Dalam sidang pada Selasa, 31 Januari 2023 Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pernikahan beda agama yang diajukan oleh E. Ramos Petege yang terdaftar dengan nomor perkara 71/PUU-XX/2022.
Dalam amar putusan, MK menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. “Amar putusan, mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman yang membacakan Amar Putusan dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya di Ruang Sidang MK.
Ramos menggugat UU Perkawinan yang mewajibkan pernikahan dilakukan oleh umat yang memeluk agama yang sama. Ia merupakan umat Katolik asal Papua. Dia mengajukan uji materi UU Perkawinan setelah gagal menikahi perempuan beragama Islam.
Pernikahan Ramos dengan kekasihnya terhalang lantaran Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan bahwa “perkawinan dikatakan sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
MK dalam pertimbangan hukumnya juga menyatakan, dalam perkawinan terdapat kepentingan dan tanggung jawab agama dan negara saling berkait erat. “Maka melalui Putusan Nomor 68/PUU-XII/2014 dan Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010, MK telah memberikan landasan konstitusionalitas relasi agama dan negara dalam hukum perkawinan bahwa agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan negara menetapkan keabsahan administratif perkawinan dalam koridor hukum,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih
Abaikan Realitas dan HAM
Atas penolakan tersebut MK nampaknya mengabaikan realitas yang berkembang di masyarakat. Fenomena pernikahan beda agama bukanlah hal baru di Indonesia. Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Noryamin Aini, dosen dan peneliti di Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, jumlah pasangan menikah beda agama mencapai puluhan ribu tiap decade.
Tahun 1980, terdapat 11.391 pasangan beda agama (PBA) dari 1.221.155 pasangan menikah di Indonesia. Ini artinya ada 9 PBA dari 1.000 pasangan menikah. Data ini berbasis Badan Pusat Statistik (BPS). Artinya angka tersebut muncul dari wawancara langsung oleh petugas BPS ketika menghimpun data kependudukan secara berkala.
Tahun 1990 jumlah tersebut meningkat menjadi 22 ribuan pasangan dari 1.680.000 pasangan menikah. Artinya ada 11 PBA dari tiap 1.000 pasangan menikah. Lanjut pada tahun 2000, jumlahnya naik lagi, terdapat 173.000 PBA dari 49 juta warga yang menikah. “Pada 2010 jumlahnya Kembali naik menjadi 233.000 PBA,” demikian disampaikan Noryamin Aini Ketika menjadi narasumber pada serial Talkshow Pernikahan Beda Agama, KatolikanaTV, 14 Maret 2022 lalu.
Selain data tersebut, jumlah pasangan beda agama yang menikah melalui kemitraan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) dan Harmoni Mitra Madania juga tidak kalah banyaknya. Sejak 2005 silam kedua Lembaga ini telah membantu sebanyak 1.576 PBA hingga awal Februari 2022 ini. Jumlah ini tersebar di seluruh Indonesia, dari Sumatera Utara hingga Merauke di Papua Selatan.
Hingga saat ini kedua Lembaga tersebut juga masih melayani konseling dan advokasi terhadap pasangan-pasangan beda agama. Setidaknya, dalam tiap bulan tidak kurang dari 30 calon pasangan beda agama datang berkonsultasi untuk dapat menikah meskipun berbeda agama. Realitas inilah yang diabaikan oleh MK dan juga pemerintah.
Realitas berikutnya adalah adanya keragaman pandangan di komunitas agama-agama, dimana selain ada pandangan yang melarang PBA, tapi juga ada pandangan sebaliknya, yakni membolehkan.
Baca juga: Ketua PIS Ade Armando Meminta Mahkamah Konstitusi Mengabulkan Permohonan Pengesahan Nikah Beda Agama
Riset yang dilakukan oleh ICRP bekerjasama Komnas HAM RI tahun 2005 dan 2010 menunjukkan bahwa di dalam komunitas agama apapun selalu ditemukan dua pandangan: melarang dan membolehkan. Contahnya di komunitas Protestan, ada sejumlah sinode geraja yang sudah lama membuka diri bagi dimungkinkannya PBA. Diantaranya adalah Gereja Kristen Indonesia (GKI) dan Gereja Kristen Jawa (GKJ).
Di komunitas Katolik bahkan nyaris tidak ada hambatan. Gereja-gereja Katolik di Indonesia akan memberikan dispensasi kepada jemaatnya yang akan menikah dengan non-Katolik. Karena itu data di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), pernikahan di gereja Katolik 50% adalah beda agama. Di Daerah Istimewa Yogyakarta jumlahnya lebih dari 70%.
Pun di komunitas Buddha dan Khonghucu, meski ada yang melarang tetapi secara umum larangan tersebut tidak terlalu ketat. Karena itu di dua komunitas ini boleh dikatakan pernikahan beda agama sangat dimungkinkan.
Demikian pula di komunitas muslim. Terdapat 3 pandangan terkait dengan PBA. Pertama, melarang dengan acuan QS. Al-Baqarah ayat 221 dan Al-Mumtahanah ayat 60. Kedua, membolehkan manakala yang muslim laki-lakinya dengan mengacu pada QS. Al-Maidah ayat 5. Ketiga, mengacu pada ayat yang sama, yakni Al-midah:5, ada pula yang membolehkan meski yang muslim adalah perempaannya. Ketiga pandangan tersebut memili argument teologinya masing-masing.
Dengan demikian, MK telah mengabaikan keragaman pandangan agama di komunitas agama-agama yang ada di Indonesia. MK selama ini hanya mau mendengar atau merujuk pada meraka yang mengikuti pandangan yang melarang. Sementara terhadap pandangan yang membolehkan, MK tak menganggap itu ada dengan dalih pandangan yang membolehkan itu sedikit, bukan pandangan mayoritas atau jumhur ulama kalau dalam Islam.
Dengan diabaikannya kedua realitas di atas, maka MK sesungguhnya telah melanggar hak asasi manusia ribuan bahkan mungkin sudah mencapai jutaan yang sudah dan akan menikah beda agama.
Dalam spektrum konstitusi terkait pernikahan sudah dijamin dalam UUD 1945 pasal 28B yang menyebutkan: 1. Hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah; 2. Hak seorang anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Selain itu, dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga Kembali ditandaskan terkait dengan pernikahan. Pasal 10 menyebut, (1) Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. (2) Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pun dalam UU No. 1 tahun 1974 yang diperbaharui menjadi no. 16 tahun 2019, menyebut bahwa (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Dalam ayat 1 di atas, MK menafsirkan bahwa sah pernikahan adalah kalua dilakukan oleh dua orang yang sama agamanya. Ini karena MK hanya mendengar pada pandangan jika tidak sama agamanya maka tidak sah pernikahannya. Sementara, bagi mereka yang mengikuti padangan yang membolehkan, perbedaan agama tidak menjadi penghalang. Pada saat menikah pun mereka melakukan dengan dua tata cara sekaligus. Misal Islam dan Kristen, bisa dengan akad nikah sekaligus pemberkatan. Artinya sah menurut agama masing-masing juga.
Tiga Cara Pencatatan
Untuk secara agama mereka yang mau menikah beda agama tidak ada hambatan. Tetap bisa dilaksanakan, bahkan dengan dua cara sekaligus. Misal Islam dan Katolik, maka dengan akad nikah dan pemberkatan. Dengan begitu sah sesuai Islam dan sah sesuai aturan di gereja Katolik.
Lantas bagaimana dengan pencatatan sipilnya? Sejak April 2022 lalu, pasca viralnya sejumlah PBA di media sosial, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil di seluruh Indonesia tiarap. Mereka tak mau lagi mencatat pasangan bilamana agama di KTP mereka berbeda agama. Karenanya, sejak itu ada 3 alternatif jalan keluar untuk pencatatan PBA.
Pertama, samakan dulu agama di KTP. Setelah itu baru dapat dicatatkan. Tentu ini tidak mudah bagi semua PBA. Banyak yang enggan melakukan perubahan agama di KTP. Sebab pada prinsipnya mereka tetap mau dengan agama/keyakinan masing-masing. Namun, tidak sedikit yang merubah agama untuk menjadi sama di KTP-nya demi bisa menikah.
Itu artinya pemerintah sebetulnya justru membuka peluang adanya tipu-tipu yang dilakukan oleh warga. Andai saja pemerintah menjalankan tugasnya sebagaimana diamanahkan dalam UU No. 1 1974, dimana “apa yang sudah disahkan oleh agama maka negara wajib mencatatnya” maka warga tak berlu bersusah payah dan tipu-tipu.
Kedua, mengajukan penetapan ke Pengadilan Negeri. Inilah yang dilakukan oleh sejumlah PBA. Beberapa PN yang sudah pernah mengabulkan permohonan PBA antara lain: Surabaya, Pontianak, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Bogor Kota, dan Solo – Jateng.
Cara kedua ini bukan tanpa masalah. Pasalnya, tidak semua PN mengabulkan permohonan PBA. Karena itu beberapa pasangan beda agama ditolak oleh PN. Jika begitu akhirnya mereka menempuh cara pertama dengan menyamakan agama di KTP.
Ketiga, menikah di luar negeri (LN), mendapatkan sertipikat nikah dari sana, lalu sesampai di Tanah Air diregister ulang di Disdukcapil di dalam negeri. Bagi mereka yang cukup uang car aini tidak menjadi halangan. Tapi bagi mereka yang dananya cekak tentu menjadi persoalan.
Negara-negara yang menjadi tujuan PBA selama ini antara lain: Singapura, Thailand, Australia, Hong Kong, Belanda, Ameraka dan Jerman.
Namun, dalam dua bulan terakhir (Desember 2022 – Januari 2023), mereka yang mau menikah di LN mendapatkan hambatan dari KBRI kita di sejumlah negara tersebut. Desember lalu ada 2 pasangan yang mau menikah di Singapura dan Jerman. Di kedua negara tersebut nyaruis tidak ada kendala. Kendala justru datang dari petugas KBRI.
Perlu diketahui, untuk bisa menikah di LN calon PBA harus mengantongi ijin dari KBRI kita di negara tersebut. Nah, sesuai informasi dari calon pasangan, KBRI Singapura meminta surat pengantar dari Kantor Urusan Agama (KUA) di Indonesia. Sementara KBRI Jerman meminta surat keterangan belum pernah menikah dari KUA pula. Hal itulah yang sulit didapatkan. Artinya, menikah di dalam negeri tidak boleh, mau menikah di LN pun dipersulit.
Bagaimana Seharusnya Negara Berperan?
Mestinya negara harus adil pada tiap warganegara. Bagi mereka yang mengikuti pandangan yang melarang, ya harus dijamin haknya untuk tidak menikah berbeda agama. Tapi bagi mereka yang mengikuti pandangan yang membolehkan, maka negara juga harus menjamin haknya untuk dapat menikah dan dicatatkan.
Negara dalam hal ini pemerintah tidak perlu larut dalam perdebatan pro dan kontranya. Berikanlah kebebasan pada warga untuk menentukan pilihannya. Yang penting adalah Ketika pasangan tersebut sudah ada bukti pengesahan secara agama, maka negara tinggal mencatatnya saja. Simple!
Sebab jika negara hanya memihak pada pandangan tertentu, akan banyak warganegara yang dirugukan karena terenggut haknya untuk menikah, berkeluarga dan memiliki keturunan. Tentu ini bukan negara ideal. Mari kita berfikir waras, logic dan manusiawi demi terwujudnya kehidupan bernegara dan berbangsa yang menjunjung tinggi konstitusi, nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan hak asasi manusia.
Hanya dengan itulah kita akan dipandang sebagai negara yang beradab, berkeadilan dan berkemanusiaan oleh negara-negara lain yang sudah dari dulu mengakomodir pernikahan beda agama.
Ahmad Nurcholish, Direktur Program ICRP, Konselor Pernikahan Beda Agama
Comment