Perkawinan Anak dan Upaya Mencegahnya

Kabar Utama17 Views

Kabar Damai I Sabtu, 22 Januari 2022

Jakarta I Kabardamai.id I Perkawinan anak terus mengalami peningkatan terlebih saat pandemi terjadi. Hal ini menjadi keprihatinan karena tidak hanya terjadi di Indonesia namun juga dalam lingkup global.

Pernyataan tentang tingginya kasus perkawinan anak di Indonesia bukanlah hasil analisa belaka. Hal ini dibuktikan dengan hasil dari penelitian yang telah dilakukan oleh lembaga pemerhati anak.

“Kita ini juara dua di Asean perkawinan anak dan di dunia peringkat 8, jadi ini prestasi yang tidak patut dibanggakan. Ini adalah prestasi yang buruk. Menurut data dari lembaga terkait menunjukkan bahwa 1 dari 8 remaja putri di Indonesia sudah menikah dibawah usia 18 tahun,” kata Dini Widiastuti dalam program talkshow KBR.

“Data ini didukung oleh survey demografi dan kesehatan di Indonesia oleh BPS yang menunjukkan presentase perempuan usia 20-24 tahun yang menikah dibawah 18 tahun sebanyak 25.71% dan walaupun sempat mengalami penurunan namun sangat lambat,” ungkap Dini lagi.

Sejak awal tahun 2020 lalu, Indonesia turut terdampak pandemic Covid-19 hingga kini. Pandemi sendiri juga turut menjadi faktor yang memperparah tingginya lonjakan perkawinan anak.

“Hal ini perparah seiring dengan hadirnya pandemi covid-19, walaupun belum ada perhitungan pasti, namun dibanyak daerah tren perkawinan anak justru meningkat. Lebih jauh, ada tiga provinsi dengan angka perkawinan anak yang tinggi yaitu di Kalimantan Selatan (3,54%), Jambi (2,07%) dan Papua Barat (2,04%),” tambah Dini.

Dini menuturkan bahwa kini pemerintah melalui amandemennya memang menaikkan angka minimum pernikahan menjadi 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Namun, menurut Dini hal itu hanyalah entri belaka karena pada dasarnya undang-undang masih harus terus diturunkan dalam lingkup terkecil yaitu desa yang memerlukan jalan yang panjang.

Baca Juga: Tokoh Perempuan yang Isi Struktur Kepemimpinan NU

Selain itu, dalam penerapan batas minimum usia pernikahan ini juga mengalami banyak tantangan. Tidak hanya regulasi yang harus turun namun juga perlu adanya sosialisasi, masih banyak adanya permintaan dispensasi yang dilumrahkan dengan kuantitas yang tinggi dan dikabulkan.

Oleh karena itu, kesadaran akan implementasi harus dilakukan hingga struktur terendah diseluruh jajaran, pemerintah, KUA, pengadilan agama dan juga masyarakat itu sendiri serta anak-anak sebagai objek utama.

Dini membeberkan bahwa tingginya perkawinan anak secara legislasi sudah mulai ditata aturannya, namun yang sulit adalah secara sosial seperti misalnya pergaulan, minimnya informasi tentang kespro yang sehingga menyebabkan terjadinya kehamilan dan masih banyak lagi.

Sebagai seorang perempuan, Kalis Mardiasih mengaku prihatin terhadap tingginya kasus perkawinan anak di Indonesia. Menurut Kalis, kurangnya pemahaman masyarakat terhadap anak perempuan dalam konteks sosial hanya dianggap sebagai tubuh dan subjek kedua. Selain itu, pandangan bahwa anak perempuan harus menjaga moral keluarga hingga faktor ekonomi juga menjadi penyebab dari tingginya kasus perkawinan anak tersebut.

Perkawinan anak merupakan kasus yang serius dan harus ditanggulangi serta menjadi perhatian semua pihak. Hal ini karena perkawinan anak dapat membawa dampak buruk tidak hanya bagi anak namun juga lingkungan.

“Dampaknya besar sekali, seperti tingginya perceraian perkawaninan anak, kehamilan anak yang menyebabkan tingginya kematian ibu dan anak, masalah kurang gizi hingga stunting dan persoalan lanjutan yang semakin banyak dan kompleks,” jelas Kalis.

Hadirnya kelompok anak yang peduli terhadap tingginya kasus perkawinan anak merupakan angina segar dalam kasus serupa. Walaupun demikian, jalan yang dijalani untuk melakukan edukasi dan kampanye juga tidak semerta-merta mudah seperti yang diharapkan.

“Banyak sekali teman yang menikah diusia anak sehingga sangat disayangkan. Ini karena rata-rata yang menikah diusia anak ketika ujian kelulusan. Saya pernah mengedukasi tentang bahaya perkawinan anak namun justru pihak keluarga yang bersangkutan memarahi,” cerita Savanna.

Ketertaikan Savanna sebagai generasi muda pada isu perkawinan anak didorong oleh kisah langsung yang ia lihat dalam kehidupan sosial masyarat. Hal ini membuatnya semakin tersadar bahwa kampanye harus selalu dilakukan.

“Dari banyaknya kisah dan perjumpaan serta melihat secara langsung tentang problem dari pernikahan anak membuat Savanna senantiasa melakukan kampanye dalam mencegah pernikahan anak hingga kini,” tambah Savanna.

Melihat bahwa pernikahan anak adalah hal serius, perlu adanya kerjasama dari semua pihak dalam meningkatkan kesadaran. Hal ini diharapkan dapat menekan tingginya kasus pernikahan anak yang membawa dampak buruk dalam banyak aspek. Hal ini tidak dapat ditunda, harus dilakukan saat ini juga.

Penulis: Rio Pratama

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *