Takwa: Perjumpaan Spiritual Agama-Agama

Opini561 Views

Oleh Ahmad Nurcholish

Sebagaimana pula agama Yahudi dan Kristen, Islam adalah “Agama Perjanjian”. Seluruh dasar perjanjian  Allah-manusia itu terutama dalam kitab suci yang merupakan wahyu Allah kepada manusia.

Dalam agama Islam, seperti dipaparkan Budhy Munawar-Rachman (2001: 16-17), dasar pemahaman mengenai wahyu itu adalah apa yang disebut “pesan keagamaan” atau “pesan dasar” (risalah asasiyah) Islam, yang pada pokoknya meliputi perjanjian dengan Allah (‘ahd, ‘aqd, mitsaq), sikap pasrah kepada-Nya (islam), dan kesadaran akan kehadiran-Nya dalam hidup (taqwa, rabbaniyah).

Pesan-pesan dasariah agama ini, menurut Budhy,  bersifat universal dan berlaku untuk semua manusia, dan tidak terbatasi oleh pelembagaan formal agama-agama – justru karena memang agama-agama dengan caranya sendiri-sendiri mengajarkan soal-soal tersebut. Bahkan “sebagai hukum dasar dari Tuhan, pesan dasar itu meliputi seluruh alam raya ciptaan-Nya, di mana manusia hanyalah salah satu bagian saja.”

Mengenai ketiga pesan dasar tersebut, Cak Nur (Nurcholish Madjid) menjelaskan:

“Ketiga pesan dasar itu menuntut terjemahannya dalam tindakan social yang nyata, yang menyangkut masalah pengaturan tata hidup manusia dalam hubungan mereka satu sama lain dalam masyarakat, [dalam terjemahan ini] maka tidak ada manifestasinya yang lebih penting daripada nilai keadilan. Oleh karena itu tindakan menegakkan keadilan ditegaskan sebagai nilai yang paling mendekati taqwa. Dan sebagai wujud terpenting pemenuhan perjanjian dengan Allah dan pelaksanaan pesan dasar agama, maka ditegaskan bahwa menegakkan keadilan dalam masyarakat adalah amanat Allah kepada manusia.” (1991: 19)

Dalam pandangan teologi umat Islam, al-Qur’an itu adalah “pesan keagamaan” yang harus selalu dirujuk dalam kehidupan keagamaan seorang Muslim. Pandangan ini mengacu kepada sebuah hadits Nabi saw., al-diinu nashihah, “agama itu adalah nasihat” –agama adalah sebuah pesan.

Baca Juga: Melacak Arus Radikalisasi di Sekolah Kedinasan

Dalam al-Qur’an pun ada penegasan, bahwa pesan keagamaan – merupakan pokok pandangan hidup Islam itu – sama untuk para pengikut Nabi Muhammad saw., dan mereka yang menerima Kitab Suci sebelumnya, yaitu pesan untuk bertakwa kepada Allah.

“Dan sungguh, telah Kami perintahkan kepada mereka, Ahli Kitab sebelum kamu, juga kepada kamu, supaya bertakwa kepada Allah…” (Qs. Al-Nisa’ (4): 131)

Ayat ini menegaskan bahwa pesan keagamaan itu adalah pesan untuk bertakwa (taqwa) kepada Tuhan. Yang menarik adalah, dari segi inklusif dan pluralis, al-Qur’an itu adalah ayat – yakni pertanda, perlambang atau simbol. Dalam hal ini Netton mengatakan, “Al-Qur’an itu penuh dengan rujukan kepada ayat-ayat (yakni, perlambang-perlambang) Tuhan.” (1989: 321).

Jika pesan keagamaan yang merupakan pokok pandangan hidup Islam itu, sama untuk para pengikut Nabi Muhammad saw., dan mereka yang menerima Kitab Suci sebelumnya, sebagaimana dikatakan di atas, maka dalam akidah Islam pada dasarnya semua agama adalah ayat Tuhan, yang hendak membawa setiap pengikutnya kepada kehidupan takwa, kehidupan dalam kehadiran dengan dan dalam Tuhan.

Jika kita mencermati pesan ketakwaan sebagaimana diuraikan di atas, maka, pada prinsipnya sama untuk semua umat manusia. Sehingga pesan kepada takwa ini dalam pandangan Islam, bersifat universal. Di sinilah, dalam argument keuniversalan pesan keagamaan tersebut, memunculkan arti kesamaan hakikat semua pesan Tuhan.

Akan tetapi arti “kesamaa agama” di sini bukan kesamaan dalam arti formal dalam aturan-aturan positif yang sering diacu sebagai istilah agama Islam syari’ah, bahkan tidak juga dalam pokok-pokok keyakinan tertentu.

Sebab, Islam par exellance memiliki segi-segi perbedaan dengan misalnya agama Yahudi dan Kristiani, dua agama yang paling dekat karena sama-sama berasal dari millah Ibrahim. Beberapa ayat al-Qur’an menandaskan mengenai kesamaan hakikat ini, dan implikasi-implikasinya, sebagaimana tertuang dalam Qs. Al-Baqarah (2): 148 dan 256, al-Maidah (5): 48, dan Yunus (10): 99.

Jadi, pengertian “kesamaan” di sini adalah kesamaan dalam hal yang di atas disebut “pesan dasar”. Al-Qur’an menyebutnya dengan kata “washiyah” yaitu – seperti diistilahkan – “ajakan untuk menemukan dasar-dasar kepercayaan” yaitu sikap hidup yang hanif, atau lengkapnya al-hanifiyat al-samhah yang arti literalnya “semangat kebenaran yang toleran,” sebagaimana diungkapkan hadits berikut ini,

Ibn ‘Abbas menuturkan bahwa Nabi Saw., ditanya, “Agama mana yang paling dicintai Allah?” Nabi menjawab, “Semangat kebenaran yang toleran (al-hanifiyat al-samhah).” (HR. Imam Ahmad).

‘Aisyah menuturkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Hari ini pastilah kaum Yahudi tahu bahwa dalam agama kita ada kelapangan. Sesungguhnya aku ini diutus dengan semangat kebenaran yang toleran (al-hanifiyat al-samhah).” (HR. Imam Ahmad).

Maka dari itu, jika al-Qur’an – bahkan semua Kitab Suci – merupakan “pesan keagamaan,” maka al-Qur’an bagi seorang  Muslim, adalah pesan-Nya yang terakhir, dan dalam kaitannya dengan pesan-pesan sebelumnya dalam Kitab-kitab Suci masa lalu, al-Qur’an itu dibawa oleh Nabi Muhammad Saw., yang dalam pandangan teologi Islam sebagai “penutup” (khatam) segala Nabi dan Rasul. Pengertian “penutup” di sini, berkaitan dengan klaim argument Islam sebagai “agama terakhir”.

Dalam al-Qur’an kata “khatam” secara harfiah berarti “cincin,” yaitu cincin pengesah dokumen (seal). Fungsi Nabi Muhammad Saw terhadap para Nabi dan Rasul sebelum beliau, memberi pengesahan kepada kebenaran Kitab-KItab Suci dan ajaran mereka.

Al-Qur’an adalah pembenar (mushaddiq), penguji (muhaymin) dan pengoreksi (furqan) atas penyimpangan yang terjadi dari pada para pengikut kitab-kitab itu.

Harus diakui, bahwa kerap-kali umat Islam tidak tahan membaca pandangan al-Qur’an yang secara eksplisit jelas-jelas inklusif, bahkan malah pluralis, yang memberi tempat keselamatan sejajar dengan Islam sendiri. Dari segi iklusifnya, penafsiran terhadap ayat-ayat di atas yang menegaskan titik temu antar-agama menuntut dua hal penting.

  • Pertama, bahwa para penganut agama, dalam hal ini Yahudi dan Kristiani, harus menjalankan kebenaran yang diberikan Allah pada mereka, melalui Kitab-kitab mereka itu – dan kalau mereka tidak melakukan hal tersebut, maka mereka adalah kafir da zalim. Sebagaimana disebutkan dalam ayat al-Qur’an, s. al-Maidah [5]: 44 dan 47.
  • Kedua, al-Qur’a jelas mendukung kebenaran dasar Kitab Suci itu, tetapi al-Qur’an juga akan mengujinya dari kemungkinan penyimpangan, termasuk kepada kaum Muslim sendiri atas ajaran-ajaran keislamannya. Karena itulah bagi kaum Muslim, al-Qur’an mengajarkan kontiunitas, dan sekaligus perkembangan dari agama-agama sebelum Islam.

Aspek  kebenaran yang didukung dan dilindungi al-Qur’an ini adalah kebenaran asasi yang menjadi inti semua agama Allah. Al-Qur’an member istilah al-din (ketundukan, kepatuhan, ketaatan) yang mengandung makna tidak hanya hukum agama tertentu, tetapi juga kebenaran-kebenaran spiritual asasi yang tidak berubah-ubah – yang merupakan hakikat primordial manusia. [ ]

 

Ahmad Nurcholish, Pengajar Religious Studies, Deputi Direktur ICRP

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *