Teori Konspirasi: Bumbu Penyedap di Tengah Pandemi COVID-19

Opini163 Views

Oleh: Gemilang Yusrima Renic

Dilansir dari situs finance.detik.com,  Bill Gates lewat yayasannya Bill & Melinda Gates Foundation, menyumbangkan dana sebanyak 100 juta US$ untuk mengembangkan vaksin, penguatan deteksi virus hingga pencegahan virus corona. Dari hal ini, kemudian timbul anggapan-anggapan bahwa Bill Gates adalah salah satu dalang dari terjadi wabah yang menyerang dunia saat ini.

Hal ini bukan tanpa alasan yang jelas, melainkan karena prediksi yang sebelumnya diungkap Gates pada 2018 tentang akan munculnya virus baru semacam virus flu yang terjadi pada 1918, dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Massachusetts Medical Society New England Journal of Medicine.

Masyarakat menduga bahwa Bill Gates mengembangkan vaksin yang berisi chip dengan dalih untuk menghentikan keganasan virus corona, padahal vaksin ini  sebenarnya berbahaya karena jika disuntikkan ke tubuh manusia, maka orang yang menciptakan vaksin ini dapat memantau pergerakan dan mengendalikan kehidupan manusia.

Hal ini jelas merupakan sebuah teori konspirasi, dimana seseorang diduga terlibat dalam sebuah kelompok tertentu untuk menguasai dunia, dengan menciptakan teror-teror yang kemudian menimbulkan ketakutan besar bagi dunia.

Fenomena-fenomena teori konspirasi kehadirannya memang tidak pernah absen menjadi penyedap bagi setiap kejadian besar di dunia, masalah terasa hambar dan kurang gurih jika tidak dihiperbola oleh  teori-teori yang menarik.

Di Indonesia sendiri contohnya seperti, pernyataan tentang virus corona yang telah diprediksikan kemunculannya dalam buku Iqro karya K.H As’ad bin Humam. Dalam buku iqro satu, pada bagian nun ada sebuah kalimat yang dalam bahasa latin “qorona khalaqo zamana kadzaba” yang katanya berarti virus corona tercipta pada zaman penuh dusta.

Meskipun tidak terbukti kebenarannya, tidak sedikit masyarakat yang membagikan teori tersebut di beberapa akun media sosialnya. Hal ini menurut Karen M. Douglas, Robbie M. Sutton, dan Aleksandra Cichocka dalam jurnalnya yang berjudul The Psychology of Conspiracy Theories, disebabkan oleh tiga faktor yaitu motif epistemik, motif eksitensial, dan motif sosial.

Motif Epistemik

Motif ini merupakan dorongan dalam diri untuk menemukan jawaban-jawaban dari setiap masalah kompleks yang tidak bisa dijawab dengan sekali berpikir saja. Akibatnya ketika informasi yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah tidak ditemukan, maka selanjutnya tindakan manusia akan dikendalikan oleh rasa penasaran yang meluap-luap.

Jika berdasasarkan motif epistemik tadi, menurut penulis wajar apabila banyak masyarakat yang percaya atau bahkan menciptakan teori konspirasi. Contohnya seperti munculnya virus ini di tengah-tengah perayaan tahun baru imlek menyebabkan penyebaran virus ini sangat cepat dan tidak terkendali.

Tak hanya itu, sempat adanya pernyataan dari pemerintah China bahwa virus ini tidak menyebar atau ditularkan dari manusia ke manusia, dan hal tersebut mengakibatkan dokter yang pertama kali mengidentifikasi bahwa virus ini merupakan virus corona jenis baru akhirnya meninggal dunia karena ikut terinfeksi.

Hal-hal ini cukup menimbulkan pertanyaan-pertanyaan besar, karena sebenarnya virus corona telah ada sejak lama, akan tetapi mengapa bisa muncul kembali di waktu yang paling tepat untuk bisa membuat virus ini menyebar begitu cepat ke berbagai negara?

Selain itu penanganan lambat dari pemerintah China yang merupakan salah satu negara adidaya juga semakin membuat rasa ingin tahu berkecamuk, sehingga masyarakat memilih teori konspirasi sebagai alternatif untuk memuaskan rasa penasaran dalam dirinya, dengan cara menghubung-hubungakan fakta yang ada, yang kemudian cukup masuk akal baginya.

Motif Eksistensial

Motif yang kedua yaitu eksitensial, adalah sebuah motif yang mendorong manusia untuk melakukan proteksi terhadap diri. Mempercayai teori konspirasi dilakukan sebagai bentuk kontrol sosial oleh masyarakat, agar tetap merasa aman.

Ketika seseorang penasaran, maka yang dia lakukan adalah mencari jawaban, akan tetapi ketika seseorang tidak memiliki kekuasaan, dan berada pada titik lemah dengan ketakutan-ketakutan besar pada pandemi, bukan tidak mungkin masyarakat menyebarkan rumor dengan teori konspirasi.

Dari kecenderungan untuk membuat dirinya tetap terlindungi dari ancaman dan merasa aman dengan menciptakan teori konspirasi biasanya juga karena ada pihak yang diuntungkan dalam sebuah kejadian. Motif ini menurut penulis juga sangat bisa menjelaskan mengapa masyarakat percaya teori konspirasi.

Misalkan untuk merasa aman dari virus corona masyarakat rela menggelontorkan uang yang tidak sedikit untuk melakukan tes medis resmi, atau sekedar membeli vitamin dan hand sanitizer. Sehingga yang terjadi adalah perusahaan yang memproduksi barang tersebut untung besar-besaran.

Atau seperti dengan adanya perintah Work From Home, industri penayangan film dan serial daring seperti contohnya Netflix, Viu, Apple Tv dan lain sebagainya semakin meroket. Hal ini karena masyarakat yang bosan dirumah dan tidak ada pilihan lain selain menonton tayangan-tayangan yang disediakan oleh perusahan-perusahaan tersebut. Ketika masyarakat tetap tidak merasa aman dengan apa yang telah diusahakan sebelumnya, dengan melakukan kontrol pada diri sendiri maka yang terjadi adalah kontrol sosial dengan jalan teori konspirasi.

Skemanya adalah, misalkan ketika teori konspirasi tercipta dan menyebakan masyarakat tidak percaya lagi kepada elit yang hanya merupakan kelompok kecil, maka mau tidak mau elit harus mengikuti keinginan masyarakat yang merupakan mayoritas dan tujuan kontrol  sosial pun akhirnya tercapai.

Motif Sosial

Dan terakhir dalah motif sosial, motif ini merupakan sebuah dorongan untuk untuk mempertahankan citra positif diri sendiri dan dalam kelompok, dengan cara menyalahkan satu pihak yang akan dikaitkan dengan permasalahan yang ada.

Menurut penulis motif ini bisa terjadi karena adanya bias kelompok atau golongan, ini bisa dilihat dari pernyataan sebelumnya tentang prediksi corona pada buku iqra, orang yang menciptakan teori ini terlihat jelas merupakan seorang muslim yang berusaha keras membuktikan kebenaran agama islam. Padahal buku iqro hanya sebagai alat untuk mempermudah belajar membaca Al-Qur’an.

Baca Juga: Indonesia Dinobatkan Jadi Negara Paling Dermawan di Dunia saat Pandemi

Atau contoh lain seperti adanya isu yang beredar bahwa virus corona merupakan keteledoran pemerintah China terkait dengan biological weapon yang sengaja mereka kembangkan untuk kebutuhan perang. Dan di sisi lain, pada pertengahan Maret 2020, Pemerintah China menuding bahwa sebenarnya virus corona ini bukan berasal dari Wuhan, akan tetapi berasal dari tentara Amerika Serikat yang saat itu sedang berkunjung ke China dan memang dengan sengaja menyebarkan virus ini.

Kebutuhan masyarakat pada pihak yang dikambing-hitamkan, agar bisa ditunjuk untuk bertanggung jawab terhadap kekacauan yang ada merupakan sebuah alasan mengapa teori konspirasi begitu menjamur di tengah pandemi. Menurut penulis, ketiga motif tersebut tidak berdiri sendiri melainkan berkaitan satu sama lain dalam menciptakan teori konspirasi. Ketika manusia merasa terancam dan terjebak dalam sebuah masalah, maka manusia akan berusaha mencari solusi untuk permasalahan yang dia hadapi.

Akan tetapi karena masalah terlalu kompleks, maka informasi apapun yang terlihat masuk akal baginya akan dijadikan acuan. Dan hal-hal yang masuk akal ini, tidak terhindarkan dari sikap biasnya terhadap golongannya. Ketika seseorang terlalu cinta terhadap kelompoknya maka akan timbul sikap etnosentris dan akan selalu berusaha membuat kelompoknya terlihat paling benar. Oleh sebab itu teori konspirasi pandemi memiliki beberapa aliran. Misalnya mereka yang tidak menyukai Amerika, akan selalu setuju terhadap isu apapun yang menjatuhkan citra Amerika, begitupun juga terhadap China.

Dampak Teori Konspirasi

Ada dua hal yang paling penulis khawatirkan dari adanya teori konspirasi di tengah pandemi saat ini, yang pertama kehadiran teori konspirasi meskipun terkadang hanya menjadi hiburan bagi masyarakat, sesedikitnya akan menimbulkan rasa ragu terhadap pemerintah. Hal ini karena alasan-alasan dari setiap teori konspirasi yang ada memang berdasarkan fakta-fakta lapangan, seperti adanya laboratorium penelitian virus di lokasi kemunculan virus ini yaitu di Wuhan, China. Atau bukti bahwa Bill Gates adalah pemilik Microsoft Corporation, mungkin saja membuat chip yang mengendalikan manusia terlihat mudah untuk Gates.

Jika masyarakat tidak memiliki kepercayaan kepada pemerintah, ditakutkan akan menimbulkan kurangnya kesadaran untuk bekerja sama menghadapi pandemi, dan lebih sibuk menuntut serta menyalahkan. Seperti yang terjadi di Italia dan Amerika, karena terlalu meremehkan himbauan social distancing akhirnya mengakibatkan kasus positif corona meningkat pesat.

Yang kedua adalah mungkin saja terjadi konflik golongan, seperti yang kita tahu bahwa rumor dalam masyarakat memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mengendalikan massa. Apalagi jika ditambah massa yang menerima rumor tersebut didasari oleh nilai-nilai golongan yang ia pegang teguh.

Dan jika dari motif psikologi yang telah dibahas di atas, mungkin saja bukan hanya masyarakat luas yang percaya teori konspirasi akan tetapi para elit global pun memiliki kemungkinan untuk percaya juga. Bisa jadi elit-elit pun membutuhkan pihak yang disalahkan sehingga dia bisa bertahan di kursi kekuasaan.

Demi bertahan di tengah perebutan kekuasaan,  sangat mungkin bagi para penguasa untuk memainkan peran rumor seperti teori konspirasi untuk mendapatkan dukungan massa. Seperti yang dilakukan China ketika menuding adanya tentara Amerika yang berkunjung ke Wuhan sebelum terjadi outbreak. Buktinya siapa yang sekarang membahas adanya laboratorium penelitian virus di Wuhan? Masyarakat lebih fokus pada Bill Gates dan vaksin chipnya, kemudian ada pula rumor tentang Amerika mengembangkan vaksin yang berisi virus bersama Israel yang dikirim ke Wuhan, atau skenario peluncuran virus yang ditemukan dalam dokumen The Rockefeller Foundation.

Mayarakat yang etnosentris dan bingung saja sudah cukup untuk mempercayai sebuah teori konspirasi apalagi jika ditambah ketakutan terhadap pandemi, terlebih adanya bukti-bukti yang juga masuk akal, akan sangat sulit untuk menolak teori konspirasi.

Jika hal ini terjadi terus menerus, yang dirugikan pasti selalu masyarakat. Bukannya bekerja sama menanggulangi pandemi, masyarakat akan sibuk melemparkan teori konspirasi dan saling menyulut emosi masing-masing. Akhirnya pandemi tidak selesai dan malah menimbulkan masalah baru yaitu konflik.

Terlepas dari semua itu, dalam setiap masalah sosial yang melibatkan banyak orang, teori konspirasi memang akan selalu hadir dan jadi penghias, baik itu di Indonesia atapun dunia. Untuk itu hendaknya kita lebih bijak dalam memilah informasi-informasi yang kita terima agar tidak semakin memperkeruh keadaan terutama jika informasi tersebut belum dapat dipastikan kebenarannya.

 

Gemilang Yusrina Renic, Mahasiswa Jurusan Sosiologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Koordinator Riset Lembaga Pers Mahasiswa Suaka

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *