Tanpa Kemanusiaan Agama Hanya Akan Menjadi Alat Kekerasan

Kabar Pustaka141 Views

Kabar Damai | Rabu, 31 Maret 2021

 

Review Buku: Mohd Syazreen Abdullah, Syahadah Kedua (2020)

Oleh Budhy Munawar Rahman

Problem utama umat manusia—meminjam istilah Nurcholish Madjid—ialah politeisme, bukan ateisme, maka program pokok al Quran ialah membebaskan manusia dari belenggu paham Tuhan banyak dengan mencanangkan dasar kepercayaan yang diungkapkan dalam kalimat “al-nafy wa al-issbat” atau “negasi-konformasi” yaitu La ilaha illallah yang disebut sebagai ”rumusan kepercayaan Muslim”.

Dengan negasi itu dimulai proses pembebasan yaitu pembebasan dari belenggu kepercayaan kepada hal-hal yang palsu. Tetapi demi kesempurnaan kebebasan itu manusia harus mempunyai kepercayaan kepada sesuatu yang benar. Sebab hidup tanpa kepercayaan sama sekali adalah sesuatu yang mustahil.

Kalimat La ilaha illallah merupakan kalimat persaksian. Mengucapkan dan meyakini syahadat adalah bagian dari aqidah, karena merupakan suatu yang fundamental. Kualitas seorang Muslim amat ditentukan oleh kadar kesaksian dan kedalaman pemahamannya terhadap kalimat syahadat itu. Dan sesungguhnya inilah tauhid yang benar. Oleh karena itu, manusia pada umumnya yang telah memiliki kepercayan kepada Tuhan, proses pembebasan itu tidak lain dengan melakukan pemurnian kepada Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri.

Pertama melepaskan diri dari kepercayaan kepada sesuatu yang palsu, dan kedua dengan memusatkan kepercayaan hanya kepada yang benar. Semangat inilah yang sesunguhnya dikandung oleh kalimat syahadat, yang bagaikan suatu gerbang yang secara formal wajib diikrarkan bagi sesorang yang menyatakan diri memeluk Islam.

Pernyataan ini sebetulnya bukan sesuatu yang baru dalam diri manusia, melainkan hanya menegaskan, mengingatkan dan mengungkapkan kembali benih monoteisme yang telah tertanam dalam diri manusia dan sesungguhnya merupakan fitrah manusia. Kalimat tersebut (kalimat tauhid) merupakan sekedar penegasan kembali, karena sebelum dilahirkan telah ada perjanjian antara manusia dengan Tuhan yang disebut sebagai perjanjian “primordial” dan karenanya dianggap bagian dari fitrah manusia itu sendiri.

Namun demikian, menjadi Muslim bukan sekadar mengucapkan La ilaha illallah – paham syahadah pertama. Hidup ini bukan sekadar ber-Tuhan saja. Sebaliknya hubungan dengan manusia, alam dan makhluk seisi dunia. Maka tidak pelik sekiranya sifat agama menjadi keras kerana terlalu fanatik terhadap Tuhan sehinggakan melupakan kehidupan kemanusiaan. Nabi mengajar kita bersikap sederhana. Menyantuni kemanusiaan lebih tinggi derajatnya berbanding munajat sepanjang malam. Nabi berpesan supaya kita tidak meminggirkan nilai kemanusiaan. Nabi diutus untuk menyempurnakan pesan tauhid universal.

Makna kata Muhammad Rasulullah menuntut kesediaan menjadikan Rasullullah sebagai teladan, sehingga bernilai disisi Allah. Kalimat ini menjadikan seorang Muslim memiliki rasa cinta, ridla dengan segala yang dicontohkan dari segi amal, perkataan dan semua tingkah laku beliau. Selain sifatnya yang dimaksud oleh Allah atau juga karena keteladanan Rasulullah dan juga pengorbanan yang sangat mulia kepada umatnya. Allah telah menganugerahkan syafaat dan derajat yang tinggi kepada Rasulullah, menunjuki manusia agar manusia mencintai beliau dan melandasi kehendak untuk mengikuti beliau karena cinta kepada Allah. Syahadat juga termasuk dalam misi atau prinsip gerakan dakwah Nabi Muhammad saw, yang dulunya bersifat monoteisme. Di dalam bacaan-bacaan awal lalu menjadi teologi dominan yang disebut sebagai pesan sosial. Mulai saat itulah dua sumber kalimat ini disebarkan secara massive dengan terang-terangan setelah bertahun-tahun pola dakwah yang digunakan adalah dengan secara sembunyi-sembunyi.

Buku Syahadah Kedua yang ditulis oleh Mohd Syazreen Abdullah, seorang intelektual muda Malaysia, mengurai dengan begitu dalam dan tajam tentang makna Islam dalam perspektif Kemanusiaan Universal. Buku Syahadah Kedua ini, betul-betul “revolusioner,” memberikan perubahan paradigmatik dalam pemahaman kita mengenai syahadah. Buku ini dapat memberi orientasi perubahan kesedaran keagamaan kita, daripada perspektif yang melulu teologi kepada etika. Masa depan umat Islam dalam dunia global dewasa ini, sangat tergantung pada bagaimana umat Islam bisa menyumbangkan dan mengembangkan etika global kepada kemanusiaan universal.

Menurut Syazreen, Muslim ialah gelaran bagi seorang yang beragama Islam. Seseorang yang mengucap dua kalimah syahadah. Mereka berserah diri kepada Tuhan. Percaya terdapat hanya satu Tuhan. Namun, menurutnya, Muslim ada klasifikasinya. Ada yang baik dan sebaliknya. Sabda Nabi, Muslim terbagi kepada dua. Muslim yang pertama, setia dan amanah pada ajaran Tuhan. Manakala, Muslim yang kedua, mengkhianati amanah perjanjian ajaran Tuhan. Maka, Muslim yang patuh, Nabi sebut sebagai Muslim yang beriman. Mereka itu orang-orang yang memelihara kemulian agama dan mempunyai ketulusan hati dalam menyebarkan nilai-nilai beragama yang benar. Mereka ini layak digelar sebenar-benarnya Muslim.

Dengan kata lain, Muslim yang memanifestasi sikap kemanusiaan dengan kepatuhan sepenuhnya untuk Tuhan—yang ia sebut dengan penyerahan total “self-surrender to God”. Muslim yang merujuk daripada kata kerja aslama—seseorang yang menyerah diri, yang akhirnya melaksanakan ajaran kemanusiaan.
Mereka ini mengikat tali perjanjian amanah bagi tujuan menyempurnakan keberhutangan antara hamba dengan Tuhan. Mereka bertanggungjawab dengan amanahnya di atas bumi ini. Mereka ini Muslim yang mencintai keamanan sekaligus membenarkan ajaran Tuhan. Maka, manifestasi Tuhan dapat diterjemahkan daripada sikap orang-orang yang beriman seperti ini.

Baca juga: Cerita Tentang Agama-agama Dunia dalam World Religions Today

Syazreen, mengutip Saidina Ali sebagaimana dinukilkan dalam kitab Nahj Balaghah: “Ketahuilah oleh kalian, semoga Allah merahmati kalian. Kalian hidup pada satu zaman yang mana orang yang bercakap benar adalah sedikit. Ketika lidah mereka menjadi kelu untuk mengatakan kebenaran di hadapan kemungkaran, ketika orang-orang yang mau menegakkan hak direndah-rendahkan.”…. “Maka sesungguhnya penghuni di zaman ini tenggelam dengan kemaksiatan dan keasyikan dalam penderhakaan. Pemudanya berandal, manakala orang-orang tuanya berdosa. Orang-orang alim pula sikapnya munafik, pembicaraannya menjilat. Yang kecil tidak hormat yang besar, dan yang kaya tidak memelihara yang fakir.”

Khutbah ini, lanjut Syazreen, menegaskan betapa peranan Muslim itu tidak ada yang lebih besar melainkan membela nasib kemanusiaan. Seperti melawan kemungkaran. Muslim tidak boleh hipokrit di hadapan kemungkaran. Justeru, Muslim yang benar, tidak ada kompromi terhadap pengkhianatan, fasis, rasuah, gangguan seksual, dan keganasan dalam rumah tangga. Kelakuan mereka ini bertentangan dengan roh kemanusiaan dan keadilan dalam semangat agama. Sebagaimaan mereka putuskan ikatan suci amanah dengan Tuhan. Mereka tidak setia dengan janji Tuhan — untuk menjadi Muslim yang baik.

Dengan tajam, Syazreen, mengungkapkan banyak manusia menyangkakan bahawa amalan bersalat di hadapan pintu Ka’bah itu lebih mulia daripada memperdulikan tentang nasib saudaranya di Yaman yang sedang di bom. Ada dalam kalangan manusia menyangkakan bahwa amalan mengebomkan diri di gereja adalah jalan pintas menempah syahid. Banyak manusia menyangkakan amalan sunah Rasulullah adalah memakai jubah dan serban baginda berbanding sunah menghidupkan kemanusiaan sosial. Demikian semua itu, bahwa banyak manusia menyangkakan amalan-amalan tersebut dibalas ganjaran surga oleh Tuhan. Namun, adilkah Tuhan memberikan surga kepada mereka yang merelakan krisis pengorbanan kemanusiaan dan kekerasan? Hakikatnya, banyak orang tertipu di atas dunia ini atas nama agama. Tanpa mereka sadari telah mengobarkan kekerasan, dan menyumbangkan terhadap korban kemanusiaan.

Dogma agama sempit, dalam pandangan Syazreen, menjadikan manusia tidak waras. Kemunduran ini lahir karena pemahaman akidah yang sempit. Tauhid yang sempit. Bukan tauhid universal. Tanpa memahami falsafah tauhid universal, manusia pada hari ini hanya menyangka ibadahnya sudah sempurna dengan bertumpu pada ibadat khusus saja. Membaca Quran, setiap huruf dibaca, makin banyak pahala. Mudah masuk surga, semudah mengungkapkan lafaz syahadah dengan memeluk agama Islam. Tidak semudah itu.
Syazreen memberikan sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang menggugah kesadaran nalar kritis kita: Apakah salat di kota suci itu pahala lebih agung berbanding mengutuk kekerasan terhadap pengorbanan kemanusiaan?

Walaupun tidak dapat dimungkiri bahawa salat adalah kewajipan seorang Muslim, namun apakah artinya sekiranya kita berdiri menghadap kiblat, menggerakkan bibir dan gerakan tanpa pandangan Islam yang menyeluruh? Tuhan tidak suka hamba-Nya yang kuat memuji-Nya, tetapi meninggalkan pesan kemanusiaan, apalagi merelakan kezaliman, penindasan dan ketidakadilan.
Iman dibuktikan dengan perbuatan – suluhan jiwa dan akal pencerahan. Bukan perbuatan dibuktikan bahwa itu Iman. Malangnya, inilah kepercayaan mayortitas umat beragama. Mereka sangkakan perbuatan mereka itu panggilan iman. Sebaliknya mereka sendiri mengada-ngada mengatakan itu iman. Apalagi perbuatan itu didasari dengan sifat penuh prasangka, benci dan menindas kemanusiaan.
Sebagian agamawan menyebarkan kekerasan dan kebencian terhadap sesama manusia yang berlainan agama atas alasan untuk menjaga kemurniaan nilai agamanya. Kesannya, teologi jadi sempit. Kebenaran jadi tunggal. Agama jadi eksklusif.

Tanpa kemanusiaan, maraklah kekerasan atas nama agama. Setiap ajaran fikih ditandai simbol keimanan. Sebaliknya, perintah atau ajaran fikih, didasari dengan intipati keimanan. Iman menonjolkan fikih. Bukan fikih menonjolkan iman. Maka, jika fikih menonjolkan iman – fikih akan jadi sempit. Begitu juga teologi. Seperti, umat menyempitkan ibadah. Maka tidak pelik, dunia hari ini mengalami krisis kemanusiaan. Sebagian umat menganut ajaran fikih sempit – fikih tafsiran manusia dan aliran tertentu. Sebaliknya umat memerlukan fikih sosial – fikih kemanusiaan.

Dunia tidak akan aman seandainya dikuasai oleh emosi kemarahan dan dendam. Tuhan mengutuskan Nabi Muhammad SAW untuk menyebarkan perdamaian dan sikap terpuji. Tidak ada dalam sejarah Islam, Nabi memenggal kepala orang dan merusak rumah-rumah ibadat penganut agama lain. Karena Nabi mengajarkan kemanusiaan dan kedamaian. Jelas, Nabi Muhammad SAW menyempurnakan pesan ketauhidan yang universal. Rasulullah SAW mengajar kita bahwa di Syahadah Kedua adalah tanggungjawab melawan segala kezaliman, korupsi sosial, ketidakadilan, dan penindasan yang mengorbankan kemanusiaan pada hari ini.

Betapa tidak sempurna akidah Muslim jika sekadar percaya “tiada Tuhan selain Allah”.
Mungkin inilah sebabnya mengapa manusia harus mengingat intisari perjanjian dengan Tuhannya “man’arafa nafsahu faqad’ arafa Rabbahu”. Agama menyantuni semua manusia dan bertindak adil terhadap setiap perkara. Keterbukaan dan kemanusiaan yang dia rasa paling benar itu, tidak boleh sama sekali dia bersikap merendahkan manusia lain di dunia ini. Kekeliruan ini kerana gagal menentukan di mana letaknya fungsi iman, fitrah juga akal dalam menuju kebaikan.

Sesungguhnya keimanan dan kemanusiaan adalah jantung setiap agama – membebaskan kebodohan yang bermaharaja di dalam diri. Sebagai contoh dalam agama Islam, seseorang harus menjiwai seruan salat, puasa, haji, dan zakat – supaya terbit nilai keimanan dan kemanusiaan dalam dirinya. Sifat kemanusiaan dalam diri dibina atas dasar takwa. Sebab itulah di dalam Islam ataupun di dalam semua agama besar di dunia ini, menyatakan bahwa ibadah tidak diarahkan hanya kepada kehidupan hamba dan Tuhan saja, atau urusan rahbaniyah. Sebaliknya berfungsi pada nilai-nilai kemanusiaan sosial. Agama adalah kemanusiaan.

“Lafaz syahadah adalah pesan kedamaian dan kemanusiaan. Syahadah melawan teroris harus didahulukan pada lafaz Muhammad berbanding lafaz Tuhan. Kerana umat sudah buta beragama dan bermati-matian membela lafaz pertama — Tuhan. Mereka begitu literal memahami syadahah. Maka apabila kita mengucapkan syahadah kita mendahulukan tauhid Muhammad sesekali tidak menafikan kalimah Tauhid Ilahi. Karena Tuhan tidak terikat pada susunan lafaz. Sebaliknya Tuhan Wujud pada pensaksian pertama dan kedua. Umat beragama hari ini gagal meletakkan fokus pensaksian Muhammad lalu gagal mengalihkan tumpuan umat dalam beragama — mengedepankan kemanusiaan. Syahadah adalah lafaz kemanusiaan yang diamanahkan Tuhan kepada Muhammad untuk menampakkan citra-Nya di dalam realitas — alam”, tulis Syazreen dalam buku ini.

Dalam buku ini, Syazreen mengajak kita untuk kembali mengevaluasi penafsiran kita terkait paruh kedua syahadah. Sebuah buku tentang masalah yang benar-benar aktual, ditinjau dari perspektif irfani yang segar. Di tengah situasi di mana perpecahan, kebencian dan intoleransi semakin menguat, kehadiran buku yang bermaksud merekatkan tali persaudaraan dan kemanusiaan ini perlu disambut gembira.

Mohd Syazreen Abdullah selain menulis buku “Syahadah Kedua” ini, juga menulis buku “Bercakap dengan Quran dan Membebaskan Allah dari Islam”. Beliau juga adalah seorang peneliti da;lam studi Islam, aktivis Islamic Renaissance Front (IRF) di Kuala Lumpur, Malaysia. Mendapat Pendidikan Studi Islam di Universitas Yarmouk, Yordania [BMR].

Dr. Budhy Munawar Rahman, dosen STF Driyarkara Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *