Urgensi Pengakuan dan Memahami Agama di Luar Agama Sendiri

Opini12 Views

 

Muhammad Tauvan A. Putra

“Berdasarkan pengetahuan dan pengalaman penulis saat ini, mempelajari agama di luar agama sendiri dapat melalui berbagai cara, baik itu pendidikan formal maupun non-formal, dilakukan sendiri maupun bersama komunitas”

Identitas Agama dan Pengakuan dalam Konteks Indonesia

Identitas agama hanya satu dari sekian banyak identitas yang kita miliki. Pengakuan terhadap eksistensi penganut agama- agama yang ada di Indonesia adalah pengakuan akan realitas keberagaman yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Manusia adalah makhluk dengan ragam identitas, baik itu identitas jenis kelamin, ras, suku, bangsa, agama, dan lain sebagainya.

Perlu penulis sampaikan di awal, bahwa identitas menunjukkan bagaimana seseorang merefleksikan dirinya sendiri. Selain itu, Identitas juga tidak lepas dari bagaimana orang lain mempersepsikan diri kita.

Artinya, identitas diri kita juga menunjukkan apa yang membedakan sekaligus menyamakan diri kita dengan yang lain. Identitas menunjukkan karakteristik, sehingga tidak mengherankan bahwa identitas merupakan simbol dari keyakinan, pikiran, sikap, maupun perilaku kita. Disini penulis tidak bermaksud mengatakan bahwa pandangan, keyakinan, pikiran, sikap, maupun perilaku seseorang tentang seluruh kehidupan mutlak dari satu identitas dari sekian banyak yang dimiliki.

Di Indonesia, identitas agama medapatkan perhatian dan tempat yang cukup besar. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya Kementerian Agama RI serta dicantumkannya identitas agama/ kepercayaan di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Terkait konsep, implementasi, serta implikasi dari dicantumkannya kolom agama/kepercayaan di KTP memiliki ruang diskusi yang cukup kompleks. Terlepas dari pro dan kontra serta tanpa menafikan relasi kebijakan tersebut dengan diskriminasi yang didapatkan oleh beberapa penganut agama/kepercayaan, penulis ingin menekankan bahwa dengan dicantumkannya identitas agama/
kepercayaan di KTP, telah menunjukkan bahwa agama dalam arti luas mendapatkan ruang yang cukup besar untuk hidup di Indonesia.

Baca Juga: Toni Wanggai: Membangun Papua Berbasis Budaya, Agama dan Kemanusiaan

Apakah benar demikian? Hingga kini, agama merupakan sesuatu yang masih eksis dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Terdapat berbagai agama yang hidup di Indonesia, seperti Pengahayat Kepercayaan (agama leluhur), Buddha, Hindu, Islam, Katolik, Konghucu, Kristen, Yahudi, Sikh, Baha’i, dan lain sebagainya. Kok lebih dari 6 (enam) agama yang ada di Indonesia? Keterbatasan pengetahuan serta keengganan mengakui agama di luar yang 6 (Buddha, Hindu, Islam, Katolik, Konghucu, Kristen) adalah bentuk penolakan akan realitas yang ada. Menelaah dari sisi politik dan struktural, sikap tersebut, satu di antaranya disebabkan oleh narasi “agama resmi” dan “tidak resmi” atau “mayoritas” dan “minoritas” yang terpatri cukup lama di Indonesia, mungkin masih hingga sekarang.

Dalam tulisan ini, penganut agama adalah seseorang yang memiliki identitas agama, yang mana seseorang tersebut memiliki ikatan dengan ajaran agama yang dianutnya. Lebih lanjut, saya berpikir setiap agama itu “unik” dalam arti positif, agama memiliki karakteristiknya masing-masing yang membedakan antara ajaran agama satu dengan ajaran agama lainnya, tanpa menutup ruang titik temu antar-agama. Adapun implikasi dari ajaran agama yang berbeda-beda, yaitu antar-penganut agama memiliki keyakinan, pikiran, sikap, maupun perilaku yang berbeda-beda dalam beragama.

Selain itu, Ajaran agama memiliki kekuatan nilai yang dapat menuntun penganutnya dalam bersikap dan memahami kehidupan.

Dalam konteks Indonesia, terdapat beragam penganut agama, di mana penganut agama satu dengan penganut agama lainnya sangat besar kemungkinan akan berinteraksi dan bekerja sama satu sama lain. Kira-kira modal apa yang diperlukan bagi antar-pemeluk agama yang berbeda untuk berinteraksi dan bekerja sama? Iya, pengakuan keberadaan satu sama lain dan saling memahami.

Mengapa perlu memahami agama di luar agama sendiri? Penting untuk memahami agama sendiri dan penting juga untuk memahami agama di luar agama sendiri, sehingga tidak memandang yang di luar diri sebelah mata.

Di Indonesia, penganut Penghayat Kepercayaan (agama leluhur), Buddha, Hindu, Islam, Katolik, Konghucu, Kristen, Yahudi, Sikh, Baha’i, dan lain sebagainya adalah nyata adanya. Keberagaman penganut agama yang ada di Indonesia, menunjukkan betapa kayanya potensi untuk membangun Indonesia yang sejahterah dan damai. Oleh karena itu, penting untuk antar-penganut agama saling mengakui keberadaan agama agama yang ada di Indonesia dan saling memahami, sehingga potensi-potensi diskriminasi dan konflik antar-pemeluk agama dapat diminimalisir.

Sebelum menjawab pertanyaan, mengapa perlu memahami agama di luar agama sendiri? Penting untuk penulis sampaikan bahwa agama adalah sesuatu yang dapat “diyakini (diimani)” dan sekaligus dapat “dipelajari” tanpa diyakini. Diyakini (diimani) adalah dimensi untuk penganut agama, sedangkan dipelajari adalah dimensi terbuka untuk penganut agama maupun non-penganut agama.

Agama dapat dipelajari, artinya agama adalah sumber pengetahuan yang siapa saja dapat mempelajari dan memahaminya, sekalipun seseorang tersebut bukan penganut agama tersebut. Di sini, penulis ingin menekankan, bahwa penganut agama dapat memasuki wilayah diyakini (diimani) sekaligus wilayah yang dipelajari. Memang lebih baik penganut agama memasuki serta memiliki kedua wilayah tersebut. Adapun
untuk penganut agama tertentu, ia tetap dapat memahami agama di luar dari agama yang dianutnya melalui wilayah “agama dapat dipelajari” tanpa harus dianut.

Mengapa perlu memahami agama di luar agama sendiri? Jika hanya untuk mengelola keberagaman, bukankah cukup dengan memahami agama sendiri? Kenapa harus sampai mempelajari agama lain? Kalau hanya sebatas untuk menghormati. Oleh karena itu, di awal bagian ini dibuka dengan pernyataan “Penting untuk memahami agama sendiri…”, karena tulisan ini tidak bertujuan untuk menurunkan keyakinan (keimanan) seseorang dari agama yang dianutnya.

Namun sebaliknya, bahwa setiap penganut agama harus terlebih dahulu mempelajari agama yang dianutnya, serta mengajak setiap penganut agama menyapaikan ajaran- ajaran inklusif dari agama yang dianutnya.

Setelah itu, tulisan ini mengajak penganut agama untuk memahami agama di luar agama sendiri. Mengapa? Karena agama dan penganut agama di Indonesia beragama, maka penting untuk kita memiliki pengetahuan serta wawasan mengenai realitas di sekitar kita, termasuk agama di luar agama yang kita anut. Selain itu, bukan kah pikiran dan sikap eksklusif, intoleran, serta tidak saling menghormati juga bisa didasari oleh ketidaktahuan dan keengganan memahami satu sama lain?

Maka dari itu, penting untuk membuka diri untuk memahami agama di luar agama sendiri, sehingga kita tidak hanya memiliki satu kacamata dalam memandang agama-agama yang ada di Indonesia, serta tidak
memandang agama di luar diri kita dengan sebelah mata. Dalam memahami agama di luar agama sendiri, penting juga memiliki kacamata yang mampu memandang agama sebagaimana adanya atau pun sebagaimana pemaknaan oleh penganut agama itu sendiri.

Oleh karena itu, dalam mempelajari agama di luar agama sendiri, kita perlu melakukannya dengan keterbukaan dan rasa penghormatan, tanpa bermaksud merendahkan agama yang dipelajari, karena setiap agama itu “unik” dalam arti positif. Lebih lanjut, dengan mempelajari agama di luar agama sendiri akan menambah wawasan dan pengetahuan tentang Indonesia. Selain itu, dengan saling mempelajari dan memahami agama di luar agama sendiri akan mendorong penghormatan yang disertai rasa empati tanpa adanya prasangka dan diskriminasi terhadap agama apa pun.

Dengan demikian, hal tersebut akan mendorong terbangunnya interaksi dan kerja sama antar- pemeluk agama ke arah yang positif, membangun kehidupan yang lebih sejahterah dan damai. Bagaimana cara mempelajari agama di luar agama sendiri? Dan apakah di Indonesia ada ruang-ruang untuk mempelajari dan memahami agama di luar agama sendiri? Berdasarkan pengetahuan dan pengalaman penulis saat ini, mempelajari agama di luar agama sendiri dapat melalui berbagai cara, baik itu pendidikan formal maupun non-formal, dilakukan sendiri maupun bersama komunitas.

Untuk pendidikan formal, tingkat perguruan tinggi terdapat Program Studi/Jurusan Studi Agama- Agama ataupun Religious Studies. Adapun terkait ruang-ruang di Indonesia yang menawarkan untuk mengenal dan memahami agama di luar agama sendiri itu ada dan cukup banyak, di antaranya Peace Train Indonesia dan Sekolah Kepemimpinan Pemuda Lintas Agama (SKPLA) oleh ICRP, Temu Pemuda Lintas Iman (TEPELIMA) KALBAR oleh SADAP Indonesia, dan Student Interfaith Peace Camp oleh YIPC, dll.

Tentu masih banyak ruang-ruang lainnya yang tidak disebutkan di sini dan ruang-ruang tersebut menawarkan pengalaman untuk belajar, bertemu, serta mengenal agama dari penganut agamanya secara langsung.

 

Penulis: Muhammad Tauvan A. Putra, Peserta SKPLA Angkatan 1 2022

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *