- Kabar Damai | Selasa, 18 Oktober 2022
Jakarta I kabardamai.id I Penghargaan sebagai Bapak Toleransi Beragama yang diberikan kepada Anies Baswedan di akhir masa jabatannya sebagai gubernur DKI Jakarta menuai banyak kritik. Penghargaan tersebut dinilai hanya untuk pencitraan, bahkan diketahui syarat rekayasa.
Ahmad Nurcholish, direktur program Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) menyebut bahwa penghargaan tersebut tidak layak diberikan kepada Anies Baswedan yang memenangkan Pilkada DKI Jakarta 2017 silam.
“Kita sama-sama tahu bahwa Anies Baswedan memenangkan Pilkada DKI dengan memainkan politik identitas yang mengakibatkan polarisasi di tengah masyarakat Jakarta yang majemuk. Akibatnya, masyarakat terpecah-belah dan merusak tatanan keharmonisan warga,” terang Nurcholish.
Oleh karena itu, imbuh penggiat toleransi dan perdamaian ini, Anies tak pantas menerima penghargaan sebagai bapak toleransi. Ia menyebut penghargaan tersebut kentara dengan nuansa pencitraan untuk membangu citra diri Anies sebagai orang yang toleran terhadap keragaman agama.
“Saya menduga penghargaan tersebut untuk pencitraan Anies agar dikenal sebagai tokoh yang toleran. Tujuannya tidak lain agar masyarakat Indonesia, khususnya non-Muslim tertarik untuk memilihnhya sebagai presiden pada pemilu 2024 mendatang,” ungkap lelaki yang kerap disapa Cak Nur ini.
Nurcholish berharap masyarakat tak tertipu dengan model membangun citra baik dengan cara-cara yang tak sesuai dengan kenyataan tersebut.
“Ini bisa berakibat fatal bagi kita masyarakat Indonesia. Memilih calon presiden harus benar-benar orang yang memahami kemajemukan bangsa dan memiliki karakter toleran, menjunjung tinggi kesetaraan. Jadi nggak sekadar pencitraan,” tandas dosen religious studies ini.
Syarat Rekayasa
Selain sebagaimana diungkapkan oleh Nurcholish di atas, belakangan diketahui bahwa penghargaan tersebut syarat rekayasa. Hal ini sebagaimana munculnhya sejumlah klarifikasi dari orang-orang yang bertandatangan di piagam penghargaan yang diberikan oleh Forum Persaudaraan Antar Iman (FORSAI) pada acara pelepasan Gubernur DKI Jakarta tersebut pada Minggu, 16 Oktober 2022.
Diketahui, penandatangan penghargaan yang diatasnamakan tokoh agama adalah Habib Muhsin Allathas sebagai tokoh Islam, Tokoh Umat Hindu Nengah Darma, Tokoh Umat Katolik Crishtoporus Roe, Tokoh Umat Konghucu Ws. Liem Liliana Lontoh, Tokoh Umat Kristen Pdt A. Shephard Supid dan Tokoh Umat Buddha Jandi Mukianto.
Baca Juga: Our Collective Duty: Building Inclusive Communities
Tokoh umat Katolik Christoporus Roe secara pribadi merasa jika ada oknum yang mencatut namanya di dalam piagam tersebut. Dia mengaku keberatan karena dirinya memang tidak menghadiri acara pelepasan Gubernur DKI Jakarta itu dan bahkan tidak pernah menandatangani piagam penghargaan tersebut.
“Dengan ini saya menyatakan keberatan dalam tulisan dan tanda tangan sebagai tokoh umat Katolik pada Piagam Penganugerahan kepada Bapak Anes Rasyid Baswedan sebagai Bapak Toleransi Beragama oleh Forum Persaudaraan Antar iman (FORSAI) pada tanggal 16 Oktober 2022 di Kantor Balaikota Prov DKI Jakarta dikarenakan saya tidak hadir dalam acara penganugerahan tersebut dan saya juga tidak menandatangani piagam tersebut pada acara Pelepasan Bapak Gubemur Anis Baswedan,” tulisnya dalam surat bermaterai 10.000 yang dipublikasikannya.
Terkait dengan sebutan tokoh agama Buddha Jandi Mukianto, juga diklarifikasi oleh Henry Chan dari Majelis Buddhayana Indonesia. Dalam WhatsApp Grup ICRP Damai, ia menyebut bahwa Jandi merupakan anak muda bukan Pandita.
“Maaf, Jandi bukan tokoh agama Buddha. Anak muda bukan Pandita, dan bekerja sama Bu Hartati,” tulisnya.
Sebelumnya, Eks Kader Partai NasDem Niluh Djelantik di akun sosial medianya, Senin, (17/10/2022), mempertanyakan tokoh Hindu yang tertera di piagam penghargaan tersebut.
“Masyarakat Hindu di Indonesia ada yang kenal dengan tokoh Umat Hindu yang tertulis di piagam ini ? Anugerah ini apa dasarnya ? @GlHindu mohon pencerahannya,” ujarnya melalui akun instagramnya.
Ketua Matakin (Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia) DKI Jakarta, Liem Liliany Lontoh juga menyampaikan bantahannya. Ia merasa tidak pernah dilibatkan dalam penghargaan tersebut. Ia mengatakan bahwa dirinya tidak ikut menandatangani piagam tersebut.
“Saya tidak ke lokasi, dan itu bukan tanda tangan saya melainkan perwakilan saya,” ujar Liliany kepada direktur eksekutif ICRP Pendeta Franky Tampubolon yang mengklarifikasi terkait hal itu, Senin, 17 Oktober 2022. [ ]
Penulis: Ai Siti Rahayu