Indonesia adalah Negara yang dibangun atas kemajemukan masyarakat yang ada di dalamnya. Kemajemukan itulah yang kemudian dijadikan sebagai semboyan atas adanya komitmen untuk selalu hidup bersama dalam pluralitas tersebut. Semboyan itu kemudian diabadikan dalam falsafah Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu Indonesia.
Namun dalam perjalanan waktu, Indonesia menjadi negeri dengan konflik dan kerusuhan yang tak kunjung henti. Aksi-aksi kekerasan yang melibatkan elemen masyarakat dan sebagian warga Negara itu hampir merata di seluruh kawasan Indonesia terutama pada penghujung tahun 1990-an, ketika hendak memasuki Era Reformasi yang ditandai dengan dengan kejatuhan Soeharto.
Pada era reformasi pun berbagai konflik dan kekerasan, yang bahkan dengan mengatasnamakan agama masih terus terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa ini belum siap hidup dalam rumah pluralitas. Pluralitas masih dianggap sebagai ancaman sehingga perlu diwaspadai, bahkan kalau perlu ditertibkan sebagaimana yang dulu terjadi pada masa Orde baru. Sayangnya hal itu juga tidak menyelasaikan masalah, bahkan justru selalu memantik masalah hingga saat ini.
Baca Juga: Landasan Filosofis Kebebasan Beragama di Indonesia
Berbagai kekerasan dan konflik terus menumpuk, sementara upaya-upaya penyelesaiannya belum menampakkan hasil menggembirakan. Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan untuk meminimalkan konflik dan bagaimana pula mengatasi tindak kekerasan dan kerusuhan social yang selalu menjadi ancama bagi terwujudnya perdamaian di negeri ini. Cara penyelesaiannya menurut Abdul Moqsith Ghazali (“Prakarsa Perdamaian”, 2007: 7), bisa dilakukan dengan dua level; bersifat jangka pendek dan jangka panjang.
Dalam jangka pendek, misalnya; pertama, dengan mengefektifkan kembali perangkat-perangkat kebudayaan local yang di(hancur)kan pada masa Orde Baru. Sebab, penyelesaian konflik tak selalu muncul dari gagasan atau narasi-narasi besar. Terkadang justru dapat dilakukan dengan resep-resep kecil, seperti keraifan local.
Artinya, blue print penyelesaian konflik tak selalu bisa dipaket dari pusat Ibu Kota, tanpa melihat kondisi obyektif lokalitasnya, warisan sejarah, hingga situasi social-politik kontemporer daerah itu. Sebagai yang kita tahu bahwa ada potensi-potensi local (modal social dan kultural) yang dapat dipakai untuk membangun perdamaian. Di Maluku punya semboyan Pela Gandong. Orang Ambon punya semboyan, “Torang samua basaudara, so itu baku-baku bae” [kita semua bersaudara, karena itu saling mengasihi].
Kedua, pemerintah dan aparat keamanan perlu bertindak proaktif untuk menjegah agar konflik tak berlangsung. Selama ini, aparat keamanan dinilai lemah dalam melakukan pencegahan. Alih-alih melakukan pencegahan, justru kuat dugaan – sebagaimana riset yang dilakukan George J Aditjondro – adanya keterlibatan militer dalam merawat sejumlah kerusuhan social di kawasan timur Indonesia demi sebuah bisnis dan kekuasaan.
Ketiga, dengan cara menegakkan hukum seadil-adilnya terhadap para pihak yang terlibat dalam kerusuhan. Ketidakadilan hukum bukan hanya akan mendorong masyarakat melakukan tindakan “main hakim sendiri”, melainkan juga memicu terjadinya konflik lanjutan. Sebagai Negara hokum, tak boleh ada kejahatan – siapapun pelakunya dan apapun tujuannya – yang bisa lepas dari jerat hukum di Negara ini. Pemberian sanksi yang tegas dan berat kiranya akan memberikan efek jera terhadap pihak-pihak yang berseteru.
Keempat, meminta keterlibatan dan peran media dalam menciptakan damai di masyarakat. Media masa, baik cetak, online maupun elektronik, di pusat maupun di daerah, harus memberikan informasi yang berimbang, tak mendramatisir peristiwa, dan tentu saja harus obyektif dan netral. Ini penting dilakukan, sebab informasi-informasi yang tersebar di media kadang mejadi acuan utama para pihak yang bertikai untuk menyususn langkah-langkah dan strategi penyerangan terhadap musuh. Tidak jarang pula, pemberitaan yang berat sebelah turut memperkeruh suasana konflik. (Moqsith Ghazali, 2007: 7)
Strategi Penyelesaian Konflik
Sementara strategi penyelesaian konflik yang bersifat jangka panjang, misalnya, memasukkan resolusi konflik dan peace-building melalui pendidikan perdamaian (peace education) ke dalam kurikulum pendidikan di Indonesia, sejak dini. Kian tingginya potensi konflik di Tanah Air, maka kian mendesak pula kebutuhan menjadikan resolusi konflik dan pendidikan perdamaian mejadi bagian dari proses pembelajaran di sekolah, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Pembelajaran ini berguina, bukan hanya untuk menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya perdamaian, melainkan untuk memberikan keterampilan teknis perihal mengatasi konflik dan membangun perdamaian. Tanpa itu, mereka akan mengalami kegamangan demi kegamangan.
Secara tidak langsung system pendidikan Indonesia telah mengadopsi konsep Peace Education ke dalam kurikulum lewat pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Konsepsi tolong-menolong, toleransi, saling menghormati dan menghargai antarsesama, tanpa memandang agama, suku, jenis kelamin menjadi bottom line pembelajaran.
Pendidikan perdamaian (peace education) sendiri merupakan bagian dari upaya pembangunan perdamaian (peace building). Artinya, pendidikan perdamaian menjadi hal penting yang harus dilakukan ketika kita melakukan usaha-usaha pembangunan perdamaian yang salah satu tujuannya adalah mempromosikan perdamaian dan mengikis konflik kekerasan, permusuhan, disharmoni social, dan sebagainya.
Selanjutnya, tujuan peace building sejatinya tidak hanya terbatas kepada penghentian konflik dan penjagaan kesepakatan damai. Namun, ia mencakup kerja-kerja yang luas dan komprehensif baik pada saat konflik maupun pascakonflik. Selama konflik berlangsung, kerja-kerja perdamaian biasanya difokuskan pada intervensi konflik melalui mediasi atau fasilitasi dan rekonsiliasi. Tujuannya untuk mengelola dan melokalisir konflik sehingga tidak meluas ke mana-mana.
Selama fase-fase yang disebut manajemen konflik dan resolusi konflik ini, focus kerja peacebuilding biasanya bersifat jangka pendek, yakni mendekon truksi struktur kekerasan. Namun, setelah konflik kekerasan mereda, kerja-kerja perdamaian lebih diarahkan kepada tujuan perubahan social berjangka panjang yang lebih menekankan rekonstruksi struktur damai dalam masyarakat. (Irfan Abubakar, 2007: 26-27)
Penekanan pada apa yang bisa disebut post-conflict peacebuilding (pembangunan perdamaian paska konflik) berangkat dari sebuah keyakinan bahwa damai bukanlah semata-mata tidak adanya perang. Damai yang sejati adalah damai yang dinamis, partisipatif, dan berjangka panjang. Ia dapat terwujud jkan nilai-nilai kemanusiaan universal tengah mengakar-menjalar di semua lini kehidupan praktis: keluarga, sekolah, komunitas masyarakat dan Negara. Hal ini sebagaimana disepakati dalam State of the World Forum, Peaople Building Peace, 35 Inspiring Stories from Around the World, (International Books: 1999: 22).
Sebagaimana dikutip dari Albert Einstein oleh Irfan Abubakar (Ibid., 27), damai bukanlah sekadar absennya perang, melainkan adanya keadilan, hukum, dan ketertiban. Singkat kata, adanya pemerintahan yang efektif. UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menekankan bahwa budaya damai tidak mungkin tercipta hanya dengan sekadar membangun kembali masyarakat yang pernah tercabik-cabik oleh konflik.
Budaya damai haruslah dikembangkan dengan strategi transformasi relasi-relasi social yang konfliktual menuju hubungan kerjasama yang konstruktif sebelum masyarakat jatuh ke dalam jebakan perang dan kehancuran.
Dalam konteks itulah pendidikan perdamaian menemukan urgensinya, terutama dalam kerangka Indonesia yang mejemuk. Kemajemukan Indonesia yang secara historis menjadi formula utama dalam pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Untuk menjaga keutuhan kemajemukan yang ada diantaranya diperlukan pembangunan perdamaian (peacebuilding) melalui pendidikan perdamaian (peace education) yang massif dan berkelanjutan. Hal ini tidak lain untuk mewujudkan damai sejati di negeri ini. Damai yang tak sekadar ilusi atau palsu (damai negative), melainkan damai yang sesungguhnya (damai positif). [ ]
Ahmad Nurcholish, Pemimpin Redaksi Kabar Damai, Deputi Direktur ICRP