Oleh: Rio Pratama
Kalimantan Barat merupakan satu di antara provinsi di Indonesia yang terletak di kepulauan Kalimantan. Sebagian besar wilayah Kalimantan Barat adalah daratan rendah dengan luas sekitar 146.807 km². Dengan daerah yang tergolong luas, tak heran Kalimantan Barat memiliki jumlah penduduk yang banyak pula dengan keragaman suku, adat, dan budaya.
Melayu, sebuah populasi suku dominan yang ada di Kalimantan Barat, khususnya pada daerah perkotaan Pontianak (Ibu kota provinsi) dan Sambas yang mencapai 19 persen dari keseluruhan penduduk (Sensus penduduk tahun 2000). Kelompok suku Melayu ini, merunut sejarahnya berasal dari Malaysia dan Sumatera Timur, umumnya mendiami kawasan perairan Kalimantan Barat.
Suku Melayu di Kalimantan Barat telah hidup dan berkembang sejak lama. Hal ini didukung dengan berdirinya beberapa kerajaan Melayu di setiap daerah. Seperti, Kerajaan Sambas (Panembahan Sambas) dan Kerajaan Kadariyah Pontianak yang telah berdiri sejak 1771 M. Dalam menjalankan kehidupan, banyak tradisi, adat istiadat, dan budaya yang terbentuk, baik di kalangan kerajaan maupun rakyat biasa. Satu di antara tradisi tersebut ialah Saprahan.
Saprahan merupakan kegiatan makan beramai-ramai di atas kain saprah. Saprah sendiri artinya “berhampar”, yakni budaya makan bersama dengan duduk bersila secara berkelompok dalam satu barisan. Biasanya satu kelompok terdiri dari 5 hingga 6 orang yang duduk saling berhadapan sebagai suatu kebersamaan. Jumlah orang dalam setiap kelompok melambangkan rukun iman & rukun Islam dalam kepercayaan umat Islam.
Pada prinsipnya tradisi Saprahan adalah tradisi adat rumpun Kerajaan Melayu yang dahulu hanya dilakukan oleh para bangsawan, namun seiring berkembangnya zaman, Saprahan telah dilakukan oleh seluruh komponen masyarakat Melayu, tanpa ada pembeda apapun di dalamnya. Saprahan sendiri mengandung filosofi “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah” dan semangat sopan santun serta kebersamaan yang tinggi.
Mengapa? Karena dalam pelaksanaannya, saprahan memerlukan gotong royong setiap kelompok untuk membuat, mengatur, dan mempersiapkan segala kebutuhannya. Adapun menu makanan dalam Saprahan ialah, nasi putih atau nasi kebuli, semur daging, sayur dalca, sayur pacri nanas, selada, acar telur, sambal bawang dan sebagainya. Kemudian untuk minuman yang disajikan adalah air serbat.
Baca Juga: Saprahan, Tradisi di Kalbar Sarat Nilai Karakter dan Toleransi
Saprahan tidak memiliki aturan tertulis untuk tata cara makannya, menghidang, dan menu hidangan yang sedianya disajikan, tetapi tetap ada etika dan kekhasan yang harus dipatuhi dan dijaga.
Mulanya, tuan rumah atau orang yang mengadakan hajat atau tetua kampung mengundang para tamu. Mereka mengistilahkan ini dengan ‘nyaro’, kata yang berasal dari saroan yang artinya memanggil atau mengundang. Semua tamu yang hadir mengenakan pakaian khas melayu, yaitu baju Telo’ Belanga’ untuk laki-laki dan baju Kurong untuk perempuan. Acara dimulai ketika tuan rumah telah membuka acara dengan mengatakan sepatah dua patah kata yang berkenaan pada acara yang dilangsungkan.
Para tamu baru boleh menyantap makanannya saat tuan rumah atau tetua (orang yang dihormati) telah lebih dulu melakukannya. Jika tuan rumah atau tetua telah selesai makan, maka seluruh tamu juga harus menyelesaikan makanannya. Acara Saprahan akan ditutup dengan membaca shalawat yang dipimpin oeh tuan rumah dan dengan meminum air serbat, yaitu minuman berwarna merah yang mengandung jahe dan rempah-rempah lainnya. Menurut tradisi masyarakat, air serbat dianggap sebagai “air pengusir”, maksudnya ketika minuman ini disajikan berarti jamuan makan sudah selesai dan tamu-tamu dipersilahkan untuk pulang.
Pada tahun 2017, Saprahan telah diakui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud RI) sebagai warisan budaya tak benda dari Pontianak. Penetapan ini merupakan langkah maju pemerintah dalam langkah mengamankan nilai budaya lokal (Usman, 2017)
Berbagai cara dilakukan oleh pemerintah kota untuk melestarikan budaya Saprahan ini, satu di antaranya yaitu diadakannya lomba Festival Inovasi Saprahan saat setiap menjelang hari jadi Kota Pontianak. Kegiatan ini digiatkan oleh para pengurus PKK di Kota Pontianak yang menargetkan para siswa SMP dan SMA sebagai pesertanya.
Hal yang dilombakan ialah bagaiamana para peserta menyajikan, mempersiapkan, dan menyandingkan lauk pauk dalam Saprahan dengan benar sesuai dengan pakem yang telah dibentuk. Harapannya ialah agar para anak mudah mengetahui tradisi dan ikut andil dalam pelestariannya.
Penulis: Rio Pratama