Peran Laki-laki dalam Upaya Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan

Kabar Puan153 Views

Kabar Damai I Senin, 03 Januari 2021

Jakarta I kabardamai.id I Budaya patriarki cukup akut bersarang di negeri ini, tercatat beberapa kasus kekerasan terhadap perempuan masih tinggi dan kerap merangkak naik. Jenis kekerasan pada ranah komunitas mencapai 31% dari total kasus. Persentase 69% sebagai jenis kekerasan yang paling menonjol memang terjadi dalam KDRT dengan rincian kekerasan terhadap istri 60%, kekerasan dalam pacaran 24%, kekerasan terhadap anak perempuan 8% dan sisanya kekerasan oleh mantan suami, kekerasan mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.

Kekerasan yang terjadi kepada perempuan tidak hanya dalam lingkup relasi pasangan. Komnas Perempuan bahkan mengidentifikasi kekerasan terhadap perempuan ke dalam sebelas kategori. Kini perlindungan terhadap perempuan sedang diusahakan untuk dimaksimalkan.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, setuju bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan (dan anak) telah mencapai tahap darurat. Ditambah lagi, kasus seperti ini layaknya fenomena gunung es. Banyak kasus lain di berbagai daerah di Indonesia yang tak muncul ke permukaan.

Salah satu aktor pelaku kekerasan terhadap perempuan adalah lelaki, baik sebagai keluarga (orangtua, saudara, pasangan dan lain-lain), lingkungan sekitar, media bahkan negara sebagai pemangku kebijakan kerap mengeluarkan kebijakan yang berbau diskriminatif terhadap perempuan. Misalnya perihal batas usia minimal pernikahan yang tidak selaras denga UU Perlindungan Anak.

Anak menurut UU Perlindungan Anak adalah mereka yang masih berusia di bawah 18 tahun. Selain harus berhadapan dengan lingkungan yang cenderung diskriminatif, anak perempuan juga harus menghadapi peraturan yang diskriminatif. Contoh paling jelas adalah keberadaan Pasal 7 ayat (1) UU No. 1/1974 tentang Perkawinan.

Baca Juga: Bersama Mengenali Jenis Kekerasan Berbasis Gender Online

Pasal dalam UU tersebut menentukan bahwa batas usia kawin untuk perempuan adalah 16 tahun, sedangkan laki-laki pada usia 19. Namun, pengaturan dalam pasal tersebut, seolah dimentahkan oleh pasal selanjutnya. Perkawinan tetap bisa berlangsung bahkan pada anak perempuan berusia di bawah 16, atau di bawah 19 bagi laki-laki. Hal itu tampak pada Pasal 7 ayat (2) UU yang sama.

Masyarakat dengan budaya patriarki biasanya menyelaraskan antara gender dengan sex (jenis kelamin). Padahal dalam segi pengetian pun sudah jelas perbedaannya. Sex berarti jenis kelamin yang telah diturunkan sejak lahir dengan tanda alat kelamin serta organ reproduksi lainnya, yang fungsinya tidak bisa dirubah. Sedangkan gender ialah peran, kedudukan, serta tugas yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan jenis kelamin namun tidak bersifat tetap atau mutlak.

Masyarakat kerap mendefinisikan bahwa gender harus selaras dengan sex. Lelaki diharuskan maskulin, dan perempuan dituntut menjadi feminim. Lelaki berekspresi di ruang publik, dan perempuan mendapat bagian di ranah domestik. Lelaki rasional, sedangkan perempuan lebih mengedepankan perasaan. Lelaki kerap dianggap sebagai superior, sedangkan perempuan cukup diposisikan sebagai kelas dua. Semua anggapan tersebut ialalah ketidaktepatan dalam mendefinisikan gender.

Kekerasan bukan masalah perempuan. Beberapa penelitian mengenai KDRT kurun 25 tahun menunjukkan laki-laki dan perempuan memiliki kemungkinan untuk menjadi pelaku atau korban kekerasan. Prof. Murray Straurs menyatakan beberapa studi menunjukkan bahwa perempuan mungkin melakukan kekerasan terhadap laki-laki.

Selain itu, laki-laki lebih cenderung untuk tidak melaporkan kekerasan yang dialami, dan biasanya penegak hukum lebih mungkin untuk menangkap laki-laki dibandingkan perempuan dalam kasus domestik. Selama ini kampanye penghapusan KDRT lebih difokuskan kepada perempuan sehingga mereka lebih sadar akan masalah ini sebagai kejahatan, atau terbangunnya opini; pelaku KDRT laki-laki. Bagi laki-laki, kasus yang “tidak mungkin” dilaporkan ini menimbulkan beban psikologis tambahan.

Di Indonesia, konstruksi tidak adil gender dan konsep maskulinitas dalam budaya patriarkhi bukan hanya berdampak terhadap perempuan, tetapi juga kepada laki-laki. Harapan, didikan hingga paksaan agar seorang laki-laki kuat, gagah, berani, tidak cengeng, tidak menangis, mandiri dan lain-lain merupakan beban tersendiri bagi laki-laki sejak dari kecil dan hal tersebut sangat mempengaruhi tumbuh-kembang dan kehidupan mereka sehari-hari hingga dewasa. Sehingga jika ada lelaki ‘lembut’ maka ia terkena bully sebagai lelaki yang keperempuan-perempuanan atau diistilahkan sebagai banci. Kekerasan terjadi kepada lelaki.

Baru-baru ini, seorang pria melakukan aksi bunuh diri dengan meyiarkannya secara live di sosial media.  Pria tersebut mengaku tidak tahan akan rengekan anak dan istrinya, tetapi pada saat yang sama tak mampu berbuat apa-apa karena keterbatasan ekonomi. Tekanan ekonomi yang membebani laki-laki bukan berita baru. Lelaki, menurut peranan gendernya dalam masyarakat, dituntut menjadi seorang pemberi nafkah, pelindung dan pengayom. Jika tidak, maka ia akan menjadi bahan perbincangan masyarakat sebagai lelaki yang gagal. Kekerasan terjadi kepada lelaki.

Menurut laporan Badan Kesehatan Internasional (World Health Organization/WHO) berjudul “Preventing Suicide: A Global Imperative” yang dirilis pada tahun 2014, di negara-negara maju, laki-laki memiliki kemungkinan bunuh diri tiga kali lebih tinggi daripada perempuan. Sementara di negara berkembang, kecenderungannya turun menjadi setengahnya. Ini mengukuhkan fakta bahwa laki-laki memiliki kecenderungan bunuh diri lebih tinggi daripada perempuan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh organisasi The Samaritans di Inggris pada 2012 mengatakan bahwa kasus bunuh diri laki-laki paling sering terjadi pada usia paruh baya dan kecenderungannya sepuluh kali lebih besar pada laki-laki dengan status sosial ekonomi rendah. Laki-laki kondisi tersebut seringkali tidak memiliki pekerjaan atau tidak punya akses yang cukup terhadap pekerjaan tetap. Hal tersebut memicu rasa malu dan perasaan gagal karena mereka merasa kehilangan identitas maskulinitas mereka yaitu memiliki pekerjaan tetap dan kemampuan untuk menafkahi keluarganya.

Maka dari itu, lelaki harus terlibat dalam gerakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang secara tidak langsung menghapuskan kekerasan terhadap dirinya. Di awali dengan menghilangkan stereotype gender yang mengekang perempuan, yang juga secara tidak langsung mengekang laki-laki itu sendiri untuk mengungkapkan beberapa ekspresi yang dianggap sebagai ekspresi perempuan.

Mengenal Prinsip Ekologis

Beberapa Non Goverment Organitation (NGO) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan konsentrasi gerakan gender melakukan kerangka kerja ekologis sebagai landasan dalam upaya menghapuskan kekerasan terhadap perempuan dan mewujudkan tatanan sosial yang berkeadilan sosial gender (social-gender justice). Sebagaimana digambarkan oleh lima lingkaran konsentris dalam kerangka kerja ekologis tersebut, yaitu pada level individu, keluarga, komunitas hingga negara dan struktur global.

Harus disadari bahwa ketidakadilan dan tidak setara dalam ruang lingkup gender merupakan persoalan sosial yang dihadapi laki-laki dan perempuan. Keduanya dirugikan oleh situasi tersebut. Dalam sistem budaya patriarkhi, laki-laki akan lebih rentan menjadi pelaku, sedangkan perempuan rentan menjadi korban. Karenanya keadilan dan kesetaraan gender tidak bisa diwujudkan hanya dengan melibatkan perempuan saja.

Prinsip ekologis mengusahakan mengaitkan setiap persoalan kekerasan terhadap perempuan dengan ‘jaringan’ yang mempengaruhinya. Misalnya terjadi pemukulan suami terhadap istri yang enggan dilaporkan korban terhadap pihak yang berwajib disebabkan oleh banyak faktor. Jika dikaitkan dengan lima lingkaran konsentris dalam kerangka kerja ekologis, pada level individu perempuan itu sendiri merasa layak untuk dipukuli karena dia menganggap perempuan layak untuk dipukul ketika bersalah.

Pada level keluarga kondisi tersebut ditanamkan dan diteruskan secara turun menurun. Kemudian pada level komunitas biasanya masyarakat di sekitar enggan mencampuri urusan rumah tangga orang lain, banyak juga yang menganggap persoalan keluarga tabu untuk diperbincangkan termasuk kekeraan di dalamnya.

Pada level negara, terdapat kebijakan yang tidak sepenuhnya mendukung penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang kerap kali korbannya adalah perempuan. Misalnya terkait melaporkan kekerasan yang di alami oleh perempuan (atau sebaliknya) dalam kasus KDRT hanya menerima laporan dari korban, tidak bisa melalui keluarga atau saksi mata.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Permohonan dapat diajukan secara tertulis. Permohonan tersebut harus disetujui oleh korban. Namun dalam keadaan tertentu permohonan tersebut bisa diajukan tanpa persetujuan korban, dalam hal korban pingsan, koma, dan sangat terancam jiwanya.

Selanjutnya media yang memiliki peran dalam hal ini. Media kerap kali ‘menyudutkan’ perempuan dalam pemberitaan, termasuk ketika perempuan menjadi korban. Misalnya korban pemerkosaan dipersoalkan karen menggunakan pakaian terbuka, padahal pada faktanya kasus pemerkosaan juga banyak terjadi kepada perempuan dengan pakaian tertutup, bahkan terjadi pada anak-anak.

Terakhir, dalam struktur global, norma atau budaya yang cenderung menyebabkan perempuan sebagai komoditi. Seperti tafsiran beberapa teks agama yang kemudian menjadi ‘dalih’ untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan. Padahal ada banyak teks-teks agama yang mendukung terhadap kesetaraan, termasuk laki-laki dan perempuan di dalamnya.

Prinsip ekologis tersebut sebagai upaya meminimalisir kekerasan yang terjadi, khususnya kepada perempuan dengan melibatkan pihak-pihak yang terkait untuk bersama-sama menyadari bahwa ada kekerasan yang harus segera diakhiri.

Penulis: Ai Siti Rahayu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *