Patung Maung Lodaya Lambang Toleransi dan Persaudaraan

Kabar Utama1322 Views

Kabar Damai | Minggu, 16 Oktober 2022

Kuningan | kabardamai.id | Patung Maung Lodaya karya dari Maestro Dunia, Nyoman Nuarta, sebagai lambang toleransi dan persaudaraan. Selain itu, Patung Maung menunjukan kedekatan sang Maestro dengan Pangeran Djatikusumah, diserahkan sebagai bentuk penghormatan sebagai teman lama, sang maestro dengan Pangeran Djatikusumah.

“Patung Maung ini menggambarkan sikap keteguhan, kebijaksanaan, dan harga diri dari pribadi Rama”, jelas Nyoman dalam sambutannya.

Mengusung tema Bali ka Sunda, patung ini dimaksudkan Nyoman sebagai bentuk solidaritas masyarakat Bali dalam hal ini sebagai masyarakat yang terus melestarikan budaya seperti Masyarakat adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan. “Kami merasakan rintangan yang sama, seperti yang dilalui oleh Rama”, ujar Nyoman.

Pangeran Djatikusumah dalam peringatan Milangkala Pupuhu (ulang tahun) Pangeran Djatikusumah ke-93 tahun – Foto Oleh Ai Siti Rahayu

Hadiah Tali Kasih

Acara bertema BaliKaSunda ini juga dilaksanakan sebagai bentuk  pertautan dua sahabat antara Pangeran Djatikusuma dengan I Nyoman Nuarta, seorang seniman dan budayawan pematung yang memberikan hadiah tali kasih
berupa patung Maung Lodaya.

Diresmikan pada Sabtu(15/10) yang bertepatan dengan peringatan Milangkala Pupuhu (ulang tahun) Pangeran Djatikusumah ke-93 tahun. Dewi Kanti, selaku Girang Pangaping Adat Karuhun Sunda Wiwitan menjelaskan bahwa peresmian Patung Maung sengaja diadakan bertepatan dengan hari lahir sang ayahanda.

Baca Juga: Nia Sjarifudin: Sunda Wiwitan Seperti Rumah Saya Sendiri

Ia menambahkan, ini merupakan hadiah yang dipersembahkan untuk ayahanda dari sahabatnya Nyoman. Meski persiapan acara ini dilakukan cukup singkat namun tidak mengurangi hikmat dan kemegahan acara.

“Diadakan secara bersamaan sebagai hadiah untuk ayahanda kami yang memperingati hari lahir yang ke-93, walau persiapan hanya satu bulan”, jelas Dewi.

Akar Budaya Bali dan Sunda

“Spirit yang kami pahami dari kegitan ini adalah antara budaya Bali dan Sunda itu masih memeiliki akar budaya yang sama dimana kita sebagi manusia nusantara yang memiliki karakter bangsa, jiwa bangsa pancasila dan
pemaknaan BaliKaSunda bukan terhada etnis tetapi terhadap filosofi, filosofi Bali kembali pada Sunda,” tambah Dewi putri Pangeran Djatikusumah tersebut.

Sunda dimaknai sebagai cahaya pencerahan dan perdamaian, kita sebagai bangsa harus kembali pada akar jati diri bangsa juga akar jati diri manusia sehingga tidak lepas dari nilai kemanusiaan dan nilai kebudayaan.

Acara dibuka dengan Tarian Puraga Baya Gebang, dan tarian khas Bali yang dipadukan dalam memeriahkan acara ini. Dilanjutkan dengan persembahan deretan nasi tumpeng yang dibawa oleh ibu-ibu Cigugur diantaranya tumpeng beubeutian, putih, hitam, kuning, dan kacang-kacangan sebagai tanda penghormatan untuk tamu undangan.

Kegiatan ditutup dengan prosesi sungkeman oleh putra-putri dan keluarga kerajaan kepada Rama dan Ambu.

 

Penulis: Amatul Noor

Editor: Ai Siti Rahayu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *