Perempuan Dalam Penjara Stigma

Kabar Puan, Opini165 Views

Gerakan feminis pada umumnya bukan bertujuan untuk mengungguli atau melakukan dominasi pada kaum laki-laki, inti dari gerakan ini adalah penghapusan kekerasan dan diskriminasi pada kaum perempuan. Tujuan feminis adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan dan derajat lakilaki sehingga perempuan memiliki peluang yang sama dengan laki-laki dan tidak lagi terjadi penindasan pada perempuan.

Feminisme sebagai gerakan sosial mempunyai tujuan kesetaraan gender. Gender menjadi alat analisis yang penting untuk melihat posisi dalam struktur sosial di masyarakat. Gender dalam hal ini mencakup ekspresi, identitas dan peran. Mengapa analisis gender dalam gerakan sosial feminis begitu penting? Karena identifikasi gender berguna untuk menentukan peran di masyarakat. Peran-peran ini ada membentuk struktur untuk melanggengkan kekuasaan.

Hal yang harus diutamakan dalam feminisme adalah sifatnya yang non-kompetitif, artinya bukan persaingan melainkan kolaborasi dalam sebuah masyarakat yang adil gender. Miskonsepsi yang sering dituduhkan terhadap feminisme adalah upaya untuk membuat laki-laki sebagai musuh untuk dikalahkan. Feminisme tidak bekerja dalam kerangka persaingan, karena yang menjadi tujuan feminisme adalah perempuan, laki-laki, dan gender lainnya hidup berdampingan dengan adil dan setara.

Stigma yang dilekatkan pada perempuan tidak terlepas dari perspektif gender yang berkembang di dalam masyarakat. Setiap budaya memiliki cara pandang yang berbeda, tetapi secara umum terutama di Timur (dalam budaya Timur) masyarakat menempatkan perempuan pada posisi yang saling bertentangan. Pada satu sisi perempuan paling dihormati dan disanjung, namun disisi lain mereka juga diletakan pada posisi terbawah terutama yang berhubungan dengan peran di ranah publik. Mereka dianggap bias dalam mengambil keputusan karena dinilai tidak dapat menggunakan logikanya dengan baik.

Perempuan dinilai terlalu banyak dipengaruhi oleh emosionalnya dari pada logika (stigma sosial), sehingga cenderung diabaikan atau tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Stigma adalah fenomena yang sangat kuat terjadi di masyarakat dan terkait erat dengan nilai yang ditempatkan pada beragam identitas sosial yang sifatnya lebih negatif.

Dengan kata lain, stigma adalah suatu ciri negatif yang menempel pada diri seseorang karena pengaruh lingkungan. Adapun stigma sosial adalah pelabelan negatif yang diberikan pada seseorang oleh masyarakat dikarenakan pengalaman atau peristiwa yang dialaminya.

Baca juga : Beauty Privilege, Media dan Insecurity

Saat ini banyak stigma untuk perempuan masih melekat, peran perempuan dalam masyarakat dianggap masih kurang,budaya Patriaki cenderung memposisikan laki-laki sebagai yang  gagah dan cenderung memiliki keleluasaan untuk melakukan apapun terhadap  perempuan.

Apabila terjadi pelecehan seksual,cat calling atau atau pemerkosaan yang menyebabkan korban trauma dan takut selalu perempauan yang diasalahkan entah karena perempuan tersebut dituduh menggoda tau pakaian wanita tersebut yang terbuka atau perempuan tersebut dianggap kegeeran hal tersebut terkadang membuat korban merasa takut untuk melaporkan kejadian yang korban alami.

Upaya Memutus Stigma Aquarini Priyatna, feminis asal Indonesia menyebut stereotip seksis pada prinsipnya dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Pada perempuan, stigmanya adalah peran di ranah privat dan posisi subordinatnya dari laki-laki. Pada laki-laki, stereotipnya pada peran di ranah publik dan peran yang dominan.

Jadi, ketika perempuan berhenti bekerja agar bisa penuh waktu merawat anaknya akan mendapat pujian sebagai “ibu yang baik”. Sementara bapak yang memutuskan berhenti bekerja agar dapat menjaga anaknya di rumah akan mendapat cemooh sebagai “bukan laki-laki sejati” atau “suami takut istri”.

Dominasi laki-laki atas perempuan memang menyebalkan. Tapi, perempuan yang nyinyir dengan kehidupan perempuan lain pun tak kalah menyebalkan. Ada seorang ibu rumah tangga yang menyerang seorang ibu yang bekerja. Ada pula ibu yang bekerja menyerang ibu rumah tangga. Padahal, semua hanya soal pilihan. Setiap orang berhak memilih jalan hidupnya dan sebagai sesama perempuan seharusnya saling mendukung, bukan malah merundung.

Kebiasaan saling menyerang ini tidak muncul begitu saja. Ada satu akar yang menumbuhkan sikap, buah dari kebencian ini. Salah satu penguat akar tersebut adalah stigma. Stigma-stigma yang melekat dalam diri perempuan sebenarnya sangat tidak rasional.

Pertama, stigma bahwa perempuan karir tidak akan becus mengurus anaknya. Stigma ini melekat hingga saat ini, zaman di mana sudah ada banyak pekerjaan yang bisa dikerjakan dari dalam rumah, tanpa perlu bolak-balik kantor selama lima atau enam hari dalam seminggu dari pagi hingga sore bahkan malam hari. Perempuan bisa membagi waktunya sebagai ibu rumah tangga dan menjadi pekerja di dalam rumah. Zaman sudah bergerak, stigma semacam ini seharusnya sudah tak relevan.

Miskonsepsi kodrat mengenai peran perempuan sebagai ibu pun berlanjut pada keyakinan kedua bahwa ibu memerlukan anak-anaknya. Hal ini berdasarkan keyakinan bahwa secara kodrati, perempuan dilahirkan dengan naluri keibuan mereka, padahal pendapat bahwa apa yang disebut naluri ibu sebenarnya tidak ada.

Kemampuan perempuan seputar cara menyusui atau merawat anak yang sakit bukan berdasarkan naluri ibu yang mereka miliki, tetapi justru karena mereka mengobservasi dan mempelajari apa yang mereka lihat dari anggota keluarga mereka sendiri. Naluri ibu itu muncul karena pengalaman dan rutinitas yang ada, sama halnya dengan yang kita rasakan ketika sudah lama bekerja di suatu bidang tertentu.

Secara naluriah, ketika ada suatu kendala menerjang, kita akan bekerja dan bertindak sesuai dengan pengalaman dan rutinitas yang sudah kita kerjakan berulang kali tanpa diselimuti rasa panik berlebihan.

Kedua, stigma bahwa istri dengan gaji lebih besar atau karir lebih tinggi ketimbang suaminya akan membuat rumah tangga hancur berantakan. Ada satu hal yang luput di sini: kerjasama. Kesetaraan harus diimplementasikan dalam sebuah relasi atau hubungan. Jika ikatan pernikahan hanya dilandasi dominasi, setiap hal sudah pasti tak beres lantaran disisipi rasa takut. Hubungan yang baik harus berlandaskan kerjasama, bukan rasa takut.

Ketiga, stigma bahwa perempuan yang terlalu pintar akan dihindari laki-laki. Tidak ada ukuran pasti dari istilah “terlalu pintar”. Perempuan pintar tidak perlu bersusah payah mencari laki-laki yang lebih pintar. Menjadi teman hidup adalah soal melengkapi, bukan saling merebut kendali. Kecocokan jadi ukuran, bukan kepintaran.

Tiga stigma yang disebutkan adalah sebagian kecil dari banyak stigma yang melekat dalam diri perempuan. Ketidakadilan yang dialami perempuan karena konstruksi sosial, budaya dan agama sangat bisa diubah menjadi kekuatan. Kekuatan untuk membuktikan pada dunia, perempuan bukan makhluk yang lemah, bukan sekadar objek bagi laki-laki, bukan pula tidak sejajar dengan laki-laki. Baik laki-laki dan perempuan, keduanya sama-sama manusia. Tak ada yang membedakan kecuali kualitas diri masing-masing.

Zaman bergerak. Segala sesuatu semakin canggih. Kini, tugas perempuan bukan hanya menghilangkan dominasi laki-laki. Lebih berat ketimbang itu, perempuan mesti mengatur strategi menghadapi zaman baru, berpikir jauh ke depan, dan melakukan tindakan nyata. Salah satunya adalah dengan mewujudkan cita-cita dan membuang jauh semua stigma. Menjadi bagian dari pertumbuhan peradaban di dunia.

 

Penulis : Amatul Noor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *