Oleh: Rio Pratama
Semua bertanya-tanya, ada apa dengan tanggal 28 Juni? Bagi sebagian masyarakat Indonesia mungkin mengira bahwa 28 Juni adalah sebuah tanggal biasa yang tidak ada pengaruh apapun. Namun, bagi masyarakat Kalimantan Barat memaknainya dengan mengenang 28 Juni sebagai hari berkabung daerah.
Setiap tanggal tersebut, seluruh instansi, sekolah, maupun perkantoran mengibarkan bendera setengah tiang untuk menghormati mereka yang telah terbunuh, dibantai dengan kejam, dan disiksa secara keji oleh tentara Dai Nippon yang sering disebut sebagai Peristiwa Mandor Berdarah. Puluhan ribu orang dari kalangan bangsawan, orang-orang pandai, hingga masyarakat biasa meregang nyawa di tangan Tentara Angkatan Laut Kekaisaran Jepang.
Latar Belakang Peristiwa
Pada mulanya, kedatangan tentara Jepang ke Kalimantan Barat disambut baik oleh para masyarakat. Mereka mengira bahwa Jepang ingin membebaskan rakyat dari cengkraman penjajahan Belanda. Namun, seiring berjalannya waktu, masyarakat mulai sadar bahwa tujuan Jepang datang ke tanah mereka hanya untuk memanfaatkan penduduk demi kepentingan Jepang pada Perang Dunia Kedua. Masyarakat dari semua kalangan diminta untuk kerja bakti membangun infrastrutur keperluan sipil dan militer yang pada akhirnya mereka dipekerjakan sebagai romusha. Pada saat itu masyarakat tidak dapat menolak kebijakan yang diberlakukan oleh Jepang karena dapat mengancam nyawa mereka.
Semakin hari kehidupan masyarakat di berbagai bidang kian sulit. Pada bidang sosial, banyak penduduk Pontianak, utamanya orang-orang Tionghoa mengungsi ke daerah pedalaman. Begitu juga yang terjadi pada kaum wanita yang pada saat itu banyak dijadikan tentara Jepang sebagai wanita penghibur (Jugun Ianfu) untuk dipekerjakan di enam rumah bordil yang dibentuk pada tahun 1943, tersebar di Pontianak, Singkawang, hingga Sintang. Perekonomian masyarakat juga tak kalah hancur, sembako semakin sulit didapatkan dan jikapun ada harganya sangat mahal. Hal ini disebabkan oleh Jepang yang menutup pengiriman kebutuhan pokok yang didatangkan dari seberang pulau. Singkat kata janji-janji kemerdekaan yang dijanjikan Jepang hanyalah isapan jempol belaka dan justru yang tampak hanyalah kesengsaraan rakyat yang bertambah, lebih keji dari penjajahan Belanda.
Peristiwa yang terjadi pada tanggal 28 Juni 1944 tersebut diawali dengan desas-desus bahwa rakyat mulai melakukan gerakan perlawanan terhadap Jepang. Kecurigaan tersebut berhasil dicium oleh Tokkeitai (Polisi Rahasia Kaigun), apalagi pada saat itu kehidupan masyarakat sangat menderita di bawah tekanan Jepang sehingga mereka membuat kesimpulan bahwa rakyat sedang bergerak secara diam-diam. Berdasarkan informasi yang didapat, pada April 1942, Sultan Pontianak Syarif Muhammad Alkadrie mengundang seluruh kepala swaparja, dalam hal ini Sultan dan Panembahan di seluruh Kalimantan Barat ke Keraton Kadriyah yang membahas mengenai kondisi terkini kehidupan masyarakat. Mereka berkesimpulan bahwa satu-satunya cara untuk mengakhiri penderitaan rakyat adalah dengan mengusir Jepang.
Baca Juga: Peristiwa Mangkuk Merah 1967
Untuk meredam perlawanan tersebut, pihak Jepang kemudian mendirikan Nissinkai, semacam organisasi politik yang legal untuk menyalurkan ide-ide politis yang tentu saja harus sejalan dengan kepentingan Jepang. Namun, di dalamnya justru berhimpum orang-orang yang mengidamkan kebebasan. Dengan bergabungnya beberapa tokoh Politik Nissinkai di dalam barisan perjuangan masyarakat Pontianak membuat perlawanan semakin kian nyata.
Namun, gerakan ini bersifat rahasia sehingga tidak diketahui secara pasti siapa saja anggota kelompok perlawanan tersebut. Hingga akhirnya terjadi peristiwa pemberontakan di Kalimantan Selatan yang membuat 25 pemimpin pemberontakan dihukum mati, termasuk Mantan Gubernur Borneo pada masa Belanda, Dr. Bauke Jan Haga dan ditambah 250 orang-orang Belanda.
Pemberontakan di Kalimantan Selatan menjadi kekhawatiran Jepang terhadap Kalimantan Barat. Untuk itu, Jepang mulai melakukan langkah-langkah pencegahan. Pada 23 Oktober 1943, gelombang penangkapan dimulai dengan menahan penguasa swapraja, tokoh masyarakat, dan kaum cerdik pandai. Mereka semua ditahan di markas Tokkeitai, beberapa dari mereka tak pernah kembali. Selanjutnya, pada 24 Mei 1944, konferensi Nissinkai di Pontianak berubah jadi ajang penangkapan akbar. Seluruh peserta yang hadir ditangkap, yang lainnya diciduk di rumah masing-masing pada dini hari.
1 Juli 1944, koran Borneo Shinbun mewartakan dengan judul besarnya “Komplotan Besar yang Mendurhaka untuk Melawan Dai Nippon Sudah Dibongkar Sampai ke Akar-akarnya” yang menandakan bahwa Jepang telah melaksanakan aksi penangkapan dan menghukum mati mereka yang diduga melawan, dari kurun waktu 23 Oktober 1943 hingga 28 Juni 1944. Peristiwa inilah yang kita kenal sebagai Peristiwa Mandor Berdarah. Peristiwa tanggal 28 Juni 1944 bukanlah akhir dari pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan Jepang. Berdasarkan catatan-catatan sejarah, tanggal 28 Juni 1944, hanyalah suatu puncak gelombang pembunuhan yang setelahnya terus terjadi hingga mereka bertekuk lutut di hadapan sekutu.
Inilah bukti dari kekejaman penjajahan Jepang di tanah Kalimantan Barat. Isu bahwa banyak masyarakat yang ingin memberontak dan membentuk Republik Rakyat Borneo Barat hanyalah rekayasa yang dibuat oleh pihak Jepang. Pasalnya, sejak zaman penjajahan Belanda pun tidak ada partai atau organisasi serupa yang terbentuk di Kalimantan Barat. Seorang perwira NEFIS Belanda pasca kemerdekaan yang datang ke Kalimantan Barat untuk meneliti peristiwa ini, Kapten J.N, Heijbroek mengungkapkan; selain karena faktor kecurigaan terhadap adanya potensi perlawanan rakyat, Jepang juga bermaksud untuk membunuh orang-orang penting dan mereka yang memiliki otoritas politik, keunggulan ekonomi, dan terpelajar sebagai hal yang sama dilakukan Jepang di Korea dan Manchuria. Di tempat itu orang-orang dengan strata sosial atas juga dimusnahkan sehingga strata di sosial di bawahnya dapat di kontrol langsung oleh Jepang.
Oleh karena itu, Peristiwa Mandor Berdarah ini dapat dijadikan sebuah pelajaran bagi kita semua bahwa Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang pantang menyerah dan tidak mudah untuk ditumbangkan. Bersama-sama masyarakat dari berbagai daerah berjuang untuk merebut kemerdekaan Indonesia sehingga dapat terbebas dari penjajahan bangsa asing.
Dampak Peristiwa Mandor Berdarah
Operasi Pembantaian yang dilakukan Jepang sepanjang bulan Oktober 1943 hingga bulan Juni 1944 menghasilkan dampak luar biasa bagi tatanan kehidupan rakyat. Banyak kaum cerdik pandai yang habis dibantai pada peristiwa tersebut. Dari kalangan tenaga kesehatan antara lain: dr. Roebini dan dr. R.M Agoesdjam (Kepala dan Pegawai RS Umum Pontianak), dr. Soenarjo Martowardjojo (Kepala RS Jiwa Pontianak), dr. Luhulima (RS Umum Singkawang), dr. Raden Mas Achmad Diponegoro dan dr. R. Sunarjo Martowardoyo (Kepala dan Pegawai RS Umum Putussibau). Selain tenaga kesehatan, Jepang juga membunuh beberapa tokoh yang dikenal sebagai ahli/pekerja professional seperti Raden Sukrisno dan Sawon Wongso Oetomo (Jaksa), Raden Mas Soedijono (Operator Radio), Oeray Abdul Hamid (Pengawas Sekolah), dan Lim Bak Hwat (Kepala Sekolah Tionghoa).
Peristiwa Mandor Berdarah ini juga berhasil mengguncang 12 kesultanan Melayu di Kalimantan Barat. Jepang menuduh mereka semua sebagai pihak yang terlibat dalam upaya pemberontakan sehingga Jepang memasukkan nama mereka ke dalam daftar orang-orang yang harus dibunuh. Akibat peristiwa itu, sebanyak dua belas kesultanan Melayu di Kalimantan Barat mengalami keguncangan bahkan ada juga yang berakhir karena Sultan dan Panembahan mereka telah dipancung Jepang. Seperti Kesultanan Pontianak dan Sambas yang karena hal ini mengalami kekosongan jabatan sultan hingga baru terisi pasca kemerdekaan Indonesia.
Monumen Peringatan
Untuk mengenang masyarakat yang gugur disaat Peristiwa Mandor Berdarah, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, melalui Gubernur Daerah Tingkat I meresmikan sebuah monumen bersejarah berupa kompleks makam korban pembantaian Jepang. Monumen ini diresmikan di Mandor pada tanggal 28 Juni 1977 oleh Gubernur pada saat itu, Kadarusno. Pintu masuk kompleks makam adalah sebuah gapura yang bertuliskan “Kupersembahkan Makam Juang bagimu untuk mengenang jasa dari pengorbananmu dalam menentang penjajahan di Kalimantan Barat tahun 1942-1945”
Selain makam, di dalam kompleks tersebut terdapat sebuah diorama yang menggambarkan peristiwa Mandor. Diorama ini dibangun di sebuah tembok yang memanjang secara horizontal. Tembok diorama tersebut dipisahkan oleh sebuah monumen yang di tengahnya terdapat lambang Burung Garuda. Kemudian, dalam Situs Makam Juang Mandor juga berisi foto-foto para korban, termasuk Sultan Pontianak ke-6, Syarif Muhammad Alkadrie.
Penulis: Rio Pratama, Guru Sejarah SMAN 1 Pontianak
Diolah dari berbagai sumber