Saatnya Buka Mata, Telinga dan Hati Karna “Indonesia Darurat Kekerasan Seksual”

Kabar Utama12 Views

Kabar Damai, 08 Januari 2022

Pontianak I Kabardamai.id I Justicia Corner sebagai komunitas sosial politik dengan semangat hukum yang tinggi untuk membersamai minoritas. Justicia Corner melaksanakan Let’s Talk secara online melalui Zoom Meeting pukul 15.00-17.30 yang bertemakan “Indonesia Darurat Kekerasan Seksual.”

Pada Let’s Talk tersebut dihadiri narasumber berkomepeten dibidangnya yaitu Mariah Ulfa Anshor selaku Komisioner Komnas Perempuan RI, Usman Hamid selaku Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Asfinawati selaku Aktivis HAM Indonesia, dan Nova Wulandari selaku Founder Perempuan Bicara. Fasilitas yang akan didapatkan peserta adalah E-sertifikat, matarei ekskulusif dan relasi.

Kesempatan pertama, Asfinawati selaku Aktivis HAM Indonesia menyebutkan bahwa ada bentuk-bentuk kekerasan seksual berdasarkan RUU TPKS Per 8 Des 2021 sebagai berikut : pelecehan seksual secara fisik dan non fisik, pelecehan seksual berbasis elektronik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, ksploitasi seksual dan penyiksaan seksual.

Asfinawati memaparkan bahwa “Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, atau organ reproduksi dipidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).” tegas Asfinawati.

Sedangkan pelecehan seksual berbasis elektronik dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).

Untuk bentuk pemaksaan kontrasepsi, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Adapun bentuk pemaksan sterilisasi, dipidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau pidana denda paling lama Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Bentuk kekerasan seksual lainnya seperti eksploitasi seksual, dipidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dan pada penyiksaan seksual ini di paparkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan satu atau lebih tindak pidana kekerasan seksual tercantu. dalam Undang-Undang.

“Dalam undang-undang menyebutkan bahwa penyiksaan seksual terjadi apabila : Adanya paksaan terhadap korban, Saksi, atau orang ketiga memberikan atau tidak memberikan keterangan; Menghakimi atau memberikan penghukuman atas suatu perbuatan yang diduga telah dilakukan olehnya ataupun oleh orang lain untuk mempermalukan atau merendahkan martabatnya; dan adanya ujuan lain yang didasarkan pada diskriminasi.”tambah Asfinawati.

Baca Juga: Dorong RUU TPKS Segera Disahkan, Jokowi: Penting bagi Korban Kekerasan Seksual

Paparan selanjutnya, Usman Hamid selaku Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia memaparkan mengenai lanjutan dari bentuk-bentuk kekerasan seksual secara terperinci seperti :  pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, dan perbudakan seksual.

Usman memaparkan bahwa pemaksaan aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d adalah perbuatan menghentikan kehamilan seorang perempuan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan, ketidakberdayaan, atau tanpa persetujuan perempuan tersebut.

Dalam hal korban adalah anak, unsur dengan kekerasan, ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan, ketidakberdayaan, atau tanpa persetujuan.” tambah Usman.

Sedangkan perkosaan, perbuatan melakukan hubungan seksual, atau memasukkan dan/atau menggesekkan alat kelaminnya ke vagina, anus, mulut, atau bagian tubuh orang lain yang patut diduga sebagai hubungan seksual dengan  penyalahgunaan kekuasaan atau ketidakberdayaan untuk memberikan persetujuan.

Begitu halnya dengan pemaksaan perkawinan bahwa adanya , ancaman kekerasan, atau rangkaian kebohongan sehingga seseorang tidak dapat memberikan persetujuan yang sesungguhnya untuk melakukan perkawinan.

Selain hal diatas, adapula pemaksaan pelacuran yang merupakan perbuatan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, rangkaian kebohongan menggunakan identitas atau martabat palsu, yang  menyalahgunaan kepercayaan, melacurkan seseorang dengan maksud menguntungkan diri sendiri dan orang lain.

“Bahkan, perbudakan seksual perbuatan yang akan mencabut kebebasan seseorang, dengan tujuan menempatkan orang tersebut melayani kebutuhan seksual dirinya sendiri atau orang lain secara terus-menerus atau berulangkali.” tegas Usman.

Setelah panjang lebar membahas bentuk kekerasan seksual dengan berbagai tindakan pidana, Nova Wulandari selaku Founder Perempuan Bicara membahas mengenai “Mari Bicara dan Bersua, Kamu tidak sendiri” dengan hashtagnya #GerakBersama #SalingMenguatkan.

Sebagai founder, Nova memaparkan bahwa Perempuan Bicara dibentuk atas dasar keprihatinan terhadap banyaknya pelanggaran hak serta praktek diskriminasi lainnya yang disebabkan adanya relasi kuasa.

“Perempuan Bicara hadir sebagai wadah pengaduan bagi penyintas untuk menceritakan kekerasan seksual yang dialaminya.Perempuan Bicara berusaha menjembatani penyintas untuk memperoleh hak-haknya, baik pemulihan secara psikis maupun pendampingan hukum.” tegas Nova.

Perempuan bicara juga menyediakan akses nomor yang bisa dihubungi ketika membutuhkan bantuan, seperti yang dipapakrkan berikut :

Komnas Perempuan : 021-3903963

Kementerian PPPA : 082125751234

KPAI : 021-31501556

Yayasan Pulih : 08118436633

Himpunan Wanita Disabilitas Indo : 087889309301

JALA PRT : 021-7971629

Solidaritas Perempuan (pekerja migran) : 021-79183108

Rumah Faye (perdagangan perempuan) : 021-57938599

Perempuan Bicara : 085546218579

“Karna dengan menyediakan layanan tersebut kita dapat membantu orang. Bantu sebarkan, kamu bisa selamatkan 1 orang” tambah Nova.

Setalah Nova, adapun narasumber terakhir yaitu Mariah Ulfa Anshor selaku Komisioner Komnas Perempuan RI.  Mariah memaparkan bahwa komnas perempuan telah berupaya terkait advokasi. Komnas perempuan hadir sebagai respon terhadap tuntutan masyarakat anti kekerasan terhadap perempuan sebagai pertanggung jawaban negara terhadap perempuan yang khususnya atas kekerasan seksual yang diderita oleh perempuan Tionghoa dalam tragedi Mei 98. Perlu ditekankan bahwa Hak Asasi Manusia di Indonesia harusnya bersifat independent.

Mandat dan tugas Komnas perempuan adalah sebagai berikut ; memberikan kesadaran publik tentang kekerasan seksual, melakukan tinjau ulang dan reformasi atas produk hukum, melakukan pemantauan dan melaporkan kasus kekerasan terhadap perempuan, menyediakan masukam dan rekomendasi serta membangun kerja sama kemitraan untuk saling merangkul dalam upaya adokasi terhadap kasus kekerasan perempuan.

“Komnas perempuan akan terus melakukan pengembangan konfisi yang kondusif terhadap penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dengan penegakan Hak Asasi Manusia dengan fokusnya pada perempuan di Indonesia. Dalam melaksanakan tugasnya, komnas perempuan akan meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan teehadap kekerasan seksual tersebut. tegas Mariah.

Terakhir, komnas perempuan merekomendasikan untuk mendorong DPR RI segera menetapkan RUU TPKS sebagai RUU inisiatif DPR RI. Kemudian, perkuat lobby kepada DPR dan Pemerintah untuk menyempurnakan sejumlah ketentuan dalam RUU TPKS dengan mempertimbangkan rumusan norma berdasarkan pengalaman korban kekerasan seksual.

Selain itu, perlu adanya dorongan dari Pemerintah untuk memperkuat kelompok masyarakat

yang bekerja langsung dalam penanganan korban kekeraaan .

“Saya rasa, kita juga perlu untuk meminta dukungan kepada seluruh pemangku kepentingan;Tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, media, dunia usaha dan sebagainya untuk mendukung RUU TPKS  segara disahkan. Tetap semangat dalam mengawal RUU TPKS” tutup Mariah.

Penulis: Feby Kartikasari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *