Pentingnya Trauma Healing Pasca Konflik di Maluku

Kabar Utama446 Views

Kabar Damai | Jumat, 27 Mei 2022

Jakarta I Kabardamai.id I Konflik di Maluku yang terjadi pada tahun 1999 menjadi peristiwa pahit yang sudah sebaiknya kemudian menjadi refleksi dan kesadaran akan pentingnya perdamaian agar konflik tidak kembali terjadi. Terlebih, banyak konflik yang dianggap selesai tanpa adanya trauma healing hanya karena konflik mulai mereda sedangkan sebenarnya masih menyimpan bara didalamnya.

Pdt Jacky, aktivis perdamaian dan sekretaris umum PGI dalam kanal Suara Setara menyebutkan bahwa konflik-konflik sosial mengajarkan dengan adanya trauma healing, terlebih trauma healing semacam medical treatment sesuai dengan kondisi psikis individu. Pdt Jacky juga menceritakan bahwa pada awalnya pendekatan dan aksi yang dilakukannya punya dampak terhadap trauma healing.

Ia menyadari hal tersebut sampai hadirnya seorang profesor dari Virginia menuliskan sebuah artikel tentang gerakan tersebut dan masuk pada jurnal psikologi internasional sehingga ia memahaminya.

Lebih jauh, ia memberi contoh konkret, pada saat segregasi, ia mengambil satu anak dan dilakukan pendampingan terhadap anak tersebut dalam rangka transformasi diri yang dilakukan diruang publik. Hal ini dilakukan karena pada wilayah segregasi, narasi dominan bukanlah perdamaian melainkan dendam.

“Diwilayah segregasi, orang sharing tentang kemarahan karena mengidentifikasikan diri sebagai korban disitu dan sebaliknya,” ujarnya.

Baca Juga: Trauma Perempuan dan Anak Masyarakat Adat Besipae Karena Digusur dari Hutan Adat

Hal tersebut bukanlah hal yang mudah dan menjadi tantangan, pada ranah publik boleh jadi narasi damai diberikan, namun ketika ia kembali pada wilayahnya kemudian sulit untuk menjadi tokoh dominan untuk mempengaruhi masyarakat. Oleh karenanya, menurut Pdt Jacky trauma healing harus dilakukan dalam ranah domestik guna meningkatkan kesadaran masyarakat.

Berkaitan dengan tantara anak, kelompok anak-anak yang dulu dijadikan sebagai pasukan berperang dalam konflik Maluku, menyoal trauma healing tentu bukanlah hal yang mudah. Terlebih sejak belia, misal usia 10 tahun sudah ikut berperang dan juga membunuh dan mengganggap serta menginternalisasi konflik sebagai perang suci.

“Pasca itu, kita tidak menyelesaikan luka-luka masa lalu dan tidak hanya di Maluku. Trauma healing secara kolektif banyak yang tidak selesai karena tidak berdamai dengan masa lalu. Padahal itu hal yang salah,” katanya.

Walaupun berbagai upaya dilakukan, namun upaya-upaya yang ada tersebut masih saja dalam beberapa aspek ada yang membuat sebagian kelompok tidak tersentuh. Menurut Pdt Jacky, hal ini karena tidak ada center trauma healing. Walaupun sempat ada, pendekatannya kurang tepat karena menjadi hal yang terpusat, sedangkan konflik yang sudah mengakar ini seharusnya diredam dengan cara yang mobile dan dikembangkan dari komunitas ke komunitas.

Ditanya apakah ada kemungkinan potensi konflik yang pernah terjadi kembali terulang, Pdt Jacky memberikan kemungkinannya. Hal ini karena pada wilayah kultural pasti ada integrase yang sangat kuat dan ketika masuk ranah politik membuat narasi itu muncul kembali. Jelasnya dalam talkshow tersebut.

 

Penulis: Rio Pratama

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *