STFT Jakarta, Kampus Bidaah!

Opini2494 Views

Oleh: Albertus Patty

“Saya mau ambil kuliah teologi dimana saja, pokoknya jangan di STT Jakarta,” tegas saya pada ibu. Saya serius dengan sikap ini karena itu saya menggumulinya dalam doa. Saya minta agar Tuhan mengijinkan saya studi teologi dimana pun, kecuali STT Jakarta (sekarang STFT Jakarta)

Pada masa sebelum ada hoax pun, Sekolah teologi ini sudah diberi citra buruk oleh banyak orang Kristen. Banyak label negatif dimuntahkan pada sekolah teologi tertua di Indonesia ini. Mulai dari liberal, bidaah, kompromistik dan terutama sesat. Saya salah satu yang termakan ‘hoax’ ini.

Meski menghindarinya,  ibu saya tetap mendorong saya  kuliah di situ. Pertimbangan ekonomis saja. Bisa kuliah tetapi tinggal bersamanya. Tak ada pengeluaran akomodasi dan konsumsi. Saya terpaksa menerima pertimbangannya dengan gundah. Saya anggap Tuhan pun tak menjawab doa saya. Sebel banget!

Saya mendaftar. Menjalani test dengan ‘ogah-ogahan.’ Saat wawancara pun saya dengan jujur katakan bahwa saya tidak berniat studi di sini. Dosen yang wawancara saya cuma nyengir. Lalu, tanpa diduga, saya malah diterima. “Mati saya!” Saya akan berkuliah di sarang bidaah, markas kaum liberal, orang sesat.  Tuhan kelewatan! Rasanya ingin protes keraaas!

Saat mengenyam pendidikan teologi di situ, saya merasakan pergumulan super dahsyat. Roh bidaah disuntikan dalam otak dan pemikiran saya. Apa yang saya yakini sebagai ‘kebenaran’ dibombardir habis dibangku kuliah. Hampir putus asa. Saya pernah berniat ‘curhat’ kepada ibu saya bahwa saya menyerah.

Baca Juga: Diferensiasi, Upaya Memerdekakan Peserta Didik dalam Belajar

Untung saya bisa bertahan. O ya, ‘bidaah’ tidak selalu berkonotasi negatif. Bisa juga positif. Bidaah pada dasarnya bermakna pemikiran inovatif yang tentu saja berbeda dari mainstream. Oleh karena itu ‘bidaah’ selalu mempertanyakan dengan kritis apa yang diklaim sebagai ‘kebenaran absolut.’

Jadi, bidaah itu berarti ‘inovasi.’ Bukankah reformasi Protestan adalah gerakan ‘bidaah’ dari Martin Luther. Bukankah Kekristenan sendiri adalah gerakan ‘bidaah’ dari keyahudian. Agama-agama adalah ‘bidaah’ terhadap yang lain dan yang sebelumnya. Agama-agama selalu memproduksi bidaah. Realistis saja!

Spirit ‘bidaah’ membuat kita harus mempertanyakan apakah sesuatu yang kita anggap ‘benar’ memang benar, baik dan relevan. Apakah yang ‘benar’ dalam situasi dan waktu tertentu masih ‘benar’ dalam situasi dan waktu yang lain?

Memang, upaya inovasi harus selalu dikerjakan dalam segala bidang kehidupan, termasuk dalam tubuh dan bahkan dalam teologi gereja. Dan itu harus mulai dengan keberanian mempertanyakan.

Gereja tidak boleh terjebak dalam kejumudan. Tak boleh stuck! Tujuannya agar di tengah berbagai perubahan yang terus terjadi dalam segala bidang kehidupan di dunia ini, gereja tetap mampu melayani, dan bersinergi dengan siapa pun, guna menghadirkan Injil Kristus yang berisi keadilan, perdamaian dan cinta bagi semua.

Dalam sekolah ini tidak ada indoktrinasi. Inerrancy ditolak. Teologi menjadi proses dialog yang dinamis. Ada dialektika antara menjawab pertanyaan dan mempertanyakan jawaban. Teologi menjadi peziarahan tanpa akhir. Ini proses yang menggelisahkan, meletihkan, sekaligus mempersonakan dan Mencengangkan! Ada saat kita berteriak ‘Waduuh..’, tetapi di saat lain kita berseru ‘Woouww…’

Salah satu kekuatan yang dimiliki sekolah ini adalah ini. Ia dibuat untuk menghadirkan teologi ‘in loco’. Ini adalah teologi yang terus-menerus berproses dalam dialetika antara kesetiaannya pada Yesus Kristus dan dengan persoalan dan tantangan baru yang dihadapi gereja dan masyarakat dimana dia berada. Itulah sebabnya, banyak jebolan kampus ini yang cukup fasih berbicara tentang masalah dan persoalan masyarakat dan bangsa. Rasanya memang seharusnya begitu. Mengapa?

Pada masa kini seorang pendeta atau pemuka agama bukan sekedar menjadi pendeta jemaat, tetapi harus mampu menjadi pendeta yang melayani dan membela masyarakat dan bangsa dimana dia berada. Bila tidak begitu, pendeta atau pemuka agama menjadi, mengutip kata Eka Darmaputera, irrelevant dan insignificant.

Jujur saja, saya merasa menjadi bagian dari orang yang beruntung karena ‘dijebloskan’ Tuhan di kampus kaum “bidaah’ ini. Saya batal memprotes Tuhan!

Selamat merayakan Dies Natalis STFT Jakarta 27 Sept. 2021. Salam.

Dr. Pdt. Albertus Patty, Pendeta Sinode GKI, aktivis lintas agama

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *