Kabar Damai I Minggu, 19 Desember 2021
Pontianak I Kabardamai.id I Perihal bullying sudah sejak lama dan sangat sering ditemukan dimana saja, pelakunya maupun korbannya juga dapat menimpa siapa saja tanpa melihat latar belakangnya. Padahal, perilaku semacam ini tidak sepantasnya dilakukan mengingat begutu besar dampak negatif yang akan terjadi terutama pada korbannya.
Rika Indarti, S.Psi, M.Psi, Psikolog, ditemui usai memberikan sosialisasi sekolah anti perundungan di SMAN 1 Pontianak menghawatirkan tentang kebiasaan bullying yang kerap terjadi ini.
“Akhirnya khawatir karena perilaku bullying ini sering terjadi sehingga menjadi bukan lagi menjadi sebuah hal yang istimewa atau suatu hal yang dikhawatirkan karena memang sudah terbiasa. Ini yang saya khawatirkan jangan sampai kebiasaan bullying ini dianggap remeh dan dianggap sebagai sebuah proses yang harus remaja alami. Ini adalah persepsi yang keliru karena seharusnya yang benar adalah zero bullying,” ungkapnya.
Lebih jauh, ia turut mengapresiasi SMAN 1 Pontianak yang secara konsisten melakukan berbagai upaya agar menghindari terjadinya bullying di lingkungan sekolah.
“Saya mengapresiasi SMAN 1 yang mana saat ini menjadi pionir projek untuk bagaimana menciptakan sekolah yang anti bullying,” tambahnya.
Rika juga menambahkan bahwa dalam rangka mencapai tujuan sekolah anti bullying seperti yang diharapkan bersama tidak dapat dilakukan seorang diri.
“Sekolah anti bullying harus dimulai dari society yang ada di sekolah bagaimana juga harus anti bullying. Hal ini karena di sekolah bukan hanya siswa, namun juga ada guru dan warga sekolah lainnya. Satu society itu juga harus bergerak yang sama untuk sama-sama untuk anti bullying,” ujarnya.
Baca Juga: Pengaruh Cyberbullying di Kalangan Remaja dan Anak-anak
Menurutnya pula, guna menghindari bullying dapat dilakukan melalui penerapan pola dan konsep diri yang positif.
“Pelaku melakukan bullying itu untuk mendapatkan pengakuan, jadi pelaku berharap untuk mendapatkan kepuasan artinya dia merasa senang dan bangga serta hebat jika ia melihat orang lain merasa sengsara. Mulailah dari pembentukan fase diri yang positif bagi semua. Jika semua orang punya fase tersebut maka kita tidak akan menjadi pelaku bullying,”.
“Jika kita punya konsep dan fase diri yang positif, kita juga tidak akan menjadi korban karena kita bisa berteriak, bisa mencari pertolongan ketika terjadi dan merasa ada sesuatu yang tidak benar seperti bullying,” jelas psikolog tersebut.
Ia juga membenarkan bahwa bullying menjadi perilaku berbahaya yang dampak negatifnya sangat besar dapat dirasakan.
“Betul, maka saya selalu mengingatkan bagi semua, dari rumah kebiasaan-kebiasaan yang kita lakukan sepertinya biasa saja tapi ternyata hal itu menjatuhkan mental seperti memberikan label atau julukan-julukan,”.
“Itukan kebiasaan-kebiasaan kecil yang terus-terusan dilakukan di rumah dan kemudian dilakukan di sekolah sehingga akhirnya kebiasaan dalam melabel, berkata-kata kasar dan hal-hal yang menjurus pada perilaku bullying kepada teman sehingga penting menghindarinya,” bebernya.
Lebih jauh, ia menuturkan harapannya kepada para agen anti bullying yang tengah dibina di SMAN 1 Pontianak.
“Dengan terselenggaranya Roots Day menjadi puncak dari Roots itu sendiri, perjuangan belum selesai. 30 orang yang dipilih sebagai agen dan fasilitator anti bullying sekarang saatnya untuk bergerak dan berjuang. Sekarang waktunya untuk memulai, kemarin mereka dilatih dan dibentuk, sekarang saatnya penerapan dalam lingkungan nyata,”.
“Saya ingin melihat apakah target sosialisasi dalam mencegah bullying sudah tercapai, jika sudah mari buat yang lebih besar lagi sehingga SMAN 1 benar-benar menjadi society yang anti bullying,” pungkasnya.
Penulis: Rio Pratama