Menilik kembali eksistensi dan pergulatan etnis Tionghoa di Indonesia, yang mana penulis ingin mengajak pembaca melihat setiap era tumbuh kembang etnis ini. Mengingat sebentar lagi ialah perayaan Tahun baru imlek. Sehingga kita dapat merefleksikan keberadaan saudara kita etnis Tionghoa di bumi Pertiwi.
Imlek sendiri merupakan perayaan menyambut musim semi bagi petani serta perayaan tahun baru bagi masyarakat Tionghoa. Menurut beberapa catatan bahwa awal mula perayaan imlek ialah adanya Nian yang suka meneror penduduk desa kemudian menjadi takut setelah melihat seorang anak memakai baju berwarna merah. Tak heran ornamen dan nuansa Imlek penuh dengan warna merah, selain itu disertai dengan pertunjukan Barongsai serta Liong sebagai atraksi menghibur kemeriahan acara perayaan imlek.
Keberadaan etnis Tionghoa serta tradisinya di Indonesia sendiri mengalami banyak cerita, pasang surut tidak lepas dari perbedaan kepemimpinan yang pernah terjadi.
Pada era Kolonial etnis Tionghoa menjadi korban politik devide et impera dari Penjajah yang selalu dikambing hitamkan ketika ada masalah. Selain itu diterapkannya politik separatisme antar golongan penduduk, yang membagi penduduk kelas satu ialah orang belanda dan bangsa kulit putih lainnya, warga negara kelas dua yang terdiri dari Vreemde Oosterlingen yaitu orang India, Arab, Tionghoa dan orang-orang timur lainnya, dan warga negara kelas tiga yaitu pribumi.
Penggolongan ini menimbulkan eksklusivisme karena diposisikan sesuai stratifikasi dan tidak boleh saling membaur. Selain itu orang Tionghoa sendiri mendapat perlakuan hukum yang diskriminatif yang mana disamakan dengan kaum pribumi.
Pada akhir abad 19, pemerintah kolonial membatasi ruang gerak etnis Tionghoa. Melalui Wijkenstelsel pemerintah kolonial mengisolasikan etnis Tionghoa dalam pemukiman yang bernama pecinan, hal ini menjauhkan dari kelompok pribumi. Pemerintah juga menerapkan Passenstelsel (Pas jalan) yang mengharuskan etnis Tionghoa meminta izin ketika hendak berpergian.
Berlanjut pada masa Orde Lama, dizaman presiden Soekarno di tandai dengan adanya penetapan pemerintah tahun 1946 No.2/OEM tentang “Aturan Hari Raya” yang mengatur berbagai hari raya khusus bagi etnis Tionghoa di Indonesia ( Imlek, Ceng Beng, Hari Lahir dan Wafat Khonghucu ). Hal ini tentunya tidak lepas dengan kedekatan Presiden Soekarno serta relasi persahabatan dengan Pemerintahan China pada waktu itu.
Baca Juga: Tionghoa dan Perdamaian
Pada Era Orde baru selama periode 1968 hingga 1999, terjadi tindakan represif terhadap kelompok etnis Tionghoa hal ini ditunjukan dengan pelarangan perayaan tahun baru imlek didepan umum. Hal ini bersumber pada Intruksi Presiden No.14/1967 yang dikeluarkan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 6 Desember 1967.
Inpres tersebut berisikan Pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat etnis Tionghoa. Sehingga secara sistematis dan masif mengelimininasi identitas, kebudayaan dan Tradisi Etnis Tionghoa di Indonesia. Tentunya tidak lepas dari kekhawatiran rezim orde baru dengan adanya benih-benih komunisme yang tumbuh.
Selain itu juga terdapat kebijakan dari Pemerintah yang melarang penggunaan Nama Cina dan harus diganti dengan nama Indonesia. Hal ini merupakan tindakan diskriminatif yang membangkitkan sentimen anti Cina dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai puncaknya ialah tragedi tahun 1998 yang mana banyak etnis Tionghoa pergi ke luarnegeri, dijarah harta dan juga wanita Tionghoa yang diperkosa serta di bunuh.
Matahari pun akhirnya bagi Etnis Tionghoa kembali muncul sejak kepemimpinan Presiden KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur tahun 2000 mencabut Inpres Nomor 14/1967, serta diikuti Kepres No 19/2001 yang mengumumkan secara resmi bahwa Tahun baru Imlek sebagai hari libur fakultatif (Berlaku bagi mereka yang merayakannya).
Selain itu juga Gus Dur pernah membela pasangan Tionghoa yang menikah secara Konghucu namun ditolak oleh kantor catatan sipil. Pada waktu itu Gus Dur ialah ketua PBNU, beliau menjadi saksi di pengadilan pasangan tersebut. Dalam perjalan hidup Gus Dur pun beliau menyuarakan keberpihakannya serta menyampaikan bahwa ia merupakan keturunan etnis Tionghoa.
Pada Perayaan Imlek Tahun 2002, Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) mengundang Presiden Megawati Soekarnoputri. Dalam kesempatan itu, diumumkan bahwa Imlek menjadi Hari Libur Nasional pada tahun 2003. Hal ini ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Kepres No 19 tahun 2002.
Serta pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencabut Kepres yang menghapus istilah “China” dan kembali kepada “etnis Tionghoa”. Selain itu beliau mengeluarkan Kepres No.12 Tahun 2014 yang menjadi terobosan penting dalam upaya menciptakan suasana kehidupan bebas dari Ras dan Golongan.
Hingga pada era sekarang pada tahun 2022, era dimana terbukanya informasi dan pengetahuan mengenai etnis Tionghoa. Beberapa kelenteng dapat dijumpai dikota-kota serta pecinan dibeberapa tempat yang menandakan adanya komunitas Tionghoa yang berkembang. Namun kebebasan yang dirasakan oleh etnis Tionghoa sendiri merupakan hal yang semu menurut penulis, mengingat masih adanya diskriminasi di akar rumput.
Ketika pandemic Covid-19 merebak ke dunia termasuk indonesia yang dimana berawal dari Cina, menjadi pemantik baru untuk menyerang etnis china. Kita tidak bisa menutup mata bahwa kenyataan ketika dikeluarkan uang pecahan 75.000 rupiah spesial 75 tahun Republik ini terjadi polemik perdebatan dimedia nasional.
Yang mana memperdebatka pakaian adat Cina yang digunakan oleh salah satu anak pada gambar yang tertera di uang tersebut. Selain itu adanya kelompok 1% dikatakan menguasai ekonomi nasional yang mayoritas merupakan etnis Tionghoa, menjadi sebuah sentimen kesenjangan ekonomi. Isu terhangat ialah adanya pemindahan Ibu kota negara yang digadang-gadang sebagai beijing kedua oleh oknum yang ingin memperkeruh suasana.
Dalam penelitian Eunike Mutiara Himawan dari The University of Queensland, Australia, mengenai persepsi warga negara Indonesia terhadap peristiwa kerusuhan Mei 1998 mengindikasikan bahwa masih terdapat prasangka negatif terhadap etnis Tionghoa hingga sekarang. Sehingga tidak menutup kemungkinan akan adanya konflik horizontal dengan etnis Tionghoa dimasa mendatang. Dalam penelitian yang melibatkan 100 orang etnis Tionghoa dan 100 orang etnis lainnya serta usia diatas 30 Tahun. Setidaknya ada 2 hal yang menjadi jawaban yaitu sebagai berikut :
Prasangka penyebab Konflik, tidak dapat dipungkiri prasangka negatif ini muncul karena adanya kesenjangan ekonomi antara penduduk asli dengan etnis Tionghoa. Yang mana penduduk asli melihat bahwa etnis Tionghoa begitu menguasai perekonomian di negara.
Kedua ialah Trauma yang membekas, yang mana kita tahu bahwa era orde baru etnis Tionghoa mengalami diskriminasi ditambah dengan kerusuhan mei 1998. Peristiwa inilah yang menimbulkan trauma yang membekas baik bagi penduduk asli dan terutama etnis Tionghoa. Hal ini juga sulit dilupakan mengingat banyaknya stimulus dan sterotype yang dikenakan pada etnis Tionghoa yang memicu memori tentang kejadian itu.
Melihat kebelakang dan melihat dimasa sekarang, tidak dapat dipungkiri Stigma dan Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa masih ada dan terus akan ada. Bukan berarti penulis pesimistis dengan situasi yang ada melainkan banyak dosa masa lalu yang memang sudah melukai tapi tak kunjung diobati.
Tentunya mengobati bukanlah perkara yang mudah, melain perlu telaten dalam hal ini. Ibarat sebuah penyakit, diskriminasi terhadap etnis Tionghoa seperti kanker serviks. Yang mana secara kasat mata tidak nampak, melainkan menggerogoti dari dalam dan secara perlahan namun mematikan.
Hal inilah yang harus menjadi pekerjaan rumah bagi kita bersama, memanglah tidak mudah namuh perlahan-lahan dapat terobati. Berawal dari pemikiran pluralis dari Gus Dur kemudian merangkul dan menghilangkan prasangka dan stigma lalu berlanjut menjadi pribadi yang anti dengan diskriminasi, maka perlahan namun pasti konflik dimasa mendatang pun menjadi sirna.
Oleh: Pdm.Ferry Mahulette, S.Th, Generasi Muda FKUB Banyumas, Peserta Sekolah Kepemimpinan Pemuda Lintas Agama, memiliki minat dalam membangun kerukunan beragama serta melestarikan budaya dan kearifan lokal