Skema HAM Menjamin Kebebasan Beragama

Peaceditorial100 Views

Dalam soal keberagaman atau berkeyakinan setiap orang memiliki kebebasan untuk taat pada ayat-ayat suci dari KItab Suci mereka. Tetapi dalam konteks berbangsa dan bernegara, yang harus diutamakan adalah taat pula pada ayat-ayat Konstitusi yang menjadi dasar dan haluan hukum di negeri ini serta instrument hukum internasional yang telah disepakati bersama.

Artinya, ada saatnya kita patuh dan taat pada aturan-aturan hukum yang tertera dalam Kitab Suci masing-masing, sebab itu bagian dari kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB). Tetapi pada saat yang bersamaan dengan jaminan itu pula teks-teks Konstitusi juga harus selalu dikedepankan. Ini merupakan konsekuensi dari Negara yang meskipun tidak 100% sekuler, tetapi juga bukan merupakan Negara berlandaskan hukum agama tertentu. Saya kerap menyebutnya dengan Negara “yang bukan-bukan”.

Dalam konteks perlindungan terhadap hak atas kebebasan beragama, berkeyakinan dan beribadah itulah ada sejumlah instrument hukum HAM internasional yang mengatur tentang hal ini.

Gagasan HAM, sebagaimana diuraikan dalam buku pedoman Pemerintah Daerah dalam Perlindungan Hak Beragama atau Berkeyakinan (2015: 19 – 21),  dipandang sebagai titik temu yang paling relevan – hingga saat ini – untuk menyatukan pelbagai pandangan keagamaan dan doktrin di seluruh dunia, karena dengannya setiap entitas dan identitas diakui dan dilindungi secara setara, namun di sisi lain identitas keagamaan atau leyakinan itu tetap dapat mempertahankan karakteristik khususnya yang sejak awal berbeda-beda.

Pada sisi yang lain, gagasan HAM kebebasan beragama merupakan titik negosiasi tanpa henti yang terus dilakukan oleh omunitas internasional, dengan tetap membuka peluang kritik dan masukan dari setiap kelompok dan Negara.

Lantas, apa saja yang menjadi landasan normative HAM KBB yang telah dihasilkan oleh komunitas internasional? Ada banyak sekali. Tetapi dalam ulasan ini saya hanya menurunkan 3 instrumen utama yang dihasilkan oleh PBB atau pasca Perang Dunia II.

Pertama, Deklarasi Universal HAM 1948 (DUHAM). Ini merupakan instrument yang sangat kuat yang disepakati oleh masyarakat internasional pada tahun 1948. DUHAM menjamin perlindungan ha katas kebebasan berkeyakinan dan beribadah, yang secara jelas tercantum dalam Pasal 18, dengan menyatakan:

“Setiap orang berhak atas kemerdekaan berpikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun secara pribadi.”

Baca Juga: Mengembalikan Pancasila Sebagai Perekat Bangsa

Pasal 18 DUHAM tersebut, dalam buku pedoman (h. 20) mengandung tiga hal penting dalam perlindungan HAM KBB, yaitu: (1). Ia menjamin hak kebebasan berfikir, keyakinan dan agama, yang umumnya dideskripsikan sebagai forum internum atau ekspresi internal. Aspek ini merupakan kategori yang luas, meliputi hak untuk memeluk suatu agama atau tidak, termasuk pula percaya atau tidak percaya. Pada prinsipnya, ia juga mencakup kepercayaan (belief), yaitu kepercayaan non-agamis dan ateisme, seperti agnostik.

(2). Pasal 18 membahas tentang perubahan (konversi) dan penyebaran agama, termasuk pula di dalamnya tentang aktivitas pengajaran agama; (3). Pasal tersebut juga mengatur tentang forum eksternum, yaitu ekspresi atau manifestasi  keagamaan atau keyakinan, yang dalam batas-batas tertentu dapat menjadi subjek pembatasan (limitasi) oleh Negara selama hal itu sesuai dengan persyaratan yang telah diatur.

Kedua, Kovenan Hak Sipil dan Politik. Instrument terkait hal ini adalah Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Politic Rights/ICCPR). Kovenan ini ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) Tertanggal 16 Desember 1966.  Terkait jaminan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, Kovenan Sipil dan Politik in memberikan jaminan dalam Pasal 18:

Ayat (1):  Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.

Ayat (2): Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.

Ayat (3): Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.

Komite HAM PBB, sebuah badan HAM internasional yang bertugas untuk memantau pelaksanaan Kovenan Hak Sipol tersebut, menegaskan bahwa hak-hak yang menjamin dalam ketentuan pasal 18 tersebut di atas, harus dilindungi oleh Negara, terutama Negara-negara yang telah meratifikasi. Indonesian adalah Negara yang sudah meratifikasinya.

Hak tersebut merupakan suatu hak yang melekat pada individu dan tidak dapat dikurangi. Kovenan Hak Sipol mempertegas bahwa ha katas kebebasan beragama atau berkeyakinan merupakan hak yang tidak bisa dikurangi dalam kondisi apapun (Non-Derogable Rights), sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 4 Kovenan ini.

 

Ahmad Nurcholish, Pemimpin Redaksi Kabar Damai, Deputy Direktur  ICRP

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *