Oleh: Elvi Tursina Firanti, Muthia Arumdani, Shabrina Mutiara Agista
Kata “Non-Blok” diperkenalkan pertama kali oleh Perdana Menteri India Nehru dalam pidatonya tahun 1954 di Colombo, Sri Lanka. Dalam pidato tersebut, Jawarharlal Nehru menjelaskan lima pilar yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk membentuk relasi Sino-India yang disebut dengan Panchsheel (lima pengendali).
Prinsip ini kemudian digunakan sebagai basis dari Gerakan Non-Blok. Lima prinsip tersebut adalah saling menghormati integritas teritorial dan kedaulatan, perjanjian non-agresi, tidak mengintervensi urusan dalam negeri negara lain, kesetaraan dan keuntungan bersams dan menjaga perdamaian.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, tepatnya di era 1950-an negara-negara di dunia terpolarisasi dalam dua blok, yaitu Blok Barat di bawah pimpinan Amerika Serikat dan Blok Timur di bawah pimpinan Uni Soviet. Pada saat ini terjadi, pertarungan yang sangat kuat antara Blok Barat dan Timur, era ini dikenal sebagai sebagai era perang dingin (Cold War) yang berlangsung sejak berakhirnya Perang Dunia II hingga runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1898. Pertarungan antara Blok Barat dan Timur merupakan merupakan upaya untuk memperluas sphere of interest dan sphere of influence. Dengan sasaran utama perebutan perebutan penguasaan atas wilayah-wilayah potensial di seluruh dunia.
Dalam pertarungan perebutan pengaruh ini, negara-negara dunia ketiga (di Asia, Afrika, Amerika Latin) yang mayoritas sebagai negara yang baru merdeka juga terlibat. Masalahnya, perang dingin ini tidak hanya mempengaruhi perkembangan negara-negara di kawasan Eropa tapi negara-negara di kawasan Asia pun menjadi ajang perebutan pengaruh dua negara yang baru meraih kemederkaan dan negara yang baru meraih kemerdekaan akan mudah dipengaruhi.
Itu sebabnya negara adikuasa (Amerika dan ni Soviet) melihat semua itu sebagai wilayah yang sangat menarik bagi kedua blok untuk menyebarkan pengaruhnya. Akibat persaingan kedua blok tersebut, bahkan muncul beberapa konflik misalnya konflik yang terjadi di Asia, seperti Perang Korea dan Perang Vietnam.
Indonesia bisa dikatakan memiliki peran yang sangat penting dalam proses kelahiran organisasi ini. Lahirnya organisasi Gerakan Non-Blok dilatar belakangi oleh kekhawatiran para pemimpin negara-negara dunia ketiga terutama dari Asia dan Afrika terhadap munculnya ketegangan dunia saat itu karena adanya persaingan antara Blok Barat dan Blok Timur. Dalam kondisi seperti ini, muncul kesadaran yang kuat dari para pemimpin dunia ketiga saat itu untuk tidak terseret dalam persaingan antara kedua blok tersebut.
Gerakan Non Blok
Gerakan Non-Blok (GNB) atau Non Align Movement (NAM) adalah suatu gerakan yang dipelopori oleh negara-negara dunia ketiga yang beranggotakan lebih dari 100 negara-negara yang berusaha menjalankan luar negeri yang tidak memihak dan tidak menganggap dirinya beraliansi dengan Blok Barat atau Blok Timur. GNB merepresentasikan 55% penduduk dunia dan hampir 2/3 keanggoataan PBB. Mayoritas negara-engara anggota GNB adalah negara-negara yang baru memperoleh kemerdekaan setelah berakhirnya Perang Dunia.
Baca Juga: Gerakan Non Blok: Upaya Netral Indonesia dalam Situasi Perang Dingin
Dengan dipelopori oleh lima pemimpin negara Indonesia, India, Pakistan, Burma dan Srilanka. Terselenggaralah sebuah pertemuan pertama di Kolombo (Srilanka) pada April 28 April-2 Mei 1952, dilanjutkan dengan pertemuan di Istana Bogor pada 29 Desember 1954. Dua konferensi di atas merupakan cikal bakal dari terselenggaranya Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada 18 April-25 April 1955 yang dihadiri oleh wakil dari 29 negara Asia dan Afrika.
Namun, Gerakan Non-Blok dicetuskan antara lain oleh Ir.Soekarno dari Indonesia. KAA di Bandung merupakan proses awal lahirnya GNB. Tujuan diselenggarakannya KAA adalah mengidentifikasi dan mendalami masalah-masalah dunia pada waktu itu dan berusaha memformulasikan kebijakan bersama negara-negara yang baru merdeka tersebut pada tataran hubungan international.
Lalu selanjutnya, pembentukan organisasi Gerakan Non-Blok dicanangkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) I di Beogdad, Yugoslavia pada tanggal 1-6 September 1961 yang dihadiri oleh 25 negara dari Asia dan Afrika. Dalam KTT 1 tersebut, negara-negara pendiri GNB berketetapan untuk untuk mendirikan suatu gerakan dan bukan suatu organisasi untuk menghindarkan diri dari implikasi birokratik dalam membangun upaya kerjasama diantara mereka. Pada KTT 1 ini juga ditegaskan bahwa GNB tidak diarahkan pada suatu peran pasif dalam politik Internasional, tetapi untuk memformulasikan posisi sendiri independen yang merefleksikan kepentingan negara-negara anggotanya.
Sebagai negara yang sedang berkembang Indonesia ternyata mempunyai peranan yang cukup penting dalam Gerakan Non Blok. Indonesia tentu sangat berperan dengan organisasi Gerakan Non-Blok ini karena pencetusnya sendiri adalah orang Indonesia seperti yang telah disebut sebelumnya yaitu Ir. Soekarno. Adapun Indonesia pernah menjadi tuan rumah KTT Non-Blok pada tahun 1992 pada konferensi kesepuluh di Jakarta yang menghasilkan “Pesan Jakarta”.
GNB menempati posisi khusus dalam politik luar negeri Indonesia karena Indonesia sejak awal memiliki peran sentral dalam pendirian GNB. KAA tahun 1955 yang diselenggarakan di Bandung dan menghasilkan Dasa Sila Bandung menjadi prinsip-prinsip utama GNB, merupakan bukti peran Indonesia dalam mengawali pendirian GNB.
Politik luar negeri yang memihak pada salah satu blok akan menyukarkan kedudukannya ke dalam dan menjauhkan tercapainya konsolidasi. Terlepas dari cita-citanya yang subyektif dan historis akan hidup damai dan bersahabat dengan segala bangsa, masalah yang dihadapi RI memaksa dengan sendirinya melakukan politik bebas. Itulah sebabnya RI tidak memihak antara dua blok besar, blok Amerika dan blok Soviet.
Sebaliknya, jika Indonesia berada di luar blok bersama-sama dengan Negara-negara Nonblok lainnya, peranannya akan terlihat sebagai kekuatan moral dan diharapkan akan dapat meredam ketajaman konfrontasi Negara adikuasa jika Negara Nonblok bersedia bertindak secara kolektif sebagai penengah.
Bagi Indonesia, Gerakan Non Blok merupakan wadah yang tepat bagi Negara-negara berkembang untuk memperjuangkan cita-citanya dan untuk itu Indonesia senantiasa berusaha secara konsisten dan aktif membantu berbagai upaya kearah pencapaian tujuan dan prinsip-prinsip Gerakan Non Blok.
GNB mempunyai arti yang khusus bagi bangsa Indonesia yang dapat dikatakan lahir sebagai Negara netral yang tidak memihak. Hal tersebut tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa “kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia haurs dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Selain itu diamanatkan pula bahwa Indonesia ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kedua mandat tersebut juga merupakan falsafah dasar GNB.
Pada tanggal 2 September 1988, Menlu RI, Ali Alatas, mengutarakan “Indonesia telah dilahirkan sebagai Negara Nonblok.” Drs. Mohammad Hatta selaku Perdana Menteri di depan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tanggal 2 September 1948 mengatakan bahwa sebagai negar merdeka, Indonesia seharusnya menjadi subjek yang berhak menentukan sikap sendiri dan berhak memperjuangkan tujuannya sendiri tanpa menjadi pro-Rusia dan pro-Amerika.
Sesuai dengan politik luar negeri yang bebas dan aktif, Indonesia memilih untuk menentukan jalannya sendiri dalam upaya membantu tercapainya perdamaian dunia dengan mengadakan persahabatan dengan segala bangsa. Sebagai implementasi dari politik luar negeri yang bebas dan aktif itu, selain sebagai salah satu Negara pendiri GNB, Indonesia juga senantiasa setia dan commited pada prinsip-prinsip dan aspirasi GNB. Peranan Indonesia dalam penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika tidak terlepas dari tujuan Indonesia dalam mencapai kepentingan nasionalnya. Hal ini sejalan dengan definisi mengenai konsep kepentingan nasional yaitu, “Tindakan suatu negara selalu didasarkan pada kepentingan nasional, yakni kepentingan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan”.
Untuk aspek ideologi, Indonesia tidak ingin adanya negara-negara di kawasan Asia-Afrika yang terpengaruh oleh dominasi Blok Barat yang menganut sistem kapitalis dan Blok Timur yang menganut sistem komunis. Dari aspek kepentingan politik, yakni sebagai jalan untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara berdaulat di kancah internasional. Kemudian dari aspek ekonomi, Indonesia mampu membuat kesepakatan terkait kegiatan perdagangan dan investasi yang dapat dijalin melalui kerjasama oleh negara-negara di kawasan Asia dan Afrika.
Selanjutnya dari aspek budaya, Indonesia beserta negara-negara di kawasan Asia dan Afrika dapat menjalin kegiatan pertukaran budaya maupun penguatan budaya “ketimuran”. Dan juga dari aspek pertahanan dan keamanan, Indonesia akan dipandang oleh dunia sebagai negara yang memiliki “banyak sekutu” dan “banyak teman” sehingga memungkinkan tak ada negara luar yang berani mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setiap negara tentu memiliki tujuan untuk mencapai kepentingan nasionalnya masing-masing. Namun, hal tersebut bukan semata-mata hanya mementingkan tercapainya tujuan dari salah satu negara, tetapi untuk menunjukkan bahwa realisme tidak selalu mengandalkan kekuatan untuk mewujudkan perdamaian, tetapi dengan berdiplomasi dan bernegosiasi pun merupakan instrumen bagi suatu negara dalam memenuhi kepentingannya.
Kolaborasi Menulis: Elvi Tursina Firanti, Muthia Arumdani, Shabrina Mutiara Agista