Sudhamek, Pebisnis yang Mengedepankan Spritualitas Mengabdi Untuk Negara

Kabar Tokoh108 Views

Kabar Damai I Rabu, 14 April 2021

Jakarta I Kabardamai.id I Banyak kegiatan yang bisa dilakukan sebagai bentuk pengabdian manusia kepada Tuhan. Berbagi ilmu pengetahuan dan ide gagasan demi mengabdikan diri kepada masyarakat, menghantarkan Chairman Garudafood Sudhamek Agoeng Waspodo untuk terus berpacu dengan waktu demi membuat lingkungan bernilai toleransi yang tinggi.

 

Tumbuh dikeluarga sederhana Sudhamek kerap diejek miskin

Lahir di Rembang, Jawa Tengah, pada 20 Maret 1956, pria berusia 65 tahun ini saat kecil tak terlalu memiliki harta yang melimpah. Hidupnya sederhana, ayahnya hanya memiliki pabrik tepung tapioka, yaitu PT Tudung yang didirikan pada tahun 1958. Meskipun ayahnya memiliki pabrik, namun dengan jumlah anak yang banyak, yaitu 11 bersaudara, dan peluang bisnis yang masih kecil, membuat kondisi keluarganya masih pas-pasan, bahkan dirinya seringkali diejek orang miskin.

Berbagai macam ejekan seringkali datang dari teman-temannya karena kondisi keluarga yang miskin. Perlakuan tidak baik ini jugalah yang terus membekas dalam ingatan Sudhamek, akibat julukan “kere” yang disematkan pada dirinya. Bukan hanya perihal kekayaan, aksen namanya yang terkenal aneh juga membuat Sudhamek menjadi sasaran perundungan dan bahan lelucon bagi teman-teman satu kelasnya.

 

Baca Juga : Pastor James Wuye dan Imam Muhammad Ashafa: Pendeta dan Imam yang Mendamaikan Perbedaan

 

Pada mulanya kesulitan menjalankan bisnis

Mengenyam pendidikan di Universitas Kristen Satya Wacana dengan jurusan Hukum dan Ekonomi, pada awalnya Sudhamek kesulitan untuk memulai bisnis, sehingga lebih memilih untuk bekerja. Namun, karena ayahnya meninggal setelah Sudhamek 2 tahun lulus kuliah, pada akhirnya Sudhamek harus berani mengemban tugas bisnis yang dibebankan kepadanya meskipun dia tidak memiliki latar belakang bisnis sama sekali.

Kepiawaian Sudhamek dalam mengelola bisnis tentunya tak lekang dari bantuan dan kepedulian ibunya yang selalu memotivasi dan memberi dukungan bagi Sudhamek. Sebagai anak bungsu dari 11 bersaudara tentunya, selalu ada konflik yang terjadi diantaranya dengan anggota keluarga lain, namun karena berasaskan profesionalitas, jugalah Sudhamek dapat dapat menjalani bisnis keluarga dengan mudah.

Dibawah kendali Sudhamek Garudafood terus mengalami perkembangan yang sangat signifikan sampai akhirnya menjelma menjadi konglomerasi. Sebelum Sudhamek bergabung, perusahaan keluarganya hanya memiliki 1 pabrik dengan 700 karyawan dengan 5 produk. Namun karena kepiawaian Sudhamek, dengan waktu yang singkat Sudhamek dapat mengembangkan Garudafood menjadi 8 pabrik, 19.000 karyawan dan 200 produk.

PT Tudung milik ayahnya yang fokus pada produksi tepung tapioka, di tangan Sudhamek berubah menjadi  PT Tudung Putrajaya yang memproduksi kacang kulit hingga lahirlah nama “Kacang Garing Garuda” yang dikenal luas pada tahun 1990.

Garudafood terus berkembang pesat berkat kegigihan Sudhamek. Prestasi yang luar biasa dapat dilihat pada masa orde baru saat krisis moneter, PT Garudafood dapat tetap berdiri kokoh dan menunjukan eksistensinya  di saat perusahaan lain jatuh, perusahaan ini dapat mempertahankan 70% pangsa pasar kala itu.

Pada tahun 1997  Sudhamek dengan berani melebarkan usahanya dengan memproduksi varian produk selain kacang. Sukses dengan inovasi barunya, Sudhamek kemudian menambahkan kata “Jaya” di belakang nama perusahaanya, PT Garudafood Putra Putri Jaya.

 

Menjadi Ketua Dewan Pengawas MBI

Sebagai sosok yang selalu melakukan usaha dalam bentuk pengabdian manusia kepada Tuhan. Sudhamek percaya bahwa sukses itu lahir dari kejujuran, keuletan dan ketekunan yang diiringi dengan do’a. Karena spiritualitas imannya inilah yang menghantarkan Sudhamek menjadi Ketua Dewan Pengawas Majelis Buddhayana Indonesia (MBI).

Sejalan dengan misi MBI yaitu transformasi diri utuk kemudian menuju ke transformasi sosial dengan berpegang teguh pada inklusivisme, pluralisme, dan sebagainya. Sudhamek yakin bahwa segala sesuatu harus dimulai dari dirinya sendiri baru setelah itu merambah ke ranah sosial. Secara sederhana, bagi Sudhamek seseorang baru bisa bermanfaat jika dalam dirinya sudah baik, segalanya harus dimulai dari dalam.

Berkiprah di MBI, Sudhamek seringkali menggelar acara yang memiliki tujuan untuk socially engaged Buddhism, dengan tujuan untuk membangun awareness terhadap organisasi MBI dari pihak internal. Di bawah naungannya MBI juga terus berkembang, baik dari pusat maupun daerah-daerah semua anggota mendukung program – program Sudhamek dengan penuh gairah.  Ditangan Sudhamek MBI berkomitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai pluralism dan inklusivisme yang akan diwujudkan dalam tindakan nyata, tidak sekedar wacana atau kata-kata belaka.

Mengawasi soal Pancasila, mengabdi untuk negara

Sebagai anak bangsa yang bangga menjadi Warga Negara Indonesia, mengabdi untuk  negara merupakan hal krusial yang menjadi tanggung jawabnya. Ini merupakan salah satu motto hidup yang Sudhamek praktikkan ketika dirinya dipanggil oleh Presiden Jokowi untuk menjadi penasihat Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) pada tahun 2019 lalu. BPIP adalah lembaga yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden yang memiliki tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan, dan melaksanakan penyusunan standardisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila kepada lembaga tinggi negara, kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial politik, dan komponen masyarakat lainnya. BPIP merupakan revitalisasi dari Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKPIP).,

Dilansir dari laman bpip.go.id dalam menyusun kebijakan Ekonomi Pancasila, Sudhamek mengatakan kebijakan Ekonomi Pancasila hakikatnya adalah pandangan mengenai sila-sila pada Pancasila.

“Kebijakan Ekonomi Pancasila hakikatnya adalah pandangan mengenai sila-sila Pancasila, paradigma yang melatarbelakangi kebijakan ekonomi Pancasila Nilai Pancasila, “saya ada karena kita ada (I am because we are),” terangnya suatu Ketika.

Lebih lanjut, dia menegaskan dalam sistem ekonomi Pancasila harus saling bergotong-royong, itu berarti tidak saling meniakakan, melainkan saling mengakui keberadaan.

 

Sosok Buddhis yang mengedepankan nilai-nilai toleran

Sebagai seorang Buddhis yang terus mencoba mewujudkan Buddhisme dengan rasa tidak memihak sense of dispassion di tengah-tengah umat Buddha. Sudhamek turut berkontribusi dalam mendirikan Indonesian Conference Religion and Peace (ICRP) sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang Focus mengedepankan dialog dan toleransi dalam beragama.

Dilansir dari Buddhisme.com dalam wawancaranya Sudhamek berpendapat “Sebuah nilai yang akan saya coba wujudkan dalam Buddhisme ke depan, bagaimana mewujudkan rasa tidak memihak (sense of dispassion) di tengah-tengah umat Buddha.  Kalau anda lihat semua itu dari sudut kesamaannya, sehingga tidak lagi merasa berbeda, lalu ke mana anda akan berpihak? Anda memihak karena melihat ada perbedaan. Jadi sense of dispassion pada akhirnya akan kembali pada nilai-nilai universalisme tadi. Nilai-nilai pluralisme, inklusivisme, non-sektarian dan universalisme itu kalau diperas lagi ujung-ujungnya akan menjadi “the sense of oneness”, bahwa kita itu sebenarnya satu adanya. Nilai ini yang akan terus saya bawa di mana pun saya berada, sekalipun saya sudah tidak di MBI lagi kelak di kemudian hari,” tuturnya.

Di ICRP, Sudhamek memperluas jejaring dengan bergaul dan berkumpul dengan terlibat kerjasama melalui kegiatan atas nama kemanusiaan. Teman-teman di ICRP,  yang selalu berdiskusi bersamanya adalah tokoh tokoh agama seperti Buya Syafii Maarif,  Musdah Mulia,  Ulil Abshar Abdalla dan lainnya yang seringkali membuatnya tidak sadar para tokoh ini berasal dari agama mana, dan membuatnya merasa dengan beliau-beliau ini tidak ada perbedaan.

Dengan keterlibatannya dalam mendirikan ICRP Sudhamek yakin untuk menekankan bahwa  baik pengusaha Buddhis, pengusaha Muslim, pengusaha Katholik, atau pengusaha Hindu, menurutnya pada dasarnya sama, tidak ada pembatasan yang terkotak-kotak menurut agama, bahwa seolah-olah pengusaha Buddhis perannya ini, pengusaha Muslim perannya itu. Dia tidak berpandangan seperti itu. Baginya, pengusaha dengan agama apapun, dia mempunyai peran sebagai agent of change (agen perubahan).

Pengusaha tidak sekedar mencari keuntungan, tidak sekedar membayar pajak dan sebagainya, tetapi bagaimana agar dia bisa berperan secara proaktif di dalam pembangunan sebuah bangsa dan negara. Masyarakat bisnis harus dilihat dengan kacamata seperti itu, bahwa business community itu adalah salah satu pilar utama di dalam kemajuan sebuah bangsa.

Sudhamek juga melanjutkan “Hanya saja jadilah pengusaha yang benar, ini yang harus disepakati dan disadari bersama-sama sehingga business community itu bisa benar-benar menjadi salah satu pilar di dalam agent of change tadi. Change itu bisa social change, bisa economic development, pun keduanya. Intinya, peran itu jangan dikotak-kotakkan berdasarkan agama, seolah-olah peran pengusaha antara satu agama dengan agama lainnya berbeda-beda. Karena kalau mengkotak-kotakkan, maka kita akan masuk ke wilayah sektarianisme, menjadi eksklusif,” ujarnya.

 

Penulis: Ai Siti Rahayu

Editor: Ahmad Nurcholish

Sumber: Kumparan I Buddhisme I BPIP.go.id

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *