Presiden Joko Widodo Harus Segera Merespon Situasi Regresi Demokrasi di Indonesia

Kabar Damai I Sabtu, 30 Oktober 2021

Jakarta I kabardamai.id I Dalam acara peluncuran diskusi buku berjudul “Demokrasi di Indonesia: Dari Stagnasi ke Regresi?”, sejumlah akademisi, aktivis dan perwakilan elemen masyarakat membenarkan temuan buku tersebut bahwa kualitas demokrasi Indonesia mengalami kemunduran. Mereka mendesak agar Presiden Joko Widodo segera merespon situasi kemunduran yang ditandai oleh ancaman kebebasan berekspresi, pelemahan institusi-institusi akuntabilitas, politisasi hukum dan lembaga penegak hukum, hingga polarisasi di kalangan masyarakat.

Demikian dikatakan Ketua Dewan Pengurus Public Virtue Research Institute Usman Hamid saat membuka acara peluncuran buku yang diadakan secara hibrid di Jakarta dan platform zoom pada Minggu, 24 Oktober 2021. Acara yang diikuti oleh 300 peserta itu menghadirkan dua editor buku asal Australia Thomas P. Power dan Eve Warburton, mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman dan juru bicara presiden Fadjroel Rachman sebagai pembicara.

Selain diskusi buku, peluncuran ini juga dimeriahkan oleh penampilan musik oleh Fajar Merah yang merupakan putra dari aktivis yang hilang Wiji Thukul, pembuatan mura oleh dosen Fakultas DKV Universitas  Kristen Petra Surabaya, Obed Bima Wicandra, serta pembacaan puisi oleh peneliti muda PVRI, Anissa A. Hanjani.

“Dulu, kriminalisasi sering terjadi pada aktivis lokal, yang tak bernama besar, dan biasanya tanpa restu pemerintah pusat. Sekarang, kriminalisasi sering terjadi pada aktivis di tingkat nasional, bernama besar, dan digerakkan orang-orang pemerintah pusat. Lihat saja kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti,” kata Usman.

Dalam kesempatan yang sama, Thomas Power menyampaikan tanda-tanda kemunduran demokrasi dari tingkat atas. “Tanda kemunduran demokrasi pada masa pemerintahan Jokowi bisa dilihat dari mutu sistem kepartaian. Mahalnya biaya politik dan meningkatnya ambang batas parlemen membuat hampir tak mungkin untuk mendirikan partai baru, kecuali didanai pengusaha besar dan oligarki yang kuat,” kata dosen University of Sydney yang akrab disapa Tom.

Selain itu, menurutnya, kemunduran demokrasi juga didorong oleh faktor struktural seperti manipulasi aturan Undang-Undang No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang terkenal sangat elastis. “UU ini digunakan untuk mengkriminalisasi komunikasi melalui media elektronik sebagai fitnah dan hasutan, sehinga dapat membungkam kritik dari lawan politik, jurnalis, aktivis, dan warga negara biasa,” lanjut Tom.

Baca Juga: Teladan Demokrasi dari Nabi Ibrahim

Senada dengan itu, Eve Warburton menyoroti proses regresi demokrasi Senada dengan itu, Eve Warburton menyoroti proses regresi demokrasi  yang terjadi dari bawah.

“Penggunaan taktik illiberal dan represif yang dipakai pemerintah terhadap organisasi Islam yang beroposisi kepada pemerintah dengan memanfaatkan kedekatan pada organisasi keagamaan akar
rumput seperti Nahdlatul Ulama. Ini semua memperburuk polarisasi politik dan mempercepat kemunduran demokrasi Indonesia,” kata Eve.

Eve menjelaskan, kelompok Islamis dan pluralis agama telah menundukkan prinsip-prinsip demokrasi ke dalam ranah perdebatan yang tidak sehat, sehingga terjadi perseteruan sengit antara visi yang saling bersaing mengenai Islam Indonesia. Menanggapi paparan kedua editor tersebut, Marzuki Darusman menilai bahwa buku tersebut menjadi salah satu karya penting di Indonesia.

“Buku ini merupakan salah satu karya penting setelah buku Richard Robinson dalam The Rise of Capital mengenai demokrasi di Indonesia. Buku ini perlu didiskusikan di kalangan partai sehingga terdapat upaya untuk memikirkan apa yang perlu diperbaiki dari kondisi demokrasi,” kata Marzuki.

Mantan Jaksa Agung ini menambahkan, kemunduran ini tidak akan berubah apabila tidak ada upaya perubahan yang sistematis dari partai politik dan masyarakat sipil. Sebab, kata dia, di balik regresi demokrasi di Indonesia ada beberapa alasan yang perlu diperhatikan.

“Pertama, tidak ada efek pendulum. Kedua, tidak ada super mayoritas di partai politik, melainkan super koalisi. Ketiga, tidak ada pemimpin politik yang menghendaki perubahan,” ujar Marzuki.

Sebaliknya, meski berbagai kalangan gelisah atas regresi demokrasi dalam diskusi tersebut, juru bicara presiden Fadjroel Rachman justru menanggapi bahwa demokrasi di Indonesia baik-baik saja. “Tak mungkin acara seperti ini bisa dilaksanakan jika kondisi demokrasi di Indonesia tidak baik-baik saja. Bahkan untuk kasus pelanggaran HAM yang berat, pemerintah lewat Menkopolhukam akan mengumumkan langkah penyelesaian yang dipilih oleh Presiden Jokowi,” kata Fadjroel yang sebentar lagi akan dipindah menjadi duta besar Indonesia untuk Kazakhstan.

 

Editor: Ai Siti Rahayu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *