Upaya Perempuan Melawan Dominasi

Kabar Damai I Jumat, 19 November 20201

Jakarta I kabardamai.id I Suad, Perempuan dengan ambisi – ambisinya mengantarkan dia ke dunia politik. Latar belakang bahan bacaan dan kondisi negara mempengaruhi  jalan hidup yang ia pilih.   Pergerakanya dalam parlemen dan kiprahnya di organisasi membuat ia berada di posisi lingkar elit kekuasaan.

Kesadaran gender yang masih minim saat itu mempengaruhi dinamika politik yang masih konservatif.  Tetapi kekosongan dalam hidupnya yang ia alami serupa duri dalam daging. Dari mulai perceraian dengan Abdul Hamid, jatuh cinta dengan aktivis yang menjadi buronan dan putrinya, Faizah yang lebih dekat dengan Ibu Tiri.

Kehidupan pernikahanya tidak semulus karirnya di politik, ia sudah dua kali jatuh bangun. Hubungan antara laki – laki dan perempuan adalah kemitraan, hubungan yang saling melengkapi, bukan hubungan antara tuan dan budak. Dalam kasus ini perempuan seringkali dianggap pelayan. Mulai dari melayani suami, anak dan mengurus semua keperluan keluarga. Hidup dengan laki-laki yang kental akan budaya patriarki sulit untuknya mewujudkan konsep tersebut, didukung kondisi social yang masih mendeskritkan perempuan.

Bagi mereka, dalam lembaga pernikahan suami harus lebih dominan dari istri. Bukan malah harmonis yang tercipta tetapi justru pernikahan adalah bumerang baginya yang bisa menyerang dirinya kapan saja.
Sangkin tidak bisa menangani keadaan lantas ia memutuskan lari dari kehidupanya dan melupakan takdir bahwa ia perempuan, membunuh sendiri sisi – sisi perempuan dengan melampiaskanya paada ambisi dan karir.

 

Ambisiku telah membuatku melupakan segala sesuatu, hingga aku lupa bahwa aku perempuan.” – halaman 22.

 

Novel yang terdiri dari 10 bab ini, menarik  pembaca untuk terus menerus  diajak menyelami kehidupan seorang perempuan yang berambisi besar menjadi politisi sukses. Ia dalam cerita ini, mulai menjamah dunia politik ketika duduk di bangku SMA. Dalam aksi yang bisa tergolong besar, berkaitan dengan kenegaraan saat itu soal pembebasan, Mesir yang harus memerdekan diri dari Inggris. Ia berlaku sebagai koordinator di sekolahnya supaya teman – temanya ikut turun ke jalan, tahun 1935. Pertemuan pertama selalu berkesan, ia berjumpa dengan sepupunya yang menuntun pada mahasiswa dan aktivis berhaluan nasionalis untuk lebih mempelajari lebih dalam soal politik.

Suad kecil adalah perempuan yang kelaki – lakian, ia tak menyukai kontruksi sosial yang berkaitan dengan perempuan misal, bersih – bersih rumah, memasak, menjahit segala sesuatu yang ruang geraknya hanya domestik. Berbanding terbalik dengan Kakak Perempuanya yang berlatih memasak, menjahit, mendekorasi rumah.

Menuju dewasa laki laki dan lamaran datang silih bergantian, namun tak satupun diterimanya. Ia memiliki pandangan sendiri terkait cinta dan perkawinan yang nantinya berpengaruh pada hidupnya.

“Mereka datang, tetapi aku selalu menolaknya karena dengan menerimanya aku masih menjadi manusia biasa. Aku menolak mereka juga mungkin karena mereka, laki-laki yang datang tidak ada yang mampu membawaku menjadi manusia luar biasa.”

Kiprahnya dalam politik diiringi pula dengan prestasi yang gemilang di sekolahnya, tak jauh beda ketika menjadi mahasiswa. Ia memipin aksi dengan menjadi orator, mengikuti pertemuan dan diskusi politik.  Perang antar ego muncul ketika dia tak lagi mampu membendung perasaanya terhadap Abdul Hamid. Lantas mereka menikah, namun Suad masih bersikukuh dengan keinginanya yang terus ingin berkembang di ranah perpolitikan. Semakin dekat dunia politik dengannya, semakin ia jauh dari suaminya, perceraian pun tak terelakkan.

Baca Juga: Ketika Aktivisme Islam Kampus Mencari Identitas Baru

Sejak dulu perempuan dikonstruk sebagai mahluk yang lemah dan tak berdaya, meski pada realitanya di luar sana banyak yang lebih cerdas dan mumpuni. Yang bukan saja bergerak di ruang domestik tapi bisa leluasa juga di sektor publik. Jenis kelamin yang membedakan laki –laki dan perempaun, namun itu bukan dijadikan pedoman untuk mmebuat garis batas ruang gerak antara laki – laki dan perempuan. Menilik sejarah bahwa di abad pertengahan perempuan masih dianggap bukan manusia lalu muncul gerakan – gerakan perempuan. Di luar sana, ada jutaan Suad yang membela hak – hak perempuan, menyuarakan keadilan,dan ikut andil juga dalam usaha memerdekakan negara dan bangsanya.  Kiprahnya sudah pasti diakui, namun kenyataan bahwa ia seorang perempuan belum tentu diakui.

Karena apa? Karena aku hamil? Begitu?”

Hamil dijadikan sebagai alasan yang sangat klise supaya Suad tidak bertemu perdana menteri membicarkan soal revolusi di negaranya.

Upaya – upaya yang dilakukan Suad memerdekakan diri dari kungkungan budaya dan kontruksi sosial perlu diacungi jempol. Di satu sisi, masih banyak perempuan yang nyaman menjadi perempuan ‘second sex’, ia sudah tertawa – tawa merayakan kebahagiaanya atas kebebasanya dari superiorias laki laki.

Penulis novel ini, Ihsan Abdul Qudussangat lihai dalam menuliskan pergolakan kehidupan sang tokoh utama. Dengan lugas mampuu mencertikan perjuangan seorang perempuan terkait kesetaraan gender. Membuat tiap bab memiliki klimak dan anti klimaksnya masing – masing. Seperti saat Suad mempertahankan eksistensinya di politik sekaligus menaga keutuhan keluarga, meskpun ada salah satunya yang harus dikorbankan da Ihsan menuturkan dengan apik.

Kemudian ia menghadirkan Suad dalam pergolakan batinya sendiri sebagai pembanding. Bagaimanapun Suad tetap membutuhkan laki – laki dalam hidupnya karena memang pada dasarnya manusia adalah zoon politicon yang tidak bisa hidup sendiri, pun dalam soal rumah tangga, meski berujung pada perceraian. Lalu ia berkisah tentang Faizah yang lebih dekat dengan Samirah, Ibu Tirinya.

Dengan konflik yang bertubi – tubi menghampirinya Suad mampu berjuang dan melawan dominasi – dominasi yang ada disekilingnya.

Novel terjemahan yang berjudul Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan ini sama sekali bukan suatu penghakiman terhadap pihak manpun. Sayangnya sang penerjemah Syahid Widi Nugroho tidak mencatumkan judul aslinya sehingga menyebabkan pembaca multi tafsir. Uraian – uraian soal ambisi yang dibumbui kehidupan yang seringkali berbenturan dengan budaya.

 

 

Judul                                 : Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan

Penulis                              : Ihsan Abdul Quddus

Penerbit                            : Alvabet, 2012

ISBN                                  : 978 602 9193 16 9

Bahasa                               : Indonesia

Jumlah Halaman            : 228 halaman

Peresensi                           : Ai Siti Rahayu

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *