Ahmad Nurcholish
Pada saat membuka pendaftaran untuk PTI 1 Jakarta – Semarang pada Agustus 2017 silam, kami sempat agak ragu. Apakah program ini ada orang yang tertarik untuk mengikutinya? Apalagi setiap peserta harus membayar sejumlah biaya untuk program tersebut. Tapi kami bertekad untuk selalu optimis. Segera membuat media publikasi, lalu disebar melalui media social masing-masing.
Tak disangka. Dalam kurun seminggu delapan orang sudah ada yang mendaftar. Pada pekan kedua publikasi menjadi 19 orang. Ketika masa pendaftaran berakhir pada pekan ketiga sudah ada 27 orang peserta. Menariknya, dari jumlah tersebut mereka dari latar belakang agama yang berbeda pula sebagaimana kami inginkan. Ada dari Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Baha’i, Sikh, Sapta Darma, dan Kapribaden. Dua peserta adalah warga negara Lesotho dan Malawi dari benua Afrika.
Dua puluh tujuh orang sebetulnya masih kurang dari ekspektasi kami yang menargetkan 30 orang peserta. Tapi bagi kami untuk program pertama rasanya patut untuk disyukuri. Di Semarang sendiri kami bekerjasama dengan Pelita (Persaudaraan Lintas Agama) yang dinahkodai oleh Setyawan Budy. Pelita ini yang menjadi mitra local dalam mempersiapkan seluru agenda kegiatan ketika kami berada di Semarang.
Pelita pula yang kemudian menggandeng beberapa ormas social keagamaan untuk turut bekerjasama yang ternhyata merupakan anggota dari wadah lintas agama tersebut. Mereka adalah EIN Institute, Gereja JAGI Semarang, Jemaat Ahmadiyah Semarang, LBH Semarang, eLSA Semarang, Hikmahbudhi Semarang, Komunitas Gusdurian Semarang, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Semarang, Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (Kom HAK-KAS), Institute of Peace and Security Studies (IPSS), Peace Hub Community, MATAKIN Semarang, dan Peradah Semarang.
“Keunikan dan keragaman budaya, identitas, suku bangsa, bahasa, juga keyakinan dan agama adalah rahmat dari Sang Pencipta Kehidupan. Walau masing-masing kita tentu memiliki pandangan dan keyakinan yang berbeda satu sama lain, kita dipanggil untuk terus bergandeng tangan, berpegang erat, sebagai sesama musafir kehidupan, di sini, kini. Sebagai warga Republik Indonesia yang kaya akan khazanah suku bangsa dan budaya, kita harus secara aktif menjaga harmoni dan stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara yang kondusif, damai dan humanis, mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan golongan dan kepentingan kelompok kita masing-masing. PELITA dengan senang hati bekerja sama dengan pihak mana pun dan menyambut siapa saja yang ingin merawat kebangsaan dan melindungi kebhinnekaan,” kata Setyawan Budy, Koordinator Persaudaraan Lintas Agama Semarang.
Dari antusiasme peserta maupun mitra kerja di Semarang membuka mata kami bahwa ternyata masih banyak kaum muda yang memiliki kepedulian terhadap keutuhan bangsa dan Negara. Mereka juga bersemagat belajar mengenal perbedaan, menumbuhkan semangat toleransi serta bersama-sama bergandeng tangan mewujudkan perdamaian.
Sebelumnya, kami selalu menemukan pengalaman yang mengenaskan. Tiap kali hadir dalam event-even lintas agama selalu yang terdengar adalah, “Lo lagi, lo lagi’. Artinya yang hadir ya orang itu-itu saja. Tak kurang, tak lebih. Dari kegiatan satu ke kegiatan lain, dari program satu ke program lain yang mengikuti adalah orang-orang yang sama. Yang berbeda hanya sebagian saja. Bisa dihitung dengan jari tangan.
Tapi, dengan terselangaranya PTI ini – dari PTI 1 hingga PTI 11 kami menilai bahwa di luar sana ternyata masih banyak orang yang memiliki keprihatan yang sama. Prihatin atas berbagai persoalan yang masih menyelimuti negeri ini. Khususnya terkait dengan masalah intoleransi, radikalisme dan terorismen. Mereka inilah generasi penerus bangsa yang memiliki kepedulian dalam menjaga kebinekaan dan merawat persatuan dan perdamaian yang kita imlikan bersama.
Dari PTI ini pula kami kian memiliki harapan, bahwa kita tidak perlu lagi merasa psimis dalam menatap masa depan bangsa. Selama msih banyak kaum muda yang memiliki pikiran terbuka, moderat dalam beragama dan selalu siap sedia untuk bekerjasama membangun bangsa, maka kita kelak akan tampil menjadi bangsa dan Negara yang kuat dan bersahaja. Ini bukan hal yang berlebihan. Saat ini saja sudah banyak orang-orang dari berbagai Negara datang ke Indonesia untuk belajar bagaimana kita merawat kebinekaan dan menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul.
Hal itu menunjukkan bahwa kita masih dipandang menjadi Negara-bangsa yang patut diperhitungkan. Kita bukan bangsa yang kecil. Bukan pula bangsa yang kerdil. Dari banyak pengalaman panjang sebelum dan sepanjang Negara ini berdiri justru telah memberikan pengalaman berharga untuk merawat keutuhannya sekaligus menjaganya agar selalu hidup dalam kerukunan, toleransi dan perdamaian. [ ]
Penulis adalah Co-Founder Peace Train Indonesia, Deputy Direktur Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) dan dosen Religious Studies Universitas Prasetiya Mulya, Tangerang – Banten.