Oleh Siti Hannah Alaydrus
Dalam prosesnya, kehidupan punya seribu cara membentuk diri kita dari yang tak tahu apa-apa menjadi lebih tahu, memberikan bumbu-bumbu yang beragam mulai dari hal sederhana hingga kompleks. Salah satu bumbu kehidupan yang menurut penulis punya segmentasi unik untuk dibahas adalah menyoal menjadi biasa-biasa saja dan bukan siapa-siapa.
Lebih populer, dikenal dengan istilah medioker. Berdasarkan pengertian di Urban Dictionary, mediocre merupakan sebuah bentuk yang tidak bagus, dan juga tidak buruk, sering digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang rata-rata. Kata ini kemudian diserap dalam bahasa Indonesia yang memiliki arti menengah, rata-rata dan berkembang menjadi sebuah istilah dengan cerminan konotasi negatif karena mengandung pengertian “Biasa-biasa saja”. Ya, menjadi seseorang yang luput dari jangkauan pujian dan tepukan sorak kagum orang-orang lain di sekitarnya.
Bagi penulis, orang-orang biasa yang bukan siapa-siapa ini punya populasi tinggi, tak hanya di masyarakat, namun juga dunia. Orang-orang yang hanya dikenal sebagai manusia yang bernama, hidup secara wajar layaknya manusia hidup. Punya sisi baik dan buruk yang kadang seimbang atau berat sebelah. Orang-orang biasa yang hidupnya bergerak di balik layar kehidupan manusia populer lainnya di bumi ini. Pertanyaannya, di tengah kompleks dan meningkatnya tuntutan kehidupan serta hubungan satu manusia dengan manusia lainnya, apakah hidup dengan keadaan rata-rata menjadi sebuah indikator atas ketidakmampuan untuk peningkatan diri dan kegagalan untuk berusaha lebih? Jikapun iya, apakah keadaan ini menjadi sesuatu yang buruk bahkan salah?
Kita Semua Cukup Rata-Rata dalam Banyak Hal
Mark Manson dalam tulisannya yang bertajuk Is Defense of Being Average menyebutkan, segala sesuatu dalam hidup adalah trade-off. Beberapa dari kita dilahirkan dengan bakat tinggi untuk pembelajaran akademis. Yang lain dilahirkan dengan keterampilan fisik yang hebat. Lainnya atletis. Lainnya artistik. Dalam hal keterampilan dan bakat, manusia adalah kelompok makhluk yang sangat beragam. Tentu, apa yang akhirnya kita capai dalam hidup, pada akhirnya tergantung pada latihan dan usaha kita, tetapi kita semua dilahirkan dengan bakat dan potensi yang berbeda.
Kenyataannya, menurut penulis kita cukup rata-rata dalam banyak hal yang kita lakukan. Untuk menjadi benar-benar hebat dalam sesuatu, kita harus mendedikasikan waktu dan energi untuk itu. Dan karena kita semua memiliki waktu dan energi yang terbatas, hanya sedikit dari kita yang pernah menjadi benar-benar luar biasa di lebih dari satu hal, jikapun ada.
Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa ketidakmungkinan statistik setiap orang dapat menjadi pemain yang luar biasa di banyak bidang kehidupan. Kita semua, sebagian besar, adalah orang-orang yang cukup rata-rata. Kita semua secara intuitif mengetahui hal ini, tetapi kita jarang berpikir dan/atau membicarakannya. Sebagian besar dari kita tidak akan pernah benar-benar luar biasa dalam, yah, apa pun. Dan itu tidak apa-apa.
Tidak Semua Orang Ingin Jadi Bintang dan Pelari di Jalur Cepat
Menurut penulis, biasa-biasa saja bukan hanya ukuran kinerja, melainkan sikap dan pilihan hidup. Ini adalah pilihan untuk tidak melakukan, tidak mengambil risiko, tidak menemukan, tidak mencoba, tidak berusaha, tidak mencari dan tidak menemukan. Ketika memilih untuk menjadi biasa-biasa saja; tidak memberikan yang terbaik, tidak membagikan seluruh karunia dan bakat kita, memilih menghindari peluang untuk pertumbuhan dan perkembangan pribadi dan memilih menahan kontribusi potensial untuk dunia tempat kita hidup.
Kita tahu bahwa kita hidup di dunia yang saling berhubungan dan bergantung di mana pilihan, tindakan, atau kurangnya tindakan kita, berdampak pada orang-orang yang dikenal dan tidak dikenal dalam lingkup pengaruh kita. Ketika memilih menjadi biasa-biasa saja, kita memilih untuk tidak mengejar kepuasan kebutuhan tertinggi, seperti yang diidentifikasi oleh Abraham Maslow dalam penelitiannya tentang motivasi dan 5 Hirarki Kebutuhan Manusia, yang mana pada puncaknya terdapat kebutuhan akan aktualisasi diri pencapaian potensi penuh seseorang dan menjadi segala sesuatu yang seseorang mampu menjadi.
Menjadi Biasa Bukan Berarti Tidak Berusaha Menjadi Berguna
“Arete” adalah istilah yang penulis temui saat membaca sebuah karya filsafat, yang artinya mencapai keunggulan dan memenuhi potensi seseorang. Meskipun, itu belum tentu merupakan keunggulan yang dapat diukur secara lahiriah, relatif terhadap kinerja orang lain; itu adalah keunggulan yang dicapai dengan memenuhi potensi pribadi kita dan melakukan yang terbaik yang dapat kita lakukan.
Di mata penulis, menjadi “rata-rata” tidak berarti bahwa kita “biasa-biasa saja”. Biasa-biasa saja tidak ada hubungannya dengan kinerja “luar” kita. Tidak berarti, ketika kita biasa-biasa saja adalah bahwa kita tidak berusaha apa pun. Jika saya melihat seseorang berjuang untuk melakukan sesuatu dengan baik dan berhasil, saya tidak berpikir mereka biasa-biasa saja meski menurut saya yang dilakukan bisa lebih baik lagi, mereka mungkin rata-rata, tetapi fakta bahwa mereka bekerja dan berusaha dengan sungguh-sungguh, menempatkan mereka di atas orang yang biasa-biasa saja. Bahkan kondisi umumnya, jika beberapa di antara kita memiliki bakat alami untuk sesuatu, mungkin kita masih bisa menjadi biasa-biasa saja jika tidak berusaha menonjolkannya, semua kembali pada pilihan.
Mengenali Ambisi dan Mengambil Peran
Beberapa takut untuk menerima keadaan biasa-biasa saja karena percaya bahwa jika menerima menjadi biasa-biasa saja, maka kita tidak akan pernah mencapai apa pun, tidak pernah meningkat, dan bahwa hidup kita tidak berarti. Pemikiran dengan premis bahwa hidup hanya berharga jika benar-benar terkenal dan hebat, ini berbahaya.
Atau kepercayaan bahwa “Jika saya menerima bahwa saya rata-rata, maka saya tidak akan pernah mencapai sesuatu yang hebat. Saya tidak akan memiliki motivasi untuk meningkatkan diri atau melakukan sesuatu yang hebat. Bagaimana jika saya salah satu dari sedikit yang langka? ”
Ini juga kepercayaan yang salah arah. Orang-orang yang menjadi benar-benar luar biasa dalam sesuatu melakukannya bukan karena mereka percaya bahwa mereka luar biasa. Sebaliknya, mereka menjadi luar biasa karena mereka terobsesi dengan peningkatan. Dan obsesi terhadap peningkatan itu berasal dari pengakuan bahwa mereka, pada kenyataannya, sama sekali tidak hebat. Bahwa mereka biasa-biasa saja. Bahwa mereka rata-rata. Dan bahwa mereka bisa menjadi jauh lebih baik.
Inilah ironi besar tentang ambisi. Jika kita ingin menjadi lebih pintar dan sukses daripada orang lain, kita akan selalu merasa gagal. Jika kita ingin menjadi yang paling dicintai dan paling populer, maka kita akan selalu merasa sendirian. Jika kita ingin menjadi yang paling berkuasa dan dikagumi, maka kita akan selalu merasa lemah dan tidak berdaya. Hemat penulis, kita hanya perlu memahami bahwa untuk menjadi berguna, kita bisa melakoni peran-peran yang dekat dan sederhana. Bukan hanya peran-peran yang bombastis, berkilauan, dan berpanggung megah. Tanpa berbagai atribut, identitas, dan status, semua orang sejatinya hanyalah manusia biasa. Fakta sederhana itu seringkali tertutupi oleh obsesi tak realistis manusia untuk menjadi luar biasa dan sempurna.
Terlepas dari citra publiknya, ambisi adalah hal yang sangat pribadi. Apa pun yang dilakukan orang biasa biasa saja, maka, adalah untuk diri mereka sendiri. Mereka mungkin melakukannya hanya untuk kesenangan dan dengan logika itu, tidak terlalu terikat dengan hasilnya. Biasa-biasa saja adalah perayaan pilihan pribadi dan individualitas. Penerimaan keterbatasan yang diakui dapat membebaskan kita.
Tidak semua orang di bumi ini menyukai bunga, matahari dan kupu-kupu. Sebagian justru terkesima dengan gelap, bulan, serigala. Jadi entah kita kelak akan menjadi bagaimana, yang tak suka bisa banyak. Tapi yang mengagumi, ada saja. Ambil nafas dalam-dalam dan katakan: Saya biasa-biasa saja, dan itu tak apa. Karena pada akhirnya, mereka yang mampu pelan, tidak akan pernah tertinggal oleh kecepatan apapun, bahkan oleh “ingin” nya yang tergesa.
Siti Hannah Alaydrus, Mahasiswa Jurusan Manajemen Keuangan Syariah UIN SGD Bandung