Kabar Damai | Sabtu, 26 November 2022
Jepara I Kabardamai.id I Gelaran kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II sekaligus Konferensi Internasional yang dilangsungkan di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Bangsri, Kabupaten Jepara, resmi ditutup pada Sabtu (26/11). Hasil kongres di antaranya menyoroti soal pentingnya perlindungan jiwa bagi korban kekerasan seksual.
Hasil kongres diantaranya menyoroti soal perlindungan jiwa bagi korban kekerasan seksual dalam hal ini perempuan. Kongres II diikuti lebih 1.500 peserta yang terdiri dari para ulama perempuan dan tokoh tanah air, aktivis, penulis dan puluhan peserta dari luar negeri.
Dilansir dari Detik.com terdapat 5 rekomendasi yang ditujukan untuk masyarakat umum, jaringan KUPI, masyarakat akar rumput, pesantren, pendidikan tinggi, negara, pemerintah dan organisasi keagamaan yang punya konsep terhadap perempuan.
Pertama, terkait peminggiran perempuan dalam menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama. Kupi meminta negara dan warga negara menjaga keuutuhan NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama.
Semua pihak bertanggungjawab untuk melindungi perempuan dari segala bentuk bahaya kekerasan atas nama agama, terutama negara dalam berbagai tingkat otoritas, lembaga keagamaan, lembaga sosial, dunia usaha, masyarakat sipil, keluarga dan media.
Kedua, KUPI menyoroti pentingnya menjaga bumi dengan melakukan pengelolaan sampah dan pembangunan infrastruktur untuk keberlanjutan lingkungan hidup dan keselamatan perempuan. KUPI sepakat ulama perempuan bersatu membangun peradaban yang berkeadilan sebagai panggilan iman dan tuntutan jaman.
Baca juga : Dialog Pendidikan dan Keragaman
Ketiga, KUPI menyerukan agar perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan menjadi PR penting untuk Negara, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, masyarakat dan orang tua. KUPI menyampaikan pemaksaan perkawinan tidak hanya berdampak secara fisik dan psikis korban saja, namun juga mempengaruhi sosial ekonomi, politik dan hukum Indonesia.
Oleh karenanya KUPI mendorong peraturan perundangan yang menjamin hak-hak korban, pemulihan yang berkelanjutan dan sangsi pidana bagi pelaku pemaksaan perkawinan pada perempuan hukumnya adalah wajib.
Keempat, perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan.
Hukum melindungi jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan adalah wajib di usia berapa pun kehamilannya, baik dengan cara melanjutkan atau menghentikan kehamilan, ssuai dengan pertimbangan darurat medis dan/atau psikiatris.
Semua pihak mempunyai tanggungjawab untuk melindungi jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan, terutama diri sendiri, orang tua, keluarga, tokoh agama, tokoh masyarakat dan adat, tenaga medis, tenaga psikiatris, serta negara. Pelaku juga mempunyai tanggungjawab untuk melindungi jiwa korban dengan cara yang tidak semakin menambah dampak buruk (mafsadat) bagi korban.
Hukum bagi pihak-pihak yang mempunyai tanggungjawab dan kemampuan namun tidak melakukan perlindungan pada jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan adalah haram.
Dan kelima, perlindungan perempuan dari bahaya P2GP tanpa alasan medis.
Hukum melakukan tindakan pemotongan dan/ atau pelukaan genitalia perempuan (P2GP) tanpa alasan medis adalah haram.
Semua pihak bertanggungjawab untuk mencegah pemotongan dan/ atau pelukaan genitalia perempuan (P2GP) tanpa alasan medis, terutama individu, orang tua, keluarga, masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, paraji atau sebutan lainnya, pelaku usaha, tenaga kesehatan, pemerintah dan negara.
Hukum menggunakan wewenang bsebagai tokoh agama, tokoh adat, tenaga medis, dan keluarga dalam melindungi perempuan dari bahaya tindakan pemotongan dan/atau pelukaan genitalia perempuan (P2GP) tanpa alasan medis adalah wajib.
Dikutip dari berbagai sumber.
Oleh Amatul Noor