Tentang Islam Ekstrem dan Urgensi Merawat Harmonisasi Beragama di Indonesia

Oleh: Muhammad Shidqil Muqoffa

Keragaman merupakan corak dan ciri khas tersendiri bangsa Indonesia, mulai dari budaya, etnis, ras, suku, hingga agama diikat dalam tali persatuan bernama Pancasila. Keragaman tersebut merupakan anugerah yang telah Tuhan berikan untuk bangsa Indonesia, dimana satu sama lain dapat saling melengkapi. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk memeluk Islam dan tercatat terbesar di seluruh dunia

Demikian dibuktikan dalam Data Direktorat Jendral Kependudukan dan Percatatan Sipil (Dikcapil) Kementerian Dalam Negeri (Juni 2021), yaitu berkisar antara 263,53, dari jumlah penduduk 272,23 juta jiwa. Dengan adanya data tersebut, muslim Indonesia sebagai mayoritas di masa kini atau pun mendatang memiliki peluang besar sebagai salah satu pusat peraban Islam setelah negeri Timur Tengah.

Namun, besarnya populasi muslim di Indonesia ini melahirkan persoalan tersendiri, yaitu munculnya sekelompok muslim yang mencita-citakan suasana kehidupan “Islami”. Atau bahkan  dikatakan golongan Islam “extrem” dalam segi pemikiran dan tindakan, terlebih hal yang acap kali menonjol adalah menyandarkan segala sesuatu pada masa Nabi Muhammad Saw.  Atau Khaled Abou El-Fadl dalam karyanya “The Place of Tolerance in Islam” menyebutnya sebagai kaum puritanis, eksklusif dan fanatik berlebihan, yang memiliki misi penegakan negara Khilafah di Indonesia

Di antaranya, mereka menginginkan “jihad” dalam bentuk perperangan melawan “nonmuslim” acap kali setiap tahun mendapat penyegaran kasus di Indonesia. Dulu kita mengenal Amrozi, sebagai salah satu aktor bom Bali. Pada tahun 2021 terdapat penyegaran kasus baru yang terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan, yang ditandai dengan adanya kasus pengeboman Gereja Katedral.

Dari tindakan demikian, mereka menginginkan dirubahnya sistem kenegaraan demokrasi, ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena dianggap bertentangan dengan Islam. Penerapan sistem demikian dianggap dzolim karena berasal dari Barat, yang pada dasarnya oleh kelompok ekstrem dianggap kafir. Satu suara Proffesor dianggap setara dengan satu suara pelacur dalam sistem pemilihan pemimpin (pemilu).

Baca Juga: Resmikan Monumen Moderasi Beragama, Perguruan Tinggi Harus Jadi Agen Perdamaian

Penentangan terhadap sistem demokrasi dan gaungan tentang pendirian negara Khilafah oleh HTI, MMI, dan ormas lainnya, dewasa ini kian merambah di media sosial, seperti halnya di akun Instagram Gerakan Mahasiswa Pembebasan. Dapat ditemui di @gemapembebasanjatim @gp_kalbar @gp_uinjakarta dan akun lainnya, yang didalamnya secara terang-terangan menyuarakan penerapan sistem Khilafah di Indonesia.

Padahal, upaya mengimplementasikan gaya hidup, aturan-aturan, norma-norma, dan semua hal layaknya masa Nabi dan Sahabat tidaklah tepat jika diterapkan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pasalnya, keragaman, sosiokultural, multidimensi, kayanya ras dan agama-agama menjadi titik pusat peradaban Indonesia yang menjadi negara dengan keragaman kepercayaan dan kebudayaan.

Salah satu hal yang menonjol dari kelompok ekstrem sebagaimana di atas selalu menjadikan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits sebagai justifikasi atas cita-citanya. Nilai dan subtansi dari dua rujukan primer muslim tersbut terus-menerus dijadikan sandaran dan pembenaran untuk menuai aksi dari tujuanya. Pada sisi lain, dalil yang ditampilkan bertentangan antara teks dengan konteks hal/waktu/keadaan yang tengah dihadapi..

Secara otomatis, kajian yang mendalam dengan sanad keilmuan yang jelas dan penafsiran tanpa melibatkan egoisme diperlukan hadir untuk meluruskan paham-paham yang membengkok. Dari sini nantinya diharapkan dapat melahirkan pemahaman dan interpretasi  yang utuh serta tepat sesuai dengan visi kerahmatan al-Quran dan al-Hadits.

Oleh karenanya, tindak anarkisme atas nama identitas agama menjadi pemandangan keseharian yang sering luput dari perhatian. Padahal, hal tersebut dapat menjadi benalu atas cita-cita bangsa dengan menjalin sistem keberagamaan dan kerukunan di bumi Nusantara. Aksi fanatisme yang pada akhirnya berujung pada tindakan sosial mengancam nyawa, peruskaan fasilitas bersama, menciptakan ketakutan masyarakat atas dalih membela agama dan syariat merupakan hal yang tidak dibenarkan dalam agama.

Sejatinya, agama manapun pasti mengajarkan nilai perdamaian bukan permusuhan apalagi kebencian, permusuhan, dan saling membunuh. Salah satu instrumen penting dalam Islam yang dijadikan landasan tindak kekerasan adalah ayat-ayat al-Qur’an yang terkesan melegalkan aksi tersebut. Upaya penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan memperhatikan sisi historisitas perlu diupayakan guna mendapatkan interpretasi yang lebih komprehensif dan memadai.

Dengan ikhtiar demikian, maka akan ditemukan bahwa pada hakikatnya tidak terdapat satu ayat pun yang melegalkan tindakan anarkisme, fanatisme, eksklusif, intoleran atas nama agama. Akan tetapi justru al_Qur’an memerintahkan umat muslim untuk senantiasa menciptakan kedamaian dimanapun dan kapanpun. Hal tersebut selaras untuk mewujudkan perdamaian dalam situasi dan kondisi ke-Indonesia-an yang memiliki realitas sebagai bangsa yang plural.

Ciri paling indah dari bangsa Indonesia adalah budaya pluralitas dari berbagai aspeknya dan juga keagamaan dengan sikap moderat, toleran, inklusif dan humanisnya. Hal demikian merupakan upaya menerima sebuah keniscayaan bahwa berbeda tidak harus bertikai, beda kepercayaan tidak harus bersinggungan, dan yang paling penting adalah, adanya perbedaan merupakan simbol keindahan dan persatuan layaknya pelangi dengan berbagai warnanya.

Muhammad Shidqil Muqoffa, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *