Siaran Pers SETARA Institute, 14 Agustus 2021
Hari ini (14/8) terjadi penyegelan Masjid Ahmadiyah di Desa Balai Harapan Kecamatan Tempunak Kabupaten Sintang. Penyegelan dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sintang dan jajaran Forkompimda disana. Penyegelan tersebut merupakan buntut dari tuntutan Aliansi Umat Islam Kabupaten Sintang yang menolak keberadaan Jemaat Ahmadiyah. Selain itu, penyegelan juga merupakan puncak dari diskriminasi yang dilakukan oleh Pemerintah setempat terhadap Ahmadiyah.
Dalam penelusuran SETARA Institute, setelah beberapa waktu mempropagandakan penolakan terhadap Ahmadiyah dengan mengatasnamakan masyarakat Balai Harapan, Aliansi Umat Islam Kabupaten Sintang membuat Pernyataan Sikap berupa penolakan yang disampaikan kepada Pemerintah Kabupaten Sintang pada tanggal 12 Agustus 2021.
Baca Juga: Forum Nusantara, Ajang Perkuat Perdamaian dan Kesetaraan Gender
Sebelum itu, praktik intoleransi dan diskriminasi terhadap Ahmadiyah sebenarnya jauh-jauh hari sudah dilembagakan oleh Pemerintah Kabupaten Sintang. Pada tanggal 29 April 2021, Pemerintah Kabupaten menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Bupati Sintang, Kepala Kejaksaan Negeri Sintang, dan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sintang tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat di Kabupaten Sintang. SKB tersebut merupakan bentuk ketundukan Pemerintah Kabupaten Sintang pada kelompok intoleran.
Berkaitan dengan peristiwa tersebut, SETARA Institute menyampaikan beberapa pernyataan berikut.
Pertama, SETARA Institute mengutuk keras tindakan intoleransi dan diskriminasi terhadap JAI di Balai Harapan Tempunak Sintang serta penyegelan masjid mereka. Tindakan tersebut inkonstitusional sebab bertentangan dengan jaminan yang dinyatakan dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing”, sebagaimana termaktub pada Pasal 29 ayat (2).
Kedua, SETARA Institute mendorong agar Pemerintah Pusat, khususnya Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama untuk turun tangan menangani praktik intoleransi dan diskriminasi terhadap komunitas Ahmadiyah Sintang yang gagal ditangani secara presisi dan adil oleh Pemerintah Kabupaten. Kebebasan untuk memeluk agama dan beribadah dijamin oleh konsitusi negara, dimana Pemerintah sudah semestinya bersikap tegak lurus sesuai dengan amanat konstitusi dimaksud. Selain itu, agama bukanlah urusan pemerintahan yang didesentralisasikan kepada daerah, sehingga Pemerintah Pusat mestinya melaksanakan otoritas konstitusionalnya serta tidak mengambil tindakan cuci tangan dan melepas tanggung jawab konsitusionalnya dalam polemik keagamaan yang terjadi di daerah.
Ketiga, SETARA Institute mendesak agar Kepala Kepolisian RI menginstruksikan anggota kepolisian di daerah untuk memberikan perlindungan yang memadai bagi keselamatan jiwa Jemaat Ahmadiyah di Sintang dan melindungi hak-hak komunitas tersebut sebagai warga masyarakat yang harus dilindungi. Dalam penelusuran SETARA Institute, aparat kepolisian di Sintang terlibat aktif melakukan intimidasi dan memberikan tekanan terhadap warga Ahmadiyah disana.
Keempat, SETARA Institute mendorong elite-elite lokal di Sintang untuk tidak mempolitisasi isu Ahmadiyah disana. Plt Bupati hendaknya tunduk kepada ketentuan konstitusi dan pro-aktif melakukan penguatan kebinekaan dengan mendorong terwujudnya koeksistensi damai dalam perbedaan. Memanfaatkan isu Ahmadiyah untuk mendapatkan insentif politik dari kelompok yang mengatasnamakan mayoritas nyata-nyata merupakan tindakan tidak etis dan machiavellis (menghalalkan segala cara).
Kelima, berkenaan dengan intoleransi dan diskriminasi yang untuk kesekian kalinya menimpa Ahmadiyah dengan mengatasnamakan SKB 3 Menteri tahun 2008, SETARA Institute mendesak Pemerintah Pusat untuk mencabut SKB yang restriktif tersebut. Menurut penelitian SETARA Institute mengenai kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan, SKB tersebut telah menjadi pemicu bagi terjadinya ratusam peristiwa pelanggaran hak-hak warga Ahmadiyah. SKB tersebut juga memantik terbitnya puluhan produk hukum serupa di daerah. Yang lebih memprihatinkan, SKB selama ini telah dijadikan sebagai alasan pembenar bagi praktik intoleransi, diskriminasi, pengucilan, pembatasan, persekusi, bahkan kekerasan terhadap JAI. Padahal sebagai warga negara Indonesia, hak-hak mereka dijamin oleh konstitusi dan wajib dilindungi oleh negara, sebagaimana warga negara lainnya.[]
Narahubung:
Halili Hasan, Direktur Riset SETARA Institute, 0852 3000 8880
Syera Anggreini Buntara, Peneliti Kebebasan Beragama/Berkeyakinan SETARA Institute, 0851 6100 0197