The Devil All The Time: Kejahatan Kemanusiaan Berkedok Agama

Kabar Sinema78 Views

Kabar Damai I Senin, 18 Oktober 2021

Jakarta I kabardamai.id I The Devil All The Time adalah film yang menggambarkan bagaimana agama dan religiusitas dieksploitasi. Bersikap religius tak serta merta menjadikan seseorang sebagai sosok paling suci. Terkadang apa yang terjadi malah sebaliknya. Seseorang bisa saja menyalahartikan, menyalahgunakan agama untuk kepentingannya sendiri. Bisa dianggap sebagai pelarian, penyelamat, atau bahkan justifikasi untuk berbuat jahat.

Hal di atas adalah pesan utama dari film yang tersedia di Netflix, The Devil All The Time. Diadaptasi dari buku berjudul sama, dengan Antonio Campos duduk di kursi sutradara, The Devil All Time mengajak penonton melihat bagaimana agama bisa diinterpretasi atau disikapi berbeda-beda hingga ke tahap ekstrim. Bagusnya, The Devil All The Time tidak melihat hal tersebut dari sudut pandang teroris yang sudah klise.

Film ini hadir membawa narasi tentang bagaimana “hasrat setan” terbentuk di dalam tubuh manusia dan yang menarik, “hasutan setan” ini justru disebabkan oleh fanatisme terhadap agama yang berlebihan.

Manusia yang “kesetanan” ini bermula dari seorang veteran Perang Pasifik, Willard (Bill Skarsgård) yang ketika berdoa bersama anaknya, merasa terganggu dengan beberapa orang yang baru pulang dari berburu. Orang-orang tersebut dirasa Willard mengganggu kekhusyukan dirinya berdoa. Untuk memberi pelajaran agar anaknya berani melawan orang-orang yang berusaha mengganggu kehidupan pribadi, Willard tidak segan-segan melakukan kekerasan terhadap orang-orang tersebut di depan mata anaknya sendiri dengan dalih “Banyak bajingan jahat di luar sana”.

Baca Juga: Maid: Gambarkan Mental Abuse Bagian dari KDRT

Pelajaran kekerasan dalam The Devil All the Time ini seolah-olah dibalas oleh Tuhan dengan memberikan penyakit kanker kepada istrinya. Merasa berdosa, Willard terus menerus berdoa meminta penyakit istrinya sembuh, sampai-sampai ia membunuh anjing peliharaan kesayangan anaknya dengan dalih “penebusan untuk menukar dengan kesembuhan istrinya”.

Seolah-olah Willard mencoba menafsir kisah Nabi Ibrahim tentang pengorbanan. Namun, sayangnya Tuhan lagi-lagi tidak menjawab, istrinya meninggal, dan sehari setelah pemakaman, Willard memutuskan untuk bunuh diri dan menyalib anjingnya. Anaknya, Arvin (Ketika besar diperankan oleh Tom Holland) ditinggal sendiri di rumah dan dari kejadian ini ia bertemu pertama kali dengan Sherif Lee yang diperankan Sebastian Stan. Di kemudian hari, mereka dipertemukan lagi oleh dendam Sherif Lee terhadap Arvin karena sudah membunuh adiknya.

Film garapan Antonio Campos ini memang menarik dari segi pengembangan karakter, di mana pengenalan karakter dibuat terpisah dari cerita lalu dipertemukan lagi di akhir film dengan motif yang berbeda-beda bersama alur flashback. Babak demi babak The Devil All the Time selalu berakhir dengan kematian yang mengerikan dan digambarkan dengan “mendongak ke langit luas”.

Arvin (Tom Holland), dalam kisahnya sendiri, memandang Agama dengan sinis dan kritis. Apalagi setelah tragedi kedua orang tuanya. Ia masih beriman, tetapi tidak sepenuhnya taat, memilih kekerasan sebagai jalan keluar atas berbagai masalah. Sikapnya berbeda dengan adik tirinya, Lenora (Eliza Scanlen), yang sangat taat hingga dirinya pun memilih berhubungan dengan pendeta yang jago bersilat lidah dan cabul, Preston Teagardin (Robert Pattinson).
Semua kisah tersebut, walau disampaikan secara non-linear, saling menguatkan narasi satu sama lain. Terkadang kisah satu karakter bisa memberi perspektif yang berbeda dari kisah karakter yang lain. Beberapa juga berfungsi sebagai foreshadow. Hal itu membuat semua kisah The Devil All The Time, walau terkadang terasa tidak karuan seperti sulitnya memahami Tuhan sendiri, tetap mampu menyedot kami untuk memahaminya hingga tuntas.
The Devil All The Time juga tidak sepenuhnya menggurui atau bersikap sinis terhadap Agama. Walau film ini didesain sebagai sebuah thriller dengan kritik religiositas, tetap ada pesan-pesan yang hopeful di baliknya. The Devil All The Time tidak menempatkan Agama sebagai masalah, tetapi cara pandang karakter-karakternya terhadap Agama yang menjadi masalah. Apa yang hendak ditunjukkan film ini, jika ingin disederhanakan, adalah Ironi dari religiositas itu sendiri.

The Devil All the Time menunjukkan bahwa agama kerap dijadikan kedok untuk berbuat jahat. Yang kelihatan agamis kadang bisa bertindak lebih jahat.

 

Penulis: Ai Siti Rahayu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *