Oleh Budhy Munawar-Rachman
Perkembangan diskursus pluralisme telah berkembang begitu pesat. Salah satu pertandanya adalah terbit buku Fikih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis (2004)—yang masih akan dibahas di bawah.
Buku yang ditulis oleh 8 tokoh yang sekarang bisa disebut sebagai pembela tergigih gagasan pluralisme di Indonesia—di antaranya Nurcholish Madjid, Kautsar Azhari Noer, Komaruddin Hidayat, Masdar F. Mas’udi, dan Zainun Kamal—telah memberikan terobosan fundamental masalah inklusif-pluralis dari sudut pemikiran keagamaan, karena mereka telah berhasil memberikan argumen teologis bagaimana pandangan Islam terhadap agama-agama lain, termasuk hal-hal yang bersifat praktis (fikih), mulai dari masalah doa bersama sampai pernikahan antaragama—dan sejak ini pula, argumen Islam untuk pernikahan antaragama menjadi mapan, dan telah dikembangkan sehingga muncul pemikiran Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam.
Dewasa ini perkembangan pemikiran Islam dan pluralisme telah berkembang pesat, dan menghasilkan karya-karya bermutu, baik buku, disertasi, maupun tesis-tesis di perguruan tinggi, melebihi perkembangan di masa lalu.
Apa yang dipikirkan sebagai pengertian dan konsepsi inklusif-pluralis di atas, dan bagaimana para intelektual Islam telah mewacanakannya, kini juga telah menjadi diskursus yang begitu luas dan mendalam di dunia Islam termasuk di Indonesia. Bahkan kini teologi inklusif-pluralis ini telah berkembang pesat dalam Islam, lewat penggalian hermeneutika al-Qur’an. Dalam analisis berikut, saya akan memperlihatkan kedalaman refleksi filosofis dan teologis para inteletual Islam berkaitan dengan paham inklusif-pluralis.
Islam tidak menafikan pluralisme dalam masyarakat, biasa dikatakan bahwa pluralisme atau telah dianggap sebagai suatu yang sudah menjadi—seperti dikatakan para intelektual Islam—sunnatullah (hukum Tuhan). Banyak di antara ayat al-Qur’an yang mengandung nilai-nilai inkulsifi-pluralis telah digali sisi hermeneutisnya, di antaranya, “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal”.
Berdasarkan ayat al-Qur’an ini dapat diketahui, bahwa dijadikannya makhluk dengan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah dengan harapan agar antara satu dengan yang lainnya dapat berinteraksi secara baik dan positif. Kepada masing-masingnya dituntut untuk dapat menghargai adanya perbedaan. Sikap kaum Muslim kepada penganut agama lain jelas,
secara normatif, sebagaimana ditegaskan al-Qur’an, yaitu berbuat baik kepada mereka dan tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalani hubungan kerjasama dengan mereka, lebih-lebih mengambil sikap tidak toleran.
Dalam ayat lain juga dikemukakan bahwa kalau Tuhan mau, dengan sangat mudah sekali akan menciptakan manusia dalam satu group, monolitik, dan satu agama, tetapi Allah tidak menghendaki hal-hal tersebut. Tuhan malah menunjukan realita, bahwa pada hakekatnya manusia itu berbeda-beda, dan atas dasar inilah orang berbicara tentang inklusivisme dan pluralisme. Dalam al-Qur’an disebutkan, “Manusia itu adalah satu umat. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan beserta mereka mereka Ia turunkan Kitab-kitab dengan benar, supaya Dia bisa memberi keputusan antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan”.
Dalam ayat itu menurut Abdullah Ali muncul tiga fakta yaitu kesatuan umat di bawah satu Tuhan; kekhususan agama-agama yang dibawa oleh para nabi; dan peranan wahyu (Kitab suci) dalam mendamaikan perbedaan di antara berbagai umat beragama. Ketiganya adalah konsepsi fundamental al-Qur’an tentang inklusivisme yang terbuka pada pluralisme agama. Di satu sisi, konsepsi itu tidak mengingkari kekhususan berbagai agama, di sisi lain konsepsi itu juga menekankan kebutuhan untuk mengakui titik temu atau kesatuan manusia dan kebutuhan untuk menumbuhkan pemahaman yang lebih baik antarumat beragama. Kemajemukan sesungguhnya sangat dihargai dalam ajaran Islam, karena Islam sebagai al-dîn merupakan agama yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan. “Salah satu fitrah itu adalah kemajemukan yang hakekatnya bersumber dari ajaran agama.
Al-Qur’an berbicara secara eksplisit tentang universalitas dan keanekaan wahyu dan nabi guna menerangi umat manusia dari masa ke masa: “Untuk masing-masing (umat) Kami tentukan suatu undang-undang (syir‘ah) dan aturan yang terang (minhâj). Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Ia menjadikan kamu satu umat, tetapi Ia hendak menguji kamu atas pemberian-Nya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Kepada Allah tempat kamu kembali, lalu ditunjukkan kepadamu apa yang kamu perselisihkan”.
Menafsirkan ayat ini, Abdullah Yusuf Ali mengatakan bahwa manusia mulanya diciptakan satu umat, dan diberi ajaran Allah. Tetapi ajaran Allah itu kemudian dirusak oleh sifat mementingkan diri (egoisme), sehingga timbullah perbedaan-perbedaan (individu, ras, bangsa). Dan atas dasar kasih Allah yang tak terhingga, Allah pun selalu mengutus para Rasul untuk menyampaikan kembali ajaran yang sama yang disesuaikan dengan keanekaragaman mental umat manusia, dengan sekaligus hendak menguji mereka dengan segala pemberian-Nya, dan mendorong berlomba dalam kebaikan dan ketakwaan—dan yang demikian ini akan membawa mereka menuju kepada tauhid dan kebenaran.
Jika al-Qur’an menyebutkan ada banyak wahyu dan rasul serta kebenarannya masing-masing, maka konsekuensinya adalah segenap umat Islam menerima ajaran ini sebagai keyakinan. Tentu saja salah satu rangkaian dari wahyu-wahyu itu adalah al-Qur’an sendiri yang merupakan kitab suci yang datang setelah beberapa kitab suci sebelumnya, dan al-Qur’an membawa kebenaran dan membenarkan kitab-kitab suci sebelumnya itu.
Lebih jauh, konsekuensi apa yang dituturkan al-Qur’an itu adalah bahwa Islam mengakui kebenaran agama-agama lain yang telah hidup sebelumnya. Ini—seperti yang sudah dikemukakan dalam analisis pemikiran para intelektual Islam di atas—berarti merupakan fondasi penerimaan inklusivisme yang terbuka pada realitas pluralisme agama.
Implikasi dari memandang sejarah sebagai landasan diturunkannya pesan agama, adalah bahwa semua agama, dalam satu hal atau lainnya, menurut mereka saling terikat dan karenanya, memiliki satu tujuan yang sama, yang disebut islâm, yaitu ajaran kepasrahan kepada Tuhan sepenuhnya.
Dalam hal ini, bukan kebetulan, jika Islam adalah nama terakhir pesan yang ditunjukkan sepanjang sejarah. Kesimpulan dari teologi ini, menurut Yunasril Ali, bahwa agama-agama tidak dapat menjadi saingan, tetapi hanya menjadi sekutu (sahabat) agama lainnya. Karena itu, dalam Islam, gagasan tentang “universalitas wahyu Tuhan” selalu memainkan peran kunci dalam membentuk “teologi Islam tentang agama-agama.” Dan akibat keyakinan ini, “kaum Muslim mampu berpartisipasi dalam esensi dan pendekatan keagamaan terhadap tradisi lain.”
Kebenaran dalam agama-agama itu dituturkan oleh al-Qur’an, “Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi’in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan beramal saleh, mereka akan mendapatkan pahala dari Tuhan mereka, mereka tidak perlu khawatir dan bersedih.” Ayat ini memang biasa dibantah oleh kelompok eksklusif (Islam eksklusif) dengan mengatakan:
Pertama, ayat itu telah mansûkh (dibatalkan) oleh Q. 3: 85.
Kedua, ayat ini hanya mengacu kepada umat Yahudi, Kristiani, dan Sabi’in sebelum Muhammad.
Ketiga, mereka memandang Allah hanyalah Tuhan milik umat Islam. Menjawab bantahan tersebut Jalaluddin Rakhmat melihat bahwa kosa kata islâm bukan menunjuk kepada Islam sebagai agama formal yang dibawa oleh Muhammad, tetapi mengacu kepada islâm dalam pengertian umum, yakni sikap pasrah kepada Tuhan, yang merupakan misi segenap risalah Tuhan.
Pengertian demikian akan terlihat pula dalam ayat, “Ingatlah ketika Tuhannya berkata kepadanya (Ibrahim), ‘islâm-lah (pasrahlah) engkau!’ Dia (Ibrahim) menjawab, ‘Aku islâm (pasrah) kepada Tuhan pemelihara alam semesta”.
Baca Juga: Teologi Pluralisme Nurcholish Madjid (Bagian II)
Sementara itu menurut Farid Esack, Guru Besar pada Department of Religion Studies di University of Western Cape dan Guru Besar Tamu dalam studi keagamaan (religious studies) di Universitas Hamburg, Jerman—yang pikiran-pikirannya banyak memengaruhi kalangan Islam di Indonesia— al-Qur’an sebenarnya secara tegas dan jelas menunjukkan adanya pluralitas dan keanekaragaman agama dan menyatakan adanya keselamatan yang dijanjikan Tuhan bagi setiap orang yang beriman kepada-Nya dan Hari akhir, yang diiringi dengan berbuat kebajikan (amal saleh) tanpa memandang afiliasi agama formal mereka.
Pernyataan Esack ini sejalan dengan pendapat Rasyid Ridla dan Thabathaba’i. Menurut Ridla—seorang pemikir besar Mesir awal abad lalu—semua yang beriman kepada Allah dan beramal saleh tanpa memandang afiliasi keagamaan formal mereka akan selamat, karena Allah tidak mengutamakan satu kelompok dengan menzalimi kelompok yang lain. Thabathaba’i—seorang pemikir besar Iran abad lalu—dengan bahasa yang berbeda menyatakan,
“Tidak ada nama dan tidak ada sifat yang bisa memberi kebaikan jika tidak didukung oleh iman dan amal saleh. Aturan ini berlaku untuk seluruh umat manusia”. Bahkan dalam pandangan Ridla dan Thabathaba’i, teks-teks tersebut juga sebagai respons atas sikap eksklusivisme yang terkungkung dalam sektarianisme dan chauvinisme keberagamaan yang
sempit. Rasyid Ridla menegaskan, “Keselamatan tidak dapat ditemukan dalam sektarianisme keagamaan, tetapi dalam keyakinan yang benar dan kebajikan”.
Jadi pada dasarnya, sikap inklusif dan pluralis dari apa yang digambarkan di atas, dapat didefinisikan sebagai “adanya pengakuan akan hukum Tuhan yang menciptakan manusia yang tidak hanya terdiri dari satu kelompok, suku, warna kulit, dan agama saja. Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda agar mereka bisa saling belajar, bergaul, dan membantu antara satu dan lainnya. Pluralisme mengakui perbedaan-perbedaan itu sebagai sebuah realitas yang pasti ada di mana saja. Justru, dengan sikap inklusif dan pluralis ini akan tergali berbagai komitmen bersama untuk memperjuangkan sesuatu yang melampaui kepentingan kelompok dan agamanya.”
Salah satu unsur pokok dari pluralisme agama adalah munculnya satu kesadaran bahwa agama-agama berada dalam posisi dan kedudukan yang paralel. Menurut Abdulaziz Sachedina, argumen utama pluralisme agama dalam al-Qur’an didasarkan pada hubungan antara keimanan yang pribadi, dan proyeksi publiknya dalam masyarakat Islam. Berkenaan dengan keimanan pribadi itu, al-Qur’an bersikap non-intervensionis (misalnya, segala bentuk otoritas manusia tidak boleh mengganggu keyakinan batin individu). Sedangkan dengan proyeksi publik keimanan, sikap al-Qur’an didasarkan pada prinsip koeksistensi, yaitu kesediaan dari umat dominan untuk memberikan kebebasan bagi umat beragama lain dengan aturan mereka sendiri. Aturan itu bisa berbentuk cara menjalankan urusan mereka dan untuk hidup berdampingan dengan kaum Muslim.
Maka, berdasarkan prinsip ini, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, seharusnya bisa menjadi cermin sebuah masyarakat yang mengakui, menghormati, dan menjalankan pluralisme keagamaan.
Lebih lanjut Sachedina mengatakan:
“Saya sangat percaya bahwa jika kaum muslim menyadari pentingnya ajaran al-Qur’an mengenai pluralisme kultural dan religius sebagai suatu prinsip pemberian Tuhan dalam membentuk suasana hidup berdampingan yang harmonis sesama manusia, maka kaum Muslim akan dapat menghindari kekerasan dalam menentang pemerintahan represif dan tidak efesien.”
Dr. Budhy Munawar-Rachman adalah Dosen Filsafat dan Pemikiran Islam Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara (sejak 2000 – sekarang). Sekarang juga pernah bekerja sebagai Program Officer The Asia Foundation (2005 – 2021). Menulis buku, diantaranya, Islam Pluralis (2000), Fikih Lintas Agama (2003), Ensiklopedi Nurcholish Madjid (2010), Reorientasi Pembaruan Islam (2010), Islam Liberal (2011), Membela Kebebasan Beragama (2016), dan Pendidikan Karakter (2017). Sejak 2006 aktif dalam mengembangkan pendidikan pluralisme, toleransi, dan hak asasi manusia di lingkungan pesantren, madrasah, sekolah, dan perguruan tinggi, khususnya UIN/IAIN/STAIN se-Indonesia.