Oleh Amatul Noor
Minggu lalu saya bersama dua orang teman mampir ke salah satu masjid yang cukup ikonik di Jakarta. Kami datang sewaktu Azan Maghrib, niatnya memang ingin mampir untuk salat, sembari mengejak kedua teman yang belum pernah mengujungi masjid besar itu.
Saat di gerbang masuk, satpam yang sedang bertugas bertanya secara langsung pada saya, Mba muslim, mau salat maghrib ya? tanyanya penuh penekanan. Sempat merasa bingung, kenapa satpam itu mesti bertanya demikian, padahal jelas sekali saya menggunakan jilbab. Tanpa pikir panjang, aku langsung menjawab “iya”, lagi pula azan sudah berkumandang, toh memang aku berniat ingin salat di masjid tersebut.
Langkah pertama kami memasuki perkarangan masjid, temanku sudah lebih dulu mengucapkan kekaguman dia terhadap keindahan arsitektur yang disuguhkan masjid terbesar di jakarta itu. Namun perjalanan kami menuju dalam masjid terhambat tepat di depan pintu masuk.
Lagi-lagi kami harus berhadapan dengan satpam yang melemparkan pertanyaan serupa seperti satpam di gerbang tadi. “Mba muslim, ingin salat maghrib ya?” tanyanya seperti sedang meragukan kami. Karena dia menatapku, tentu dengan sigap aku menjawab “iya”.
Merasa tidak puas dengan jawabanku, dia melanjutkan pertanyaanya “temannya muslim juga nggak mba?” tanya satpam yang sedang bertugas itu. Sempat kaget dengan pertanyaan itu, namun aku langsung menjawab “bukan pak”.
Rupanya pertanyaan ini bermuara dari pakaian yang digunakan kedua teman saya, memang mereka tidak menggunakan jilbab dan juga bukan muslim, ya walaupun yang satu di KTP bertuliskan islam dan yang satu Hindu karena memang negara belum mampu memfasilitasi kolom agama selain dari 6 agama yang diakui.
Satpam itu langsung menunjukan wajah yang tidak bersahabat sembari menjelaskan bahwa non islam tidak diperkenankan masuk ke dalam masjid. Baiklah aku tidak akan membahas perdebatan terkait perempuan non islam boleh atau tidak masuk masjid. Hanya saja saat meminta aturan tertulis terkait aturan penggunaan pakaian saat masuk ke dalam masjid, satpam itu tidak dapat menunjukan aturan tertulisnya.
Ia bersikeras merujuk pada etika memasuki masjid, katanya perempuan harus menggunakan jilbab untuk masuk ke dalam masjid yang tidak lain adalah rumah ibadah.
“Silakan mba cek saja di email, di sana tertulis peraturan kami,” mungkin maksudnya internet.
Tanpa berbasa-basi saya langsung cek internet untuk melihat aturan tertulis soal pakaian perempuan, rupanya aturan tersebut berlaku sejak 2016 lalu. Namun bukan peraturan yang tertulis, hanya saja sebuah kesepakatan antara pengurus yang tidak memperbolehkan non muslim dan wanita tidak berkerudung untuk masuk ke dalam masjid.
Enggan berlama-lama berdebat dengan satpam itu, akhirnya saya memutuskan untuk tidak salat di masjid itu. “Baik pak terimakasih, kalau begitu saya cari masjid lain saja pak”, tuturku karena merasa masjid tersebut tidak memiliki ruang yang nyaman untuk perempuan.
Dalam perjalanan menuju masjid lain, saya berfikir panjang soal kejadian tadi. Tentu saja, ini pertama kalinya saya ditanya hendak apa dan beragama apa ketika masuk masjid. Memang sebelumnya saya sering mendengar teman-teman yang tidak menggunakan jilbab tidak punya akses bebas untuk salat di masjid. Mereka pun akhirnya pasrah saja karena merasa tidak menutup aurat maka tidak layak untuk salat di masjid.
Sepanjang perjalanan pulang, saya berfikir panjang, apakah jika saya tidak menggunakan jilbab, akan sesulit itu untuk melaksanakan ibadah di rumah ibadah? Pun saya berfikir, betapa sedih sekali hati teman-teman saya yang tidak menggunakan jilbab, ia tidak memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk ibadah di masjid dengan bebas tanpa takut ditolak atau diusir.
Padahal jilbab bukanlah identitas keagamaan, memang betul dalam islam dianjurkan bagi perempuan untuk menutup aurat, namun tidak disebutkan secara pesifik bahwa harus menggunakan jilbab.
Kejadian di pagar masjid kembali teringat oleh saya, saat itu kami berpapasan dengan bapak-bapak yang juga hendak masuk masjid, ya saya tentu berfikir dia hendak salat. Namun naasnya, dia sama sekali tidak dicurigai atau ditanya islam atau tidak, punya kepentingan apa dia ke masjid, berbeda ketika saya hendak masuk masjid.
Baca juga : Beauty Privilege, Media dan Insecurity
Tentu saya merasa kecewa dengan kejadian itu, merasa seakan tidak memiliki ruang di masjid. Ditambah lagi kenyataan yang sering kali terbatasnya ruang salat untuk perempuan. Saya perhatikan, perempuan akan selalu berada di sudut pojok masjid yang hanyaa dibatasi kain seadanya.
Teringat oleh saya ketika di kampus, masjid yang luasnya bisa menampung 500 orang itu hanya menyediakan sudut kecil sebagai ruang salat perempuan. Alhasil, kami harus mengantri untuk salat, sedangkan ruang salat laki-laki begitu luas bahkan kosong tidak terpakai.
Ruang ibadah perempuan dalam kungkungan subordinat setelah laki-laki
Sungguh dramatis hari itu perasaan saya, kecewa, marah dan kesal begitu terasa. Akhirnya saya memutuskan untuk pulang. Menggunakan layanan ojek online, saya melihat terdapat sajadah pada dashboard mobil sang driver. Seperti biasa, saya akan ngobrol banyak hal dengan driver, iseng bertanya “bapak tadi salat di masjid?”, kebetulan saya naik mobilnya tepat di depan masjid yang tadi.
Kemudian driver itu bercerita, “tidak mba, tadi saya salat di mobil saja” katanya. Saya tanya lagi, “bapak asli sini, sering salat di masjid putih itu tidak?” tanya saya melanjutkan obrolan. Rupanya si bapak adalah warga asli yang memang tinggal di dekat masjid dan selalu salat di sana. Nah kebetulan sekali, maka saya coba untuk mengajaknya berbicara soal aturan masjid itu.
Dengan rasa penasaran, saya melanjutkan obrolan “apakah bapak pernah ditanya ‘Islam atau tidak’ ketika masuk masjid? tanya saya dengan penuh rasa cemas untuk jawabannya.
Tentu saja saya tidak akan mendengarkan cerita yang sama seperti teman perempuan saya, atau seperti yang barusan saya alami. Driver itu bercerita bahwa ia tidak sekalipun pernah ditanya ketika masuk masjid, pun dengan para jamaah yang hendak salat jumat. Haha saya tiba-tiba saja merasa tergelitik, ini lucu sekali, seperti sedang menonton komedi secara langung.
Kemudian driver itu sedikit menasehati saya, “ke masjid harus menggunakan pakaian yang sopan mba, teman mbanya ga pakai jilbab, makanya dilarang”, tegas dia. Lalu saya membalikan cerita, “bagaimana jika saya muslim tapi tidak menggunakan jilbab pak?”, tanya saya lagi. Bapak itu terus saya mengatakan bahwa tidak ada tempat untuk perempuan di ruang ibadah jika tidak menggunakan jilbab. “Tetap saja mba, meski mbanya Islam, tetap harus menggunakan jilbab jika ingin salat di masjid”, lanjutnya dengan penuh penekanan.
Masih terus bertanya-tanya, bukankah jika jilbab dijadikan identitas keagamaan bagi perempuan, mengapa peci dan baju koko tidak menjadi identitas kegamaan bagi laki-laki?
Mengapa tidak juga ditanyakan soal agamanya, jika laki-laki masuk ke dalam masjid hanya menggunakan baju kaos oblong, tidak pernah kita mendengar aturan mempermasalahkan kesopanan dan etika dalam berpakaian? Mengapa segala aturan seakan hanya menjadi milik perempuan? dengan alibi yang sangat tidak logis.
Narasi sejarah dalam seksisme
Masih dalam kondisi yang emosi, saya teringah seorang Sufi perempuan Rabiah Al Adawiyah dalam perjalanannya menuju Mekkah. Ia berjalan sejauh ratusan kilometer demi bertemu sang kekasih di tanah suci. Namun setibanya di Mekka, ia justru tidak dapat memasuki masjid karena sedang menstruasi.
Dalam buku yang saya baca, meskipun masih berupa anekdot, dinarasikan bawah Rabiah ditolak sang kekasih untuk masuk ke dalam bangunan suci itu karena ia membawa najis pada tubuhnya. Betapa terpukul dan kecewanya rabiah, ia bahkan merasa mengapa tidak dapat seperti laki-laki yang memiliki waktu kapan saja untuk bercengkaram dengan Tuhan.
Sejenak merenungi ingatan itu, saya sempat berfikir mengapa Tuhan bisa seegois itu kepada makhluknya. Bukankah Dia adalah Tuhan semesta alam, yang merajai segalanya, artinya siapa saja berhak menyembah padaNya tanpa terkecuali. Baiklah saya berusaha merunut sejarah yang dialami Rabiah, kala itu belum ada pembalut yang dapat menampung darah haid secara maksimal, sehingga dikhawatirkan akan mengotori masjid.
Pun begitu dengan zaman nabi, namun berbeda dengan jaman sekarang. Pembalut sudah tersedia dengan kecanggihannya yang mampu menampung darah haid sehingga 0% kemungkinan akan bocor. Artinya, bukankah seharusnya perempuan juga memiliki tempat yang sama dengan laki-laki, benar ia tidak bisa salat tapi bukan berarti perempuan tidak dapat masuk masjid untuk sekedar dzikir atau berdoa bukan?
Kesetaraan oleh Nabi SAW
Pandangan seperti ini membawa saya pada pemikiran, mengapa sangat sulit bagi perempuan muslim untuk mendapatkan hak beribadah di rumah ibadah, bukankah dalam hadist disebutkan “Dan janganlah kalian menghalangi istri-istri kalian untuk ke masjid. Jika mereka meminta ijin pada kalian maka ijinkanlah,” riwayat Muslim.
Jelas sekali hadist itu menunjukan bahwa tidak seorang pun termasuk suami dapat menghalangi perempuan untuk ke masjid, jelas hadist ini sudah menempatkan perempuan pada kesetaraan dengan laki-laki. Namun mengapa masih saja tidak sulit menemukan ruang terbatas bagi perempuan saat di ruang salat?