Trauma Perempuan dan Anak Masyarakat Adat Besipae Karena Digusur dari Hutan Adat

Oleh : Vanni Setio Cantika Puteri

Masyarakat Adat berperan penting dalam pendirian NKRI dan pengelolaan perekonomian berkelanjutan. Namun, sampai saat ini masih terjadi konflik antara Masyarakat Adat dengan pemerintah maupun dengan perusahaan swasta. Akibatnya, mereka terkena dampak negatif.

Terjadinya konflik disebabkan karena rendahnya pengakuan Negara atas hak ulayat dan adanya pengabaian hak Masyarakat Adat dalam proses penetapan fungsi lahan. Pemerintah pun cenderung berpihak kepada investor. Ditambah, putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/2012 terkait pengakuan hutan adat belum dijalankan. Akibatnya, sebagian Masyarakat Adat kehilangan tempat tinggal, kehilangan lahan pertanian, harus membayar denda jutaan rupiah, bahkan di antara mereka harus mendekam di balik jeruji besi karena mempertahankan hak-haknya

Sejumlah masyarakat adat Besipae di Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, melaporkan pengrusakan rumah di tanah adat yang membuat mereka kehilangan tempat tinggal. Imbas dari pengrusakan yang dilakukan oleh aparat, sebanyak 29 kepala keluarga kini terpaksa hidup beralaskan tikar dan beratap langit.

Insiden ini  membuat anak-anak dan perempuan adat Besipae trauma, namun, Pemerintah Provinsi NTT berkukuh apa yang dilakukan oleh polisi adalah “efek kejut”, sekaligus menegaskan lahan seluas 3.700 hektare itu akan dimanfaatkan sebagai lahan peternakan, perkebunan dan pariwisata demi kepentingan masyarakat adat.

Kekerasan yang dialami masyarakat adat yang mendiami hutan adat Pubabu di Amnuban Selatan ini terjadi sehari setelah baju adat mereka dikenakan Presiden Joko Widodo dalam upacara peringatan kemerdekaan Indonesia ke-75. Bangunan rumah yang selama ini menjadi tempat pengungsian warga yang mempertahankan hutan adat mereka dirubuhkan. Perempuan dan anak-anak di lokasi mendapat intimidasi, baik verbal dan fisik oleh aparat.

Baca Juga: Trauma Bom Tiga Tahun Lalu Itu Masih Ada

Saat gubernur mengunjungi Desa Mio di mana warga menyatakan penolakan mereka dengan melarangnya masuk ke wilayah adat dan memblokir jalan. Pemblokiran jalan ini direspons dengan aksi kekerasan untuk membongkar jalan yang dilakukan oleh kepolisian. Hal itu memicu aksi histeris dari para perempuan adat Besipae yang menanggalkan baju mereka sebagai simbol dukacita atas perampasan lahan hutan adat. Sejak saat itu, rumah-rumah masyarakat adat yang menempati hutan adat lambat laun digusur, kerap kali dengan intimidasi

Bila dirunut konflik lahan ini memiliki sejarah yang panjang. Berdasarkan kronologi konflik lahan yang disusun oleh Walhi NTT, konflik ini dimulai sejak 1982. Yakni ketika Pemerintah Provinsi NTT masuk ke wilayah Besipae dengan melakukan kesepakatan kerjasama dengan masyarakat adat Pubabu-Besipae dalam pelaksanaan Proyek percontohan Intensifikasi Peternakan.Proyek tersebut juga melibatkan Desa Oe Ekam, Desa Mio, Desa Poli dan Desa Linamnutu.

Lahan dan hutan masyarakat yang digunakan luasnya mencapai kurang lebih 6 ribu hektare. Proyek kerjasama Pemerintah Provinsi NTT dan Pemerintah Australia, dalam program Percontohan Pembibitan Ternak Sapi ini dilaksanakan dalam rentang 1982-1987. Akan tetapi proyek tersebut rupanya tidak berjalan dengan baik.Pada 1987, setelah Program Intensifikasi Peternakan ini berakhir, Dinas Kehutanan melaksanakan program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan (Gerhan) di wilayah Desa Polo, Desa Milo, Desa Oe Ekam dan Desa Eno Neten, Kecamatan Amanuban Selatan, di atas lahan seluas sekitar 6 ribu hektare. Melalui program ini wilayah tersebut dijadikan sebagai kawasan budidaya untuk tanaman komoditas, seperti jati dan mahoni, dengan skema hak guna usaha (HGU) mulai 1988 hingga 2008. Program ini dilaksanakan tanpa ada persetujuan dari masyarakat.

Tanah bagi kehidupan manusia mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal ini disebabkan hampir seluruh aspek kehidupannya terutama bagi bangsa Indonesia tidak dapat terlepas dari keberadaan tanah yang sesungguhnya tidak hanya dapat ditinjau dari aspek ekonomi saja, melainkan meliputi segala kehidupan dan penghidupannya. Oleh karena itu, sebagai penyelesaian dari konflik ini Humas Pemprov NTT Marius Jelamu menjelaskan bahwa pemerintah daerah telah menyiapkan lahan pengganti seluas 20 x 40 meter bagi 37 keluarga yang tinggal di lahan yang disengketakan. Sayangnya, masyarakat menolak dengan tegas. Hal ini pun menjadi momentum untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarkat Adat

Sebaiknya pemerintah mulai memperhatikan hak hak milik masyarakat adat agar pengambilan fungsi lahan adatnya tidak direbut secara paksa atau semena – mena

Oleh : Vanni Setio Cantika Puteri, Siswi SMAN 1 Pontianak

SUMBER

https://katadata.co.id/padjar/infografik/60176fce4fa52/masyarakat-adat-dan-konflik;

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53839101;

https://betahita.id/news/detail/5563/konflik-panjang-masyarakat-adat-pubabu-besipae-dan-pemerintah-ntt.html.html;

https://fhukum.unpatti.ac.id/jurnal/sasi/article/view/504/297

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *