Teologi Pluralisme Nurcholish Madjid

Oleh Budhy Munawar-Rachman

“Pluralisme … [adalah] pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” 

Nurcholish Madjid 

“Seorang Muslim tidak mengaku mempunyai agama yang khas untuk dirinya. Islam bukanlah sebuah sekte atau agama etnis. Dalam pandangannya, semua agama adalah satu (sama), karena Kebenaran adalah satu (sama). Ia adalah agama yang diajarkan oleh semua nabi yang terdahulu. Ia adalah kebenaran kepada suatu kesadaran tentang adanya Kehendak dan Rencana Tuhan serta sikap pasrah suka rela (dengan senang hati) kepada Kehendak dan Rencana itu”

 

Nurcholish Madjid

Pemikiran Islam belakangan ini mulai menyadari pentingnya mengembangkan pemikiran inklusivisme yang terbuka kepada sikap plural (pluralisme),  termasuk di Indonesia. Apalagi jika kita membandingkan teologi Kristiani dan teologi Islam, maka “inklusivisme yang terbuka pada paham pluralisme” bukanlah fenomena baru bagi Islam. Sebab, Islam secara teologis dan historis tidak bisa dilepaskan dari agama-agama lain. Hanya saja, bentuk dan corak hubungan tersebut berlangsung menurut konteks hubungan Islam dan agama-agama lain itu dalam lintasan sejarah yang spesifik. Kadang-kadang, berlangsung secara polemis, tetapi lebih banyak terjadi dalam dialog.

Namun, prinsip yang mendasari hubungan Islam dan agama-agama lain itu tetaplah sama—sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an dan dicontohkan dalam kehidupan Nabi Muhammad—yakni pengakuan dan penghormatan akan keberadaan agama-agama lain, dan adanya ruang kebebasan bagi para pemeluknya untuk menjalankan agamanya masing-masing. Dalam bahasa Dale F. Eickelman, seorang ahli Islam kontemporer, “The Qur’an offers a distincly modern perspective on the role of Islam as a force for tolerance and mutual recognition in a multiethnic, multicommunity world”.

Ada tiga pengertian “inklusivisme yang terbuka pada sikap pluralis” yang telah dikembangkan, dan dijadikan dasar analisis dalam teologi maupun sejarah Islam klasik, lebih-lebih kontemporer. Ketiga pengertian ini akan dibahas panjang lebar oleh para pemikir teologi Islam inklusif yang terbuka pada pluralisme di bawah.

Pertama, adalah “keterlibatan aktif dalam keragaman dan perbedaannya, untuk membangun peradaban bersama.” Dalam pengertian ini, seperti tampak dalam sejarah Islam, pluralisme lebih dari sekedar mengakui pluralitas keragaman dan perbedaan, tetapi aktif.

merangkai keragaman dan perbedaan itu untuk tujuan sosial yang lebih tinggi, yaitu kebersamaan dalam membangun peradaban. Kedua, inklusivisme yang terbuka kepada pluralisme dengan pengertian yang pertama di atas, berarti mengandaikan “penerimaan toleransi aktif terhadap yang lain.”

Tetapi pluralisme melebihi toleransi. Pluralisme mengandaikan pengenalan secara mendalam atas yang lain itu, sehingga ada mutual understanding yang membuat satu sama lain secara aktif mengisi toleransi itu dengan hal yang lebih konstruktif, untuk tujuan yang pertama, yaitu aktif bersama membangun peradaban. Ini telah terjadi dalam sejarah Islam. Spanyol (Andalusia) menjadi contoh yang paling ekspresif dari “Islam inklusif yang terbuka pada pluralisme.

Ketiga, berdasarkan pengertian kedua, maka inklusivisme yang terbuka kepada pluralisme “bukan relativisme.” Pengenalan yang mendalam atas yang lain akan membawa konsekuensi mengakui sepenuhnya nilai-nilai dari kelompok yang lain. Toleransi aktif ini menolak paham relativisme, misalnya pernyataan simplistis, “bahwa semua agama itu sama saja”. Justru yang ditekankan keberbedaan itu merupakan potensi besar, untuk komitmen bersama membangun toleransi aktif, untuk membangun peradaban.

Baca Juga: Memahami Sekularisasi Cak Nur: Kontroversi dan Kontribusinya

Ketiga pengertian inklusivisme yang terbuka pada pluralisme ini, secara teologis berarti bahwa manusia memang harus menangani perbedaan-perbedaan mereka dengan cara terbaik (fastabiq-û ‘l-khairât, “berlomba-lomba dalam kebaikan”, dalam istilah al-Qur’an) secara maksimal, sambil menaruh penilaian akhir mengenai kebenaran kepada Tuhan. Karena tidak ada satu cara pun yang bisa dipergunakan secara objektif untuk mencapai kesepakatan mengenai kebenaran yang mutlak ini.

Mohamed Fathi Osman mendefiniskan inklusivisme yang terbuka pada pluralisme sebagai,

“Bentuk kelembagaan di mana penerimaan terhadap keragaman melingkupi masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan. Maknanya lebih dari sekedar toleransi moral atau koeksistensi pasif. Toleransi adalah persoalan kebiasaan dan perasaan pribadi, sementara koeksistensi adalah semata-mata penerimaan terhadap pihak lain, yang tidak melampaui ketiadaan konflik. Pluralisme, di satu sisi, mensyaratkan ukuran-ukuran kelembagaan dan legal yang melindungi dan mensahkan kesetaraan dan mengembangkan rasa persaudaraan di antara manusia sebagai pribadi atau kelompok, baik ukuran-ukuran itu bersifat bawaan ataupun perolehan.

Begitu pula, pluralisme menuntut suatu pendekatan yang serius terhadap memahami pihak lain dan kerjasama yang membangun untuk kebaikan semua. Semua manusia seharusnya menikmati hak-hak dan kesempatan-kesempatan yang sama, dan seharusnya memenuhi kewajiban-kewajiban yang sama sebagai warga negara dan warga dunia. Setiap kelompok semestinya memiliki hak untuk berhimpun dan berkembang, memelihara identitas dan kepentingannya, dan menikmati kesetaraan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam negara dan dunia internasional.”

Sementara itu, dalam diskursus teologi Islam inklusif dijelaskan bahwa secara eksplisit, al-Qur’an menegaskan Islam adalah penerus agama (millah) Ibrahim.

Konsekuensinya, Islam tidak hanya mempunyai keterkaitan sejarah, tetapi juga titik-titik temu (adanya common platform) dengan agama Yahudi dan Kristiani yang berasal dari leluhur yang sama, yakni millah Ibrahim.  Dengan adanya titik temu ini, Islam inklusif memberi landasan teologis bagi para pemeluknya untuk menerima pluralisme, yaitu suatu konsep keberagamaan mengenai keberadaan agama-agama lain, dan perlunya mengadakan hubungan baik dengan para pemeluknya. 

Secara ringkas konsep teologis tersebut dapat dideskripsikan bahwa al-Qur’an menjelaskan bahwa Tuhan telah mengirim nabi kepada setiap umat, baik yang namanya disebut dalam al-Qur’an maupun yang tidak. Dan setiap Muslim harus beriman kepada mereka—para nabi ini—tanpa membeda-bedakan satu sama lain, sebagai bagian dari keberagamaan.

Al-Qur’an juga menganut prinsip adanya realitas tentang pluralitas agama, kebebasan beragama, hidup berdampingan secara damai, malah menganjurkan untuk saling berlomba dalam kebajikan dan bersikap positif dalam berhubungan serta bekerja sama dengan umat lain yang tidak seagama. Al-Qur’an juga secara tegas mengharuskan umat Islam untuk bersikap dan bertindak adil terhadap umat non-Muslim, dan untuk melindungi tempat-tempat ibadah semua agama.

Selain itu, dalam tradisi Islam juga telah dikembangkan sebuah konsep ahlul kitab (ahl al-kitâb) yang memberi petunjuk bahwa Islam tidak mengelompokkan non-Muslim sebagai orang-orang kafir. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa orang-orang Yahudi dan Kristiani jelas dikategorikan sebagai ahlul kitab, yang mempunyai kedudukan setara di hadapan Tuhan dengan orang kaum Muslim.

Memang salah satu segi ajaran Islam yang sangat khas ialah konsep tentang para pengikut kitab suci atau ahl alkitâb ini—yaitu konsep yang memberi pengakuan tertentu kepada para penganut agama lain yang memiliki kitab suci. Ini tidaklah berarti memandang semua agama adalah sama—suatu hal yang mustahil, mengingat kenyataannya agama yang ada adalah berbeda-beda dalam banyak hal yang prinsipil (segi syari’ah dan akidah)—tapi memberi pengakuan dan hak masing-masing untuk berada (bereksistensi) dengan kebebasan menjalankan agama mereka masing-masing, dan membangun peradaban bersama.

Konsep tentang ahl al-kitâb ini telah mempunyai dampak dalam pengembangan budaya dan peradaban Islam, sebagai hasil kosmopolitisme berdasarkan tata masyarakat yang terbuka dan toleran. Ini antara lain dicatat dengan penuh penghargaan oleh kalangan para ahli berkenaan dengan Islam di Spanyol abad pertengahan, pasca Jenderal Thariq ibn Ziyad, yang namanya diabadikan menjadi nama sebuah bukit di pantai Laut Tengah, Jabal Thariq—diinggriskan menjadi Gibraltar—pada tahun 711 M. Selama paling tidak 500 tahun kaum Muslim menciptakan tatanan sosial-politik yang kosmopolit, terbuka dan toleran. Semua kelompok agama yang ada, khususnya kaum Muslim sendiri, beserta kaum Yahudi dan Kristen, mendukung dan menyertai peradaban yang berkembang dengan gemilang.

 

Dr. Budhy Munawar-Rachman adalah Dosen Filsafat dan Pemikiran Islam Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara (sejak 2000 – sekarang). Sekarang juga pernah bekerja sebagai Program Officer The Asia Foundation (2005 – 2021). Menulis buku, diantaranya, Islam Pluralis (2000), Fikih Lintas Agama (2003), Ensiklopedi Nurcholish Madjid (2010), Reorientasi Pembaruan Islam (2010), Islam Liberal (2011), Membela Kebebasan Beragama (2016), dan Pendidikan Karakter (2017). Sejak 2006 aktif dalam mengembangkan pendidikan pluralisme, toleransi, dan hak asasi manusia di lingkungan pesantren, madrasah, sekolah, dan perguruan tinggi, khususnya UIN/IAIN/STAIN se-Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *