Jakarta | kabardamai.id | Dalam sejarah Islam, ajaran demokrasi dan sikap toleransi sudah diajarkan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabat dalam bermasyarakat dan bernegara. Apabila dirunut dari sejarah perjalanan umat Islam, kehidupan bernegara bagi umat Islam telah dimulai sejak periode Madinah, di mana nabi bertindak selaku kepala negara.
Piagam Madinah adalah landasan konstitusi negara demokratis. Piagam Madinah sering disebut sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia. Piagam tersebut lahir pada tahun pertama Hijrah (622 M) berabad-abad sebelum banyak masyarakat dunia mengenal konstitusi tertulis.
Piagam Madinah atau Shahîfat al- Madînah dikenal sebagai Konstitusi Madinah. Piagam tersebut adalah sebuah dokumen yang disusun oleh nabi Muhammad Saw. yang berisi tentang perjanjian formal antara dirinya dengan semua suku-suku dan kaum-kaum penting di Yasrib, Madinah.
Peristiwa tersebut membuktikan bahwa sejak hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad Saw sudah mempraktikkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang demokratis di tengah masyarakat yang plural dengan aliran ideologi dan politik yang heterogen. Beliau adalah tipe pemimpin yang sangat demokratis dan toleran terhadap semua pihak, menjadikan semua penduduk merasa aman dan tenteram.
Dalam Piagam Madinah, Nabi Muhammad Saw. meletakkan asas-asas kemasyarakatan yakni al-ikhâ’, al-musâwâh, al-tasâmuh, al-tasyâwur, al-ta’âwun dan al-adâlah: Siti Maryam dkk dalam buku Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern (2002) menjelaskan sebagai berikut:
Pertama, Al-ikhâ’ yang berarti persaudaraan.
Al-ikhâ’ adalah salah satu asas terpenting masyarakat Islam yang diletakkan oleh Rasulullah Saw. Sebelumnya bangsa Arab menonjolkan identitas dan loyalitas kesukuannya, setelah masuknya Islam identitas diganti dengan identitas Islam.
Atas dasar inilah Rasulullah Saw. kemudian mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar. Rasul mempersaudarakan Abu Bakar dengan Haritsah bin Zaid, Ja’far bin Abi Thalib dengan Mu’adz bin Jabal dan lain sebagainya. Ikatan tersebut membuat keluarga-keluarga Muhajirin dan Ansor dipertalikan dengan persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaran berdasarkan nasab dan kesukuan.
Kedua, Al- Musâwâh yang berarti persamaan.
Manusia adalah sama. Semua manusia merupakan keturunan Nabi Adam As. yang diciptakan dari tanah. Berdasarkan asas inilah setiap warga masyarakat memiliki hak kemerdekaan dan kebebasan atau hurriyah. Rasulullah Saw. sangat memuji para sahabat yang memerdekakan budak-budak dari tangan orang-orang Quraisy.
Ketiga, Al tasâmuh yang berarti toleransi.
Piagam Madinah memuat asas toleransi. Maksud toleransi di sini adalah bahwa umat Islam siap dan mampu berdampingan dengan kaum Yahudi. Mereka mendapat perlindungan dan kebebasan dalam melaksanakan agamanya masing-masing. Asas ini dipertegas dalam al-Qur’an surat al-Kafirun ayat 6.
Keempat, Al-Tasyâwur yang berarti musyawarah.
Musyawarah sebenarnya telah diisyaratkan Al-Qur’an dalam surat Ali Imran ayat 159. Meskipun Rasulullah Saw. memiliki status yang tinggi dan terhormat dalam masyarakat, beliau sering meminta pendapat para sahabat dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan urusan dunia dan sosial budaya. Pendapat para sahabat tersebut kerap kali beliau ikuti jika dianggap benar.
Kelima, Al-Ta’âwun yang berarti tolong menolong.
Tolong menolong dalam ajaran Islam antara sesama Muslim telah dibuktikan dengan mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Isi dalam Piagam Madinah adalah bukti kuat bahwa tolong-menolong dalam ajaran agama Islam tidak memandang siapa pun yang akan ditolong.
Keenam, Al-Adâlah yang berarti keadilan.
Al-Adâlah berkaitan erat dengan hak dan kewajiban setiap individu dalam kehidupan bermasyarakat yang sesuai dengan posisi masing-masing. Prinsip ini berpedoman pada surat al- Maidah: 8 dan surat an-Nisa’: 58.
Sampai di sini, kita bisa menyimpulkan bahwa prinsip-prinsip demokrasi tersimpul dalam ajaran-ajaran Islam yang ditetapkan Nabi Muhammad Saw. dalam menjalankan roda pemerintahan di Madinah sebagai pusat pemerintahan Islam.
Ada dua prinsip yang menjadi urat nadi demokrasi yang diterapkan di Madinah, dan juga diterapkan hampir di semua negara demokrasi, yakni prinsip musyawarah atau syûrâ dan ulil amri atau perwakilan, yang sekarang lebih dikenal dengan istilah parlementarisme.[AAJ]
Comment