Pentingnya Perempuan dalam Partisipasi Publik

Kabar Puan655 Views

Kabar Damai | Kamis, 18 Maret 2022

Pontianak I Kabardamai.id I Dr. Ema Rahmaniah, akademisi Universitas Tanjungpura Pontianak yang juga aktif dalam isu perempuan dan politik menanggapi tentang peranan dan gerakan perempuan dari dahulu hingga saat ini. Perspektif ini ia bagikan bersamaan dengan peringatan IWD di Pontianak.

Gerakan perempuan yang berkembang hingga saat ini salah satunya dikenal dengan gerakan feminis. Namun, gerakan ini banyak ditolak  oleh masyarakat. Ema mengungkapkan bahwa menyoal penolakan ini, tidak hanya terjadi di Indonesia, sebenarnya banyak negara termasuk Eropa yang melakukan penolakkan akan feminisme. Tapi ini juga berkaitan dengan interpretasi atas nilai-nilai agama yang diyakini salah satunya. Karena kitab suci multi tafsir sehingga menimbulkan pro dan kontra.

“Kita dalam memahami agama sebenarnya adalah lentur, tapi bukan berarti melanggar. Dalam konteks ini mengapa ada penolakan, memahami agama tidak dalam konteks menyesuaikan dengan kondisi masyarakatnya,” ungkapnya.

Ema memberi contoh, ada aturan prostitusi dalam pemahaman pelaku prostitusi adalah perempuan yang kemudian disorot adalah perempuan. Akhirnya muncul perda yang isinya perempuan tidak boleh keluar malam dengan alasan perempuan memang tidak boleh keluar pada malam hari.

Padahal, yang tidak diperbolehkan keluar pada malam hari bisa laki-laki dan perempuan. Anggapan bahwa perempuan tidak baik sebenarnya adalah interpretasi, jika tentu dari kitab sucinya tentu tidak ada. Tetapi itu interpretasi atas pemahaman-pemahaman yang menyebutkan bahwa perempuan adalah sumber dari fitnah dan masalah dengan bukti adanya prostitusi dan lainnya.

Baca Juga: Virginia: Kekerasan Seksual Harus Dilawan, Jangan Takut Bersuara

Menurutnya, prostitusi ada karena supply dan demen, yang mensuply bisa laki-laki dan perempuan, yang menggunakan jasa protitusi juga bisa laki-laki dan perempuan. Artinya peraturan ini multi effect. Terbayang perempuan yang harus bekerja shift malam di pabrik atau di perusahaan yang kemudian tidak bisa keluar karena peraturan tadi. Akhirnya, upah menjadi berkurang, berpotensi dianggap tidak bekerja dengan profesional karena tidak menjalankan pekerjaan maksimal dan sebagainya.

Menurutnya pula, sangat bahaya sekali interpretasi atas ajaran agama yang salah.Konteksnya sebenarnya lentur dengan catatan bukan larangan terhadap laki-laki dan perempuan keluar malam. Perempuan bukan sumber fitnah dan masalah. Sumber masalah adalah ketika seseorang baik laki-laki dan perempuan punya keinginan dan menciptakan kesempatan untuk terjadinya kejahatan dan fitnah.

Perempuan, Kelompok Nomor Dua?

Pola patriarki yang mengakar dan diamini oleh banyak masyarakat Indonesia kerap menempatkan perempuan menjadi kelompok nomor dua. Menanggapi hal tersebut, Ema mengungkapkan bahwa  sekarang memang sudah berkurang, tapi ini masih menjadi pekerjaan rumah bersama dimana perempuan dianggap sebagai kelas dua dengan segala keterbatasannya.

Ketika perempuan dianggap sebagai kelas dua, dari dulu dan masih terjadi perempuan dianggap sebagai objek sek, objek kesenangan, objek eksploitasi kepentingan untuk mendapatkan untung sehingga tidak heran biasanya dalam menjual sesuatu seperti mobil hingga rumah dijadikan perempuan dengan pakaian terbuka dan terpajang bersama produk. Ini bahkan terjadi pula dalam dunia pendidikan tidak hanya usaha.

“Padahal perempuan jika diberikan kesempatan seperti laki-laki, ia tidak hanya bisa entertaint dibidang usaha konsumtif bahkan bisa pula dilayanan yang produktif seperti layanan kesehatan dan lainnya,” terangnya.

Partisipasi Perempuan dalam Ruang Publik

Menurut akademisi perempuan ini pula, perempuan harus terlibat dalam hal-hal yang berkaitan dengan ruang publik karena melakukan perubahan bukan kewajiban laki-laki. Itu kewajiban semua pihak. Kita tidak boleh membiarkan orang tertindas diam apalagi dibungkam. Siapapun yang memiliki kelemahan dan keterbatsan ditambah lagi dengan sistem yang menindas maka kita tidak boleh diam.

“Justru kita berharap, melakukan edukasi secara terus menerus karena ruang penindasan akan terus terjadi ketika ada penguasa dan ada yang dikuasai,” teganya.

Salah satu bentuk pengakuan bahwa perempuan tidak lagi menjadi manusia yang hanya mengikuti ritme dinyatakan dengan dilibatkannya kuota 30 persen perempuan dalam parpol.

Perihal kuota keterwakilan 30 persen dalam partai politik, Ema berharap tidak ada lagi kouta 30 persen tersebut.

“Jika bisa lebih dari 30 persen apa yang salah. Membatasi itu karena kerja politik, tapi kita berharap sebenarnya tidak ada limitation, kalau perempuan punya kapasitas maka mau berapa persenpun tetap didukung, yang penting adalah keberpihakan,” ungkapnya.

Ema menimpali, misalnya perempuan keterwakilannya sampai 50 hingga 60 persen tapi tidak memiliki keberpihakan tentu kita juga marah. Maka yang kita harapkan adalah meningkatnya keterwakilan perempuan sejalan juga dengan keberpihakan yang adil gender tadi. Kita menyuarakan itu. Jangan sampai kita disesatkan dengan kerja politik yang fokus pada 30 persen keterwakilan. Padahal yang penting adalah keberpihakan.

Terakhir, ia berharap perempuan dapat terus mendapatkan tempat. Selain itu, dapat memaksimalkan apapun perannya demi kebaikan dirinya dan orang lain.

“Ketika anda dilahirkan sebagai perempuan, anda sedang memperjuangkan diri anda sendiri dengan Tuhan yang anugerah. Jika anda perempuan, anda diberi anugerah salah satu peran yang tidak dimiliki oleh laki-laki dan itu perjuangan,”.

“Saya berharap jangan jadikan itu sebagai hambatan dan masalah untuk menjalankan peran yang lain menuju jalan kebaikan. Peran reproduksi, sosial dan politik kerjakan dengan maksimal,” pungkasnya.

Penulis: Rio Pratama

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *