Perbedaan Bukan Alasan untuk Memantik Permusuhan

Kabar Utama98 Views

Kabar Damai I Senin, 28 Juni 2021

Jakarta I kabardamai.id I Pelaksana tugas Sekretaris Utama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Dr. Drs. Karjono, S.H., M. Hum menjelaskan contoh paling mudah untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila sebagai way of life adalah dengan cara memaknai perbedaan, keberagaman bukan untuk alasan memantik permusuhan.

“Perbedaan justru sebuah kekuatan, bukan penghalang”, tegasnya saat menjadi narasumber pada kegiatan Obrolan Peneliti (Opini) secar daring dikutip dari antaranews.com Jum’at, 25 Juni 2021.

Opini adalah wadah publikasi para peneliti di Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Hukum dan HAM (Balitbangkumham) agar bisa diimplementasikan  masyarakat. Bulan ini, diskusi bertemakan ‘Pancasila Sebagai Way of Life: antara Teks dan Konteks’.

Hadir sebagai pembicara antara lain, Plt. Sestama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Karjono, Kepala Balitbangkumham Sri Puguh Budi Utami, Sekjen Kemenkominfo Mira Thayiba, Anggota Komisi III DPR M Nurdin, dan peneliti muda Horison Citrawan.

Karjono  menjelaskan sesuatu perbedaan jika akan dipaksakan untuk menjadi sama justru tidak akan menjadi baik.

Baca Juga: BPIP: Perbedaan adalah Keindahan dan Sebuah Keniscayaan

“Contohnya pakai sandal, kalau keduanya sama kanan kan tidak akan enak”, tegasnya.

Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan ahli utama di BPIP itu juga menjelaskan Pancasila sebagai way of life adalah dengan menghormati antar agama, karena proses lahirnya Pancasila juga banyak melibatkan tokoh agama.

“Proses perjalanan lahirnya Pancasila telah melibatkan banyak tokoh agama seperti dari Muhammadiyah, Nahdatul Ulama dan agama lainnya”, jelasnya.

Dalam kesempatan yanga sama Kepala Balitbangkumham Sri Puguh Budi Utami mengaku khawatir dengan generasi muda yang tidak hafal dengan ideologi negara itu dan kurangnya rasa nasionalismenya.

“Banyak video viral anak-anak yang disodorkan wajah-wajah artis, tapi kalau foto-foto pahlawan mereka tidak hafal”, ungkapnya.

Ia juga mengaku harus ada strategi yang harus dilakukan secara terus-menerus, sehingga diharapkan pembumian nilai Pancasila dapat tersampaikan kepada masyarakat, khususnya anak-anak generasi bangsa.

“Ini kesempatan kita untuk membumikan nilai Pancasila, tidak hanya dimaknai tapi harus diimplementasikan dengan baik”, tandasnya.

Peneliti Muda Harison Citrawan mengatakan agar mudah dirasakan masyarakat, Pancasila tidak hanya dalam tapi harus termanifestasikan dalam bentuk konkret. Menurut dia kurikulum atau bahan ajar Pancasila dari mulai PAUD sampai dengan Perguruan Tinggi memang penting untuk membentuk manusia yang Pancasilais.

“Yang tidak kalah penting adalah praktek dari material atau ekosistem yang terbentuk harus Pancasilais”, terangnya.

Anak Muda Lupa Pahlawan, Saatnya Pancasila Dibumikan

Dalam kesempatan yang sama, para naras umber juga menyinggung keberadaan anak muda saat ini. Menurut mereka anak muda atau sering kali disebut milenial saat ini banyak tak hafal Pancasila. Sehingga butuh strategi kontinyu agar Pancasila tak hanya dipahami, tapi bisa diimplementasikan sehari-hari.

Dalam sambutannya, Sri Puguh Utami mengomentari sejumlah video yang sempat viral. Dalam video itu, diperlihatkan anak-anak yang begitu hafal wajah-wajah artis, namun lupa saat disodorkan foto wajah pahlawan. Ada juga yang tak hafal sila dalam Pancasila.

“Ini kesempatan bagi kita membumikan  nilai Pancasila. Tidak hanya dimaknai, tapi diimplementasikan baik. Perlu strategi yang harus dilakukan terus menerus seperti kegiatan hari ini,” kata Utami, dikutip dari Republika (26/6).

Karjono menambahkan, Pancasila sebagai way of life adalah dengan menghormati antar agama. Lantaran proses lahirnya Pancasila juga banyak melibatkan tokoh agama. Seperti dari Muhammadiyah misalnya; Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, Abdul Kahar Muzakirm. Sementara dari Nahdlatul Ulama ada KH Wahid Hasyim. Juga ada perwakikan dari agama lain.

Adapun Horison Citrawan mengatakan, agar mudah dirasakan masyarakat, Pancasila tidak hanya dalam tapi harus termanifestasikan dalam bentuk konkret. Menurut dia, kurikulum atau bahan ajar Pancasila dari PAUD sampai Perguruan Tinggi memang penting untuk membentuk manusia Pancasilais. Tapi tak kalah penting adalah praktik material atau ekosistem yang terbentuk harus Pancasilais.

Kalangan Milenial Perlu Keteladanan

Sementara itu, Ketuya Umum PP Muhammadiya Haedar Nashir mengatakan bahwa pembudayaan Pancasila bagi generasi milenial membutuhkan keteladanan.

“Nilai-nilai budaya, agama, Pancasila semestinya menjadi nilai-nilai yang dapat mereka serap secara utuh sebagai sesuatu yang meaningfull,” ulasnya, dikutip dari suaramuhammadiyah.id (5/4).

Perlu digali bagaimana milenial memberi makna atas kehidupan kebangsaan kita. Salah satu poin penting dalam pembumian nilai adalah keteladanan. Perbuatan nyata lebih sahih daripada ucapan dan teori.

“Ketika bicara Pancasila semestinya ada qudwah, uswah, keteladanan,” tutur Haedar.

Jika para generasi yang lebih tua tidak menjadi teladan dalam berbangsa dan bernegara, maka generasi milenial juga tidak punya dorongan untuk membumikan Pancasila.

“Pelembagaan Pancasila itu harus dimulai pada institusi negara dan para elite negara. Contoh pembumian Pancasila semestinya ada pada lembaga negara,” tandasnya.

Jika para elite di semua level lembaga negara mampu menunjukkan cara hidup yang sesuai nilai-nilai Pancasila, maka masyarakat atau milenial juga akan mengikuti.

Haedar berharap BPIP mampu mewujudkan visi luhur itu. BPIP menjadi fasilitator dalam menjadikan Pancasila dari sila ketuhanan sampai sila keadilan menjadi hidup di tataran elite dan warga bangsa. BPIP perlu menjadi penyaring atas kebijakan-kebijakan negara agar sejalan dengan nilai-nilai luhur.

“Dalam membumikan Pancasila harus dengan hikmat kebijaksanaan,” ujarnya. Nilai-nilai Pancasila diharapkan membangun alam pikiran supaya akil baliq dalam menghadapi kehidupan. Nilai-nilai itu diharap menjadi pandangan hidup yang melakat dan jujur. “Semuanya perlu jujur untuk berpancasila.”

Haedar menyebut bahwa Pancasila perlu dijelaskan dalam narasi yang aktual pada milenial.

“Mereka cinta perubahan dan anti kemapanan, tetapi tetap membutuhkan pegangan.”

Tugas orang tua itu menjadi pemandu tanpa harus berpura-pura atau dibuat-buat berperilaku seperti mereka.

“Tugas orang tua adalah berbagi dengan mereka tentang dunia, tentang kehidupan, tentang Pancasila, tentang berbangsa dan bernegara,” kata Haedar. [bpip/suaramuhammadiyah]

 

Penyunting: Ahmad Nurcholish

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *