Oleh: Redemptus De Sales Ukat
Indonesia sekalipun dikenal sebagai negara yang majemuk dan demokratis ternyata tidak menjamin bahwa semua warga negaranya bisa hidup dengan aman dan damai. Di sana – sini masih banyak warga yang menjerit karena merasa diperlakukan tidak adil oleh sesamanya karena adanya perbedaan suku, ras dan agama. Ketidaknyamanan ini paling sering dialami oleh warga dari kelompok minoritas.
Di berbagai media kita juga bisa melihat dan mendengarkan bagaimana rumah – rumah ibadat agama minoritas disegel, dirusak dan bahkan dibakar sebagai bentuk penolakan kehadiran mereka. Misalnya Gereja Sta. Teresa di Cikarang, Gereja Sta. Clara di Bekasi, Gereja St. Yoseph di Tanjung Balai Karimun, Gereja GBI di Tlogosari dan masih banyak contoh rumah ibadat lain yang dihentikan pembangunannya karena ada penolakan dari masyarakat sekitar. Yang teranyar adalah peristiwa pengrusakan dan pembakaran rumah ibadat Jemaat Ahmadiyah pada 3 September 2021 yang lalu, di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.
Dalam laporan yang disampaikan oleh Setara Institut yang dirilis pada April 2021 lalu menyatakan bahwa sepanjang tahun 2020, telah terjadi 180 peristiwa pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB), dengan 422 tindakan. Peristiwa pelanggaran KBB itu tersebar di 29 provinsi di Indonesia dengan konsentrasi pada 10 provinsi utama yaitu Jawa Barat (39), Jawa Timur (23), Aceh (18), DKI Jakarta (13), Jawa Tengah (12), Sumatera Utara (9), Sulawesi Selatan (8), Daerah Istimewa Yogyakarta (7), Banten (6), dan Sumatera Barat (5). Pelanggaran itu berupa penghentian pembangunan, penyegelan, serta perusakan masjid, gereja, dan klenteng.
Mengapa peristiwa – peristiwa pelanggaran ini bisa terjadi? Pertama, karena adanya produk kebijakan yang diskriminatif. Hal ini terkait dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM 2 Menteri) Nomor 8 dan 9 Tahun 2006. Syarat dan ketentuan Pendirian Rumah Ibadat yang termuat dalam Peraturan Bersama Menteri ini pada pasal 14, cenderung berpihak pada mayoritas dan menyulitkan agama minoritas dalam mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah ibadat. Pasal itu berbunyi:
“1) Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.
(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi :
- daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan
puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);
- dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;
- rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan d. rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.
(3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat.”
Syarat dan ketentuan ini sering dijadikan kambing hitam oleh mayoritas untuk melarang, menyegel, merusak dan bahkan membakar dengan dalil tidak ada IMB. Karena memang sulit bagi minoritas memenuhi syarat – syarat yang ada. Kalau pun terpenuhi syarat pengguna rumah ibadat 90 orang, biasanya agama minoritas agak susah mendapatkan dukungan dari masyarakat sebanyak 60 orang.
Baca Juga: Indahnya Keberagaman dan Pentingnya Toleransi di Indonesia (Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara)
Kedua, karena pemerintah daerah setempat tidak membuat peraturan – peraturan atau kebijakan di tingkat lokal yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan di daerah sebagai acuan untuk pembangunan rumah ibadat. Akibatnya lagi – lagi PBM selalu menjadi rujukan menerbitkan IMB yang mana kita tahu bahwa PBM ini cenderung menguntungkan mayoritas. Di samping itu kerap kita juga menemukan pemerintah daerah justru mendukung masyarakat untuk menyegel dan menghentikan pembangunan rumah ibadat yang diduga tidak memiliki IMB.
Ketiga, intoleransi masyarakat sekitar. Hal ini bisa terjadi karena masyarakat sekitar terbiasa hidup secara homogen atau tidak terbiasa hidup berbaur dengan masyarakat yang beragam sehingga ketika ada agama baru yang masuk di wilayah tersebut, mereka cenderung melihat kenyataan itu sebagai sebuah ancaman. Selain itu karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang keberagaman. Akibatnya masyarakat gampang diprovokasi oleh oknum – oknum yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan tindakan – tindakan yang melanggar KBB.
Sejak kasus pembakaran Masjid Miftahul Huda mencuat, banyak pihak termasuk Komnas HAM dan Amnesty Internasional telah meminta kepada pemerintah untuk mencabut Peraturan Bersama Menteri nomor 8 dan 9 tahun 2006 tersebut karena dinilai sebagai biang kerok dari berbagai kasus pembakaran rumah ibadat di Indonesia. Bahkan Amnesty Internasional berpendapat bahwa PBM bertentangan dengan konstitusi Indonesia dan hukum HAM Internasional. Mereka juga berpandangan bahwa PBM ini membuat aktor – aktor intoleran merasa dibenarkan oleh PBM tersebut ketika melakukan penolakan terhadap rumah ibadat kaum minoritas.
Namun penulis berpendapat bahwa sebelum terburu – buru mencabut PBM, mungkin hal lain yang bisa dibuat adalah pertama, pemerintah Pusat hendaknya meninjau kembali PBM dengan memperhatikan atau menyederhanakan peraturan tersebut pada tingkat daerah.
Kedua, Pemerintah Daerah hendaknya mendorong stake holder-nya membuat turunan PBM yang bisa disesuaikan dengan kebutuhannya. Untuk hal ini kita bisa mencontohi apa yang sudah dibuat oleh daerah lain salah satunya adalah Kota Kupang. Melalui Gerakan Kampanye Komunitas Orang Muda Lintas Agama Kota Kupang (KOMPAK) bersama jaringan, FKUB Provinsi dan Kota beserta Pemerintah Kota telah menerbitkan PERWALI tentang pendirian rumah ibadat. Perwali ini bertujuan memfasilitasi warga untuk beribadah termasuk memudahkan umat beragama yang tidak banyak jumlahnya agar bisa membangun rumah ibadat.
Ketiga, menambahkan kearifan lokal dalam Peraturan daerah (Perda) terkait Pendirian Rumah Ibadat. Kearifan lokal yang dimaksudkan di sini adalah hal – hal baik yang ada di masyarakat yang merupakan warisan turun – temurun dari nenek moyang yang berfungsi sebagai filosofi, hukum adat,nilai dan semangat. Dengan menambahkan kearifan lokal dalam perda diharapkan dapat membangun kesadaran kolektif dan kekuatan pendorong yang mampu mengatasi perbedaan iman di dalam masyarakat.
Pendapat ini didasarkan pada riset yang dilakukan oleh Balai Litbang Agama Makasar ( BLAM ). Dalam riset yang dilakukan di tujuh wilayah itu para peneliti menemukan hasil yang mencengangkan di mana mereka melihat bahwa kearifan lokal mampu merekatkan hubungan lintas iman, membangun kesadaran kolektif dan membangun kekuatan pendorong yang mampu mengatasi perbedaan. Kearifan lokal juga mampu meleburkan sekat – sekat di antara mereka dan mengikat mereka sebagai satu keluarga. Misalnya, Pembangunan gereja di Jalan Baru, Kelurahan Takatidung dan di Desa Riso Polewali Mandar. Masyarakat di dua tempat tersebut yang mayoritas Islam, menerima secara terbuka pendirian dua gereja. Bahkan mereka ikut membantu proses berdirinya gereja. Hal ini terjadi karena adanya dukungan dari pemerintah dan kearifan lokal “sipamandaq” yang mengikat mereka sebagai satu keluarga.
Keempat, perlu adanya pembentukan Komunitas Pemuda Lintas Agama di setiap daerah di Indonesia. Hal ini bertujuan mendorong para pemuda untuk keluar pola pikir yang homogen, mau berbaur dengan sesama yang berbeda keyakinan serta pada akhirnya bisa memiliki pemahaman yang luas tentang keberagaman.
Pada akhirnya kita berharap bahwa negara Indonesia bisa menjadi negara yang aman dan damai bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Sebab sejak awal negara ini dibentuk untuk menyatukan seluruh tumpah darah Indonesia dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Pulau Rote. Karenanya dipilihlah Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan negara kita.
Penulis: Redemptus De Sales Ukat, KOMPAS (Komunitas Peacemaker Perbatasan)