnya saat memberikan sambutan pada acara “Pendidikan Karakter Pancasila Membangun Karakter yang berkualitas dan Bermartabat”, Sabtu, 2 Oktober 2021.
Prof. Hariyono mengatakan, mengembangkan sikap kecerdasan sosial dalam membangun bangsa membutuhkan toleransi yang kuat. Terutama dalam memasuki dunia baru, yang menyebabkan perubahan wawasan kerap terjadi. Perubahan wawasan tersebut merupaka wawasan kolonial dan feodal menjadi wawasan merdeka.
Menurut Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta, dan Bung Karno kerugian dari proses penjajahan yang boleh disebut dengan imperialisme dan kolonialisme di nusantara ini adalah hilangnya aset ekonomi dan matinya para pahlawan, tapi kerugian terbesar-nya adalah hilangnya karakter bangsa Indonesia yang percaya diri dan bisa berpikir kreatif dan inovatif.
“Hilangnya karakter bangsa Indonesia yang ini yang menjadi kunci pada pertemuan kita belajar Pancasila bukan sekedar belajar Kapan Pancasila dirumuskan Apa isi dari sila-sila Pancasila tetapi juga Makna yang bisa mengubah Cakrawala mindset kita sebagai warga negara yang hidup dalam abad 21,” terangnya, dikutip dari bpip.go.id (3/10).
Baca Juga: Ajarkan Toleransi, Menilik 5 Kampung Muslim yang Harmonis dari Pulau Dewata
Ditambahkan Hariyono, Pancasila dirumuskan pertama kali adalah untuk menyatukan keberagaman masyarakat kita yang sangat majemuk dan harus menjadi satu bangsa sehingga dalam berbagai literatur, Pancasila disebut sebagai meja Sakti yang bisa menyatukan bangsa kita.
“Tapi juga Pancasila itu harus bisa menjadi menatap kedepan agar kita bisa menjadi bangsa yang merdeka bersatu berdaulat adil dan makmur yaitu menjadi pintar dinamis jadi tadi itu mencerminkan dua aspek ini. Pancasila itu yang penuh dengan nilai-nilai Luhur penuh dengan idealitas tidak selamanya relevan dan cocok dengan realitas dan dalam konteks yang semacam inilah seringkali masyarakat atau beberapa pihak mengkritik Ada kesenjangan yang tajam antara Pancasila sebagai identitas,” pungkasnya.
4 Dimensi Toleransi
Pada tahun 2016, Global Social Tolerance Index (GSTI) disusun oleh Stelios H. Zanakis, William Newburry, dan Vasyl Taras untuk mengukur tingkat toleransi sebuah negara. GSTI terdiri atas 13 komponen yang terbagi dalam 4 dimensi toleransi yaitu: jenis kelamin, minoritas, imigrasi, dan agama.
Hasil penelitian yang juga dikutip oleh Kristian hadiwijaya, republika.co.id (7/6), menempatkan negara-negara barat sebagai negara dengan tingkat toleransi yang tinggi. Negara yang termasuk dalam 10 besar negara paling toleran berdasar pada GSTI adalah: Swedia, Norwegia, Andora, Swiss, Jerman, Perancis, New Zealand, Belanda, Australia, dan Finlandia.
Hasil yang cukup mengejutkan adalah Indonesia berada diurutan ke-48 bersama Georgia. Peringkat Indonesia lebih baik dari Malaysia namun masih lebih rendah dari Vietnam (37) dan Thailand (46).
Sikap toleransi yang ditunjukan oleh masyarakat di negara-negara tersebut membuat mereka dapat hidup dengan lebih bahagia. Hasil survey dari PBB menunjukkan bahwa 10 negara dengan tingkat toleransi yang tinggi juga tergolong dalam negara yang bahagia.
Negara-negara yang toleran cenderung memiliki ranking kebahagiaan yang tinggi seperti Swedia (10), Norwegia (4), Swiss (2), Jerman (16), Prancis (36), New Zealand (8), Belanda (7), Australia (9), dan Finlandia (5). Berdasar pada hasil survei diketahui juga bahwa Indonesia memiliki tingkat kebahagian yang terbilang rendah yaitu berada diperingkat 79.
“Sikap toleransi mungkin akan lebih sulit bagi masyarakat Indonesia karena budaya kolektif yang masih kental. Budaya kolektif membuat masyarakat selalu ingin mengerjakan segala sesuatu secara bersama-sama,” tulis Kristian dalam tulisannya berjudul Toleransi Sebagai Langkah Awal Menuju Kebahagiaan.
Menurut dia, Budaya kolektif juga membuat masyarakat merasa bahwa kehidupan orang lain menjadi bagian dari kehidupannya dan sebaliknya. Oleh sebab itu, sikap toleransi dapat kita mulai dengan menanamkan pemahaman dan nilai-nilai toleransi kepada diri kita sendiri.
“Pemahaman yang baik tentang toleransi akan membuat kita lebih menghargai dan menghormati hak-hak orang lain seperti hak beragama, hak untuk hidup, hak berpendapat, dan hak untuk bahagia,” tandasnya.
Kristian menambahkan, sikap toleransi yang kita tunjukan akan membuat orang lain disekitar kita merasa lebih tenang, aman, dan lebih bahagia. Lingkungan yang bahagia itulah yang kemudian akan membuat kita, secara langsung ikut menjadi lebih bahagia. [bpip/republika]
Editor: Ahmad Nurcholish
Comment