Teologi Pluralisme Nurcholish Madjid (Bagian II)

Oleh: Budhy Munawar-Rachman

Konsep ahl al-kitâb pernah dikembangkan dan menjadi salah satu tonggak bagi semangat kosmopolitisme Islam yang sangat terkenal. Dengan pandangan dan orientasi mondial yang positif itu kaum Muslim di zaman klasik berhasil menciptakan ilmu pengetahuan yang benar-benar berdimensi universal atau internasional, dengan dukungan dari semua pihak.

Sejumlah ulama, misalnya Muhammad Rasyid Ridla, tokoh pembaruan Islam Mesir, konsep ahl al-kitâb ini diperluas hingga mencakup umat agama-agama lain yang memiliki kitab suci, seperti Zoroaster (Majûsî), Hindu, Buddha, Konghucu dan Shinto.

Kebolehan umat Islam memakan sembelihan ahl al-kitâb dan menikahi kaum perempuan mereka seperti terjadi dalam sejarah Islam, mengisyaratkan bahwa secara umum pergaulan akrab Muslim dengan non-Muslim telah berlangsung secara baik, dan penuh toleransi, walaupun banyak hal yang harus dikembangkan lebih lanjut, jika dilihat dari kacamata ide-ide toleransi dan pluralisme keagamaan kontemporer.

Oleh karena itu sebagai agama maupun sejarah, Islam—menurut mereka yang memperjuangkan ide pluralisme—sejak awal berdirinya telah mempunyai kenyataan hidup dalam lingkungan plural, dan bahkan telah mengembangkan pluralisme dalam batas-batas kontekstual pada waktu itu.

Ada yang disebut “akar-akar pluralisme dalam Islam.” Akar-akar inilah yang telah, sedang dan terus dikembangkan kalangan intelektual Islam inklusif, sehingga diharapkan bisa mapan menjadi pandangan Islam tentang pluralisme.

Apa yang dikemukakan di atas, adalah sekelumit gambaran konsep teologis bagaimana Islam telah bertemu, dan berdialog dengan agama-agama lain. Pertemuan tersebut dilandasi oleh etika pergaulan yang diinspirasikan oleh al-Qur’an yang mengajarkan “sikap inklusif yang terbuka pada pluralisme.” Dalam bahasa Mohamed Fathi Osman,

“Kaum Muslim, seperti halnya pemeluk agama lain, hidup dengan non-Muslim dalam suatu negeri tertentu. Penduduk Muslim dari suatu negeri dapat memiliki perbedaaan-perbedaan kesukuan dan doktrinal dalam diri mereka sendiri ataupun dengan kaum Muslim lain di seluruh dunia. Satuan Muslim tidak menyaratkan kaum Muslim membentuk suatu negara tunggal—kekhalifahan… Di manapun seseorang hidup, kemungkinan ditentukan oleh faktor-faktor geografis dan ekonomis. Suatu negara bangsa dalam sudut pandang Islam dapat dianggap sebagai suatu keluarga atau kerabat yang diperluas, masing-masing dengan kepentingannya yang khusus yang sama sekali tidak mengurangi hubungan kebersamaaan dan solidaritas universal yang dituntut oleh Islam. Pembagian menjadi orang-orang dan kelompok lain yang memiliki asal yang sama, dikemukakan dalam al-Qur’an (Q. 49:13), dan tidak ada yang salah mengenai hal itu sepanjang pembagian seperti itu tidak menghalangi hubungan dan kerjasama manusia yang universal dan tidak dicederai melalui arogansi dan permusuhan yang kauvinistik. Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa Tuhan dan ajaran-Nya haruslah diletakkan di atas setiap kepatuhan kepada kelompok atau wilayah tertentu. Namun demikian, sejauh prinsip ini diamati, kepatuhan kepada keluarga seseorang dan himpunan manusia lainnya dan kepada tanah air seseorang diperkenankan (Q. 9:24). Karena kaum Muslim hidup dalam kelompok-kelompok yang lebih luas dan dalam wilayah-wilayah di mana mereka dapat tumbuh berkembang, mereka harus hidup dengan agama-agama dan sekte-sekte lain. Lebih jauh, globalisme dewasa ini tengah menciptakan kesaling-tergantungan yang tak terhindarkan antara segenap umat manusia, betapapun adanya perbedaan bawaan-alamiah atau perolehan.

Tetapi bagaimana seorang Muslim melihat teks maupun sejarah keanekaragaman agama-agama itu, ternyata ditentukan oleh bagaimana “sikapnya terhadap agama lain.” Sejauh ini, perkembangan teori pluralisme telah memunculkan tiga sikap yang meliputi: Sikap eksklusif, sikap inklusif, dan sikap plural atau paralel. Pemaparan sikap ini penting, karena teks yang sama, ternyata bisa dimaknai berbeda, sejalan dengan sikap keagamaannya.

Sikap eksklusif, adalah sikap yang secara tradisional telah sangat berpengaruh dan mengakar dalam masyarakat Muslim hingga dewasa ini, yang menganggap bahwa “Islam adalah satu-satunya jalan kepada kebenaran dan keselamatan.”

Baca Juga: Teologi Pluralisme Nurcholish Madjid

Sedang sikap inklusif menganggap bahwa “Islam mengisi dan menyempurnakan berbagai jalan yang lain.” Sementara sikap plural beranggapan bahwa “setiap agama mempunyai jalannya sendiri, yang sama-sama absah, untuk mencapai apa yang disebut keselamatan itu.”

Sikap eksklusif. Sikap ini merupakan pandangan yang dominan dari zaman ke zaman, dan terus dianut hingga dewasa ini. Dalam Islam, sikap ini terutama dikembangkan berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an seperti, bahwa Islam adalah agama yang paling benar, Agama selain Islam, tidak akan diterima Tuhan di akhirat,—termasuk berbagai penafsiran atas dasar al-Qur’an dan Hadis, yang berkaitan dengan konflik kebenaran antara Islam dengan kalangan Yahudi dan Kristiani.

Salah satu ayat favorit lain kalangan Islam eksklusif adalah, “Orang-orang Yahudi dan Kristiani tidak akan rela kepada kamu, hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).

Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”. Ayat ini telah menjadi pembenaran yang sangat kuat untuk melakukan pembedaan Muslim dan non-Muslim.

Sikap inklusif. Dalam pemikiran Islam, paham inklusivisme dimulai dengan penggalian pengertian islam (islâm), bukan sebagai organized religion (agama terlembaga), tetapi menggalinya dalam arti rohani. Islâm, artinya pasrah sepenuhnya (kepada Allah), sikap yang—menurut para pendukung paham inklusif—menjadi inti ajaran agama yang benar di sisi Allah.

Karena itu semua agama yang benar disebut islâm. Al-Qur’an memang mengatakan bahwa Nabi Nuh mengajarkan islâm, dan mewasiatkan ajaran itu kepada anak turunnya, termasuk kepada anak turun Ya’qub atau Israil. Di antara anak Ya’qub itu ialah Yusuf, yang berdoa kepada Allah agar kelak mati sebagai seorang muslim (seorang “yang ber-islâm”). Al-Qur’an juga menuturkan bahwa para orang-orang Mesir yang semula mendukung Fir‘aun tapi akhirnya beriman kepada Nabi Musa juga berdoa agar kelak mati sebagai orang-orang yang muslim.

Lalu Ratu Bulqis (Batseba) dari Yaman, Arabia Selatan, yang ditaklukan oleh Nabi Sulaiman juga akhirnya tunduk patuh kepadanya dan menyatakan bahwa dia bersama Sulaiman pasrah sempurna atau islâm kepada Tuhan Seru sekalian alam. Dan semua para Nabi dari Bani Israil (anak turun Nabi Ya’qub) ditegaskan dalam al-Qur’an sebagai orang-orang yang menjalankan islâm kepada Allah. Lalu Isa Al-Masih (Yesus Kristus) juga mendidik para pengikutnya (al-Hawârîyûn) sehingga mereka menjadi orang-orang muslim, pasrah kepada Allah.

Banyak ayat dalam al-Qur’an yang menyebutkan bahwa para nabi dan rasul terdahulu mengajarkan al-islâm ini. Sehingga tidak mengherankan, kalau kemudian dikembangkanlah suatu teologi Islam inklusif, yang didasarkan pada al-Qur’an. Kaum Islam Inklusif menegaskan bahwa agama semua nabi pada dasarnya adalah sama dan satu, yaitu islâm, meskipun syariatnya berbeda-beda sesuai dengan zaman dan tempat khusus masing-masing Nabi itu.

Pandangan dan sikap inklusif ini, dalam keterbukaannya menjadi fondasi untuk berkembangnya pluralisme yang sejati. Juga sebaliknya pandangan pluralisme sejati hanya bisa dibangun dengan fondasi sikap inklusif semacam ini.

Sikap plural. Sikap ini percaya bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatannya sendiri, dan karena itu klaim Islam adalah satu-satunya jalan (sikap eksklusif), atau yang melengkapi atau mengisi jalan yang lain (sikap inklusif), haruslah ditolak (ini menjadikan sikap pluralis “ekstrim”), atau lebih tepat dikembangkan seluas mungkin, demi alasan-alasan teologis dan fenomenologis (ini menjadikan inklusivisme membuka diri pada pluralisme).

Dalam memahami sikap pluralisme ini ini, ada tiga macam model. Pertama Model Fisika, diambilnya contoh pelangi. Tradisi-tradisi keagamaan yang berbeda adalah seperti warna yang tak terhingga, yang kelihatan ketika cahaya putih jatuh di atas prisma.

Setiap pengikut suatu tradisi, diberi kemungkinan mencapai tujuan, kepenuhan dan keselamatannya dengan caranya sendiri, tetapi sekaligus sebenarnya setiap warna (setiap agama) menyerap semua warna yang lain, tapi sekaligus menyembunyikannya, karena ia memunculkan secara ekspresif sebuah warna.

Dalam Islam pandangan filsofis seperti ini dikembangkan oleh seorang Sufi klasik Jalaluddin Rumi. Dewasa ini pemikir Muslim yang mengembangkan tradisi pemikiran pluralisme Rumi adalah intelektual Iran, Abdolkarim Sorous.

Model yang kedua adalah Model Geometri: Invarian Tipologis. Model ini mengatakan bahwa agama yang satu itu sama sekali berbeda dengan agama lain, bahkan tidak bisa didamaikan, sampai ditemukan adanya satu titik (invariant) topologis yang tetap.

Titik ini bisa lebih dari satu. Pandangan mengenai adanya kesatuan transenden pengalaman religius manusia (transcendent unity of religions dari Fritjof Schuon dan Seyyed Hossein Nasr), misalnya bisa menjadi contoh dari model ini. Pada tingkat eksoteris semua agama sebenarnya berbeda, tetapi ada satu titik transendental (esoteris), semua agama itu bertemu. Titik itu adalah Tuhan. Pandangan ini sangat kuat dikembangkan oleh para pemikir Islam penganut filsafat perennial.

Model ketiga adalah model bahasa. Model ini menganggap bahwa setiap agama itu, seperti sebuah bahasa. Setiap agama, seperti halnya bahasa pada dasarnya sepenuhnya lengkap dan sempurna. Sehingga tidak ada artinya, jika mengatakan bahwa suatu bahasa (baca: agama) menyatakan dirinya lebih sempurna dari bahasa lainnya.

Karena itu setiap perjumpaan agama-agama, bisa dianalogkan dengan perjumpaan bahasa-bahasa. Di sini penerjemahan bisa menjadi medium. Penerjemah harus menjadi pembicara dalam bahasa asing tersebut, dan dalam tradisi asing tersebut. Ia harus menjadi juru bicara sejati dari agama tersebut. Ia harus yakin akan kebenaran yang dibawanya, masuk ke dalam tradisi yang diterjemahkannya.

Ketiga model ini membawa kita kepada sikap pluralis yang menjadi dasar penelitian tulisan ini. Pandangan ini tidak menganggap bahwa tujuan yang ingin dicapai di depan adalah keseragaman atau kesamaan bentuk agama-agama. Sebab gagasan pluralisme keagamaan, sesungguhnya berdiri di antara pluralitas yang tidak berhubungan dan kesatuan monolitik.

Dalam Islam pemikiran pluralisme bisa diungkapkan dengan rumusan teologis, sebagai berikut: Bahwa pluralisme sesungguhnya adalah sebuah aturan Tuhan (sunnat-u ‘l-Lâh) atau hukum alam, yang tidak akan berubah, sehingga tidak dilawan atau diingkari. Islam adalah agama yang kitab sucinya dengan tegas mengakui hak agama-agama lain sepenuhnya. Pengakuan akan hak agama-agama lain itu dengan sendirinya merupakan dasar paham pluralisme sosial-budaya dan agama, sebagai ketetapan Tuhan yang tidak berubah-ubah.

Kesadaran tentang kontinuitas agama juga ditegaskan al-Qur’an di berbagai tempat, yang disertai perintah agar kaum Muslim berpegang teguh kepada ajaran kontinuitas itu dengan beriman kepada semua Nabi dan Rasul tanpa kecuali, dan tanpa membeda-bedakan antara mereka, baik yang disebutkan dalam kitab suci maupun yang tidak disebutkan.

Oleh karena itu, tidak saja agama tidak boleh dipaksakan, bahkan al-Qurân juga mengisyaratkan bahwa para penganut berbagai agama, asalkan percaya kepada Tuhan dan hari kemudian serta berbuat baik, semuanya akan selamat. Inilah paham eskatologis Islam, yang menjadi fondasi pluralisme.

Beberapa tokoh dunia Muslim sudah mencoba mengelaborasi perspektif inklusivisme yang terbuka pada pluralisme keagamaan ini, seperti Ismai’il R. al-Faruki, M. Mahmoud Ayoub, Seyyed Hossein Nasr, Abul Kalam Azad, Fazlur Rahman, Hasan Askari, Mohamed Arkoun, Mohamed Talbi, Asghar Ali Engineer, dan sebagainya.

Di Indonesia, kita bisa menyebut di antaranya  Abdurrahman Wahid, M. Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Ahmad Syafii Maarif, Kautsar Azhari Noer, Zainun Kamal, Musdah Mulia, M. Syafi’i Anwar, sampai sekelompok pemikir muda seperti Ulil Abshar-Abdalla, Abdul Moqsith Ghazali, dan Zuhairi Misrawi.

 

Dr. Budhy Munawar-Rachman adalah Dosen Filsafat dan Pemikiran Islam Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara (sejak 2000 – sekarang). Sekarang juga pernah bekerja sebagai Program Officer The Asia Foundation (2005 – 2021). Menulis buku, diantaranya, Islam Pluralis (2000), Fikih Lintas Agama (2003), Ensiklopedi Nurcholish Madjid (2010), Reorientasi Pembaruan Islam (2010), Islam Liberal (2011), Membela Kebebasan Beragama (2016), dan Pendidikan Karakter (2017). Sejak 2006 aktif dalam mengembangkan pendidikan pluralisme, toleransi, dan hak asasi manusia di lingkungan pesantren, madrasah, sekolah, dan perguruan tinggi, khususnya UIN/IAIN/STAIN se-Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *