Pancasila: Filsafat Dialektika Harmoni Ala Indonesia

Kabar Persma117 Views

Oleh: Rizki Hariri

Setelah 4 tahun berkutat pada filsafat Barat, Timur dan Islam di bangku kuliah, lantas saya bertanya-tanya, apakah Indonesia benar-benar tidak memiliki pemikiran filsafat yang dilahirkan secara “mandiri” oleh pemikir-pemikir nasional setidaknya seperti di negara-negara Timur (Tiongkok, Jepang dan India)? Apakah tokoh-tokoh pemikir Indonesia menderita kemiskinan orisinalitas, atau hanya sekedar tak terekspos seluas-luasnya sehingga diakui oleh dunia? Pertanyaan itu yang coba saya cari belakangan ini dan coba saya uraikan pada tulisan singkat ini.

Filsafat merupakan suatu diskursus ilmu yang unik. Ia berdiri sendirian di belakang layar kontestasi ilmu-ilmu terapan seperti matematika, fisika, kimia hingga seni dan sastra. Lebih dari itu, filsafat bahkan disebut sebagai asal mula berbagai ilmu terapan. Keunikan-keunikan tersebut memantik saya untuk mencari lebih jauh filsafat yang asli lahir dari pemikir-pemikir Indonesia.

Definisi filsafat sejauh ini masih berputar dalam kesimpang-siuran. Setiap orang yang disebut sebagai filsuf di masa lampau memiliki definisinya masing-masing tentang filsafat. Phytagoras, misalnya, menjadi orang pertama yang menyebut istilah philoshopos (kecintaan pada kebijaksanaan). Istilah ini lalu digunakan Plato untuk menyebut gurunya, Socrates, yang telah menciptakan istilah sophos. Istilah sophos ini digunakan untuk menyebut pendidik atau orang bijak pada zaman Yunani kuno.

Ibnu Sina, seorang filsuf muslim mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan yang berupaya untuk mencari hakikat kebenaran. Di Barat, Thomas Hobbes, seorang filsuf Inggris mendefinisikan filsafat sebagai ilmu yang berupaya menjelaskan hubungan sebab dan akibat suatu perubahan.

Baca Juga: BPIP dan Karang Taruna Kolaborasi Gotong Royong Bumikan Pancasila

Nah, dari berbagai definisi yang demikian beragam, apakah pemikir-pemikir di Indonesia dari masa Nusantara hingga sekarang tidak ada satupun yang masuk ke dalamnya? Jika hanya dibatasi pada orang-orang yang mencintai kebijaksanaan, tentu saja Indonesia punya jutaan tokoh yang berlaku demikian. Namun, apakah pertanyaan ini selesai begitu saja? Jawabannya: sayangnya tidak.

Pada tahun 1940, seorang cendekiawan Belanda, Dr. I. J. Brugmans menyatakan bahwa berbeda dengan India yang memiliki filsafat sendiri, Indonesia tidak memiliki filsafat yang orisinal. Pendapat ini lalu dikritik oleh seorang pakar sastra Jawa dan budayawan, Peter Josephus Zoetmulder.

Bagi Zoetmulder, filsafat dapat didefinisikan sebagai pencarian tentang hakikat wujud yang sifatnya mendalam dan mendasar. Definisi ini dapat ditemukan pada kebudayaan jawa, misal pada karya-karya sastra Jawa seperti Serat Centini, Serat Wirid Hidayat Jati, dan karya-karya lain atau hasil pemikiran yang diaplikasikan melalui cara orang-orang Jawa menjalani kehidupan sehari-hari.

Memang, perlu diakui bahwa pemikiran-pemikiran asli Jawa, misal, masih kurang tercatat secara sistematis seperti karya-karya filsafat yang ada di Barat. Pemikiran filsafat Jawa biasanya tertuang pada serat-serat, karya sastra atau cerita-cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut. Jika hanya karena demikian, lantas pantaskah produk-produk pemikiran kebijaksanaan  tersebut dikatakan sebagai filsafat yang tidak orisinal?

Di Barat dan di Timur, kita mengenal berbagai karya sastra yang dianggap sebagai karya yang filosofis. Filsafat Cina misal, banyak produk-produk filsafat yang hanya dihasilkan melalui lisan yang disebarluaskan oleh pengikut seorang filsuf dari mulut ke mulut. Dari Perancis kita mengenal Albert Camus dan Jean Paul Sartre yang menuangkan pemikiran-pemikiran filsafatnya melalui karya sastra. Jika orisinalitas filsafat di Indonesia dipersoalkan karena kurangnya sistematisasi pemikiran, maka rasa-rasanya kurang tepat menyebut pemikiran filsuf-filsuf Indonesia tidak orisinal.

Lebih jauh dari itu, mari kita melihat budaya filsafat Barat yang bercorak dialektik (saling bantah) sebagai pembanding. Agaknya di sinilah kita dapat menemui jalan keluar mengenai apakah Indonesia memiliki filsafat asli atau tidak. Mohammad Nasroen, dalam buku berjudul Falsafah Indonesia yang termasyhur, berpendapat bahwa filsafat di Indonesia memiliki corak yang jelas berbeda dengan filsafat Barat atau Timur. Corak unik yang dimiliki oleh filsafat di Indonesia adalah visinya yang anti terhadap dialektika perbedaan. Filsafat di Indonesia berusaha untuk tidak melihat perbedaan sebagai sekedar perbedaan. Filsafat Indonesia menelaah lebih jauh masalah perbedaan menjadi sebuah harmoni yang menyatukan.

Filsafat dialektika harmoni ini lantas menjadi falsafah hidup masyarakat Indonesia sekarang ini. Filsafat ini terealisasikan melalui kerukunan antar umat beragama, antar suku hingga golongan. Lima sila dalam Pancasila merupakan bentuk sistematisasi filsafat dialektika harmoni ala Indonesia.

Sumber:

  • Mengenal Filsafat Lebih Dekat Karya Dr. M. Taufik Mandailing
  • Filsafat [di] Indonesia: Pelangi Nusantara Karya Dr. A. Setyo Wibowo, SJ., dkk

 

Rizki Hariri, Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *