Kabar Damai | Kamis, 09 Juni 2022
Jakarta | kabardamai.id | Konferensi Analisis papua Strategis yang digelar di Biak, 28-30 April 2022 dilaksanakan untuk terus mendorong pemerataan pembangunan ke Kawasan Timur Indonesia, tidak terkecuali di wilayah Papua dan Papua Barat. Hal ini sesuai dengan visi misi Presiden Jokowi, yiatu SDM Unggul Indonesia Maju dan menjadikan Papua sebagai masa depan Indonesia menghadapi era Pasifik.
Sebagai jembatan peradaban pembangunan, Analisis Papua Strategis mengajukan tiga isu strategis yang menjadi pembahasan utama dalam konferensi, yaitu: Papua Business Forum, Papua Transportation Forum, dan Forum Masyarakat Adat Papua & Agama.
Membahas isu masyarakat adat dan agama, Analisis Papua Strategis mempertemukan tokoh agama dan adat untuk membangun infrastruktur sosial di tengah masyarakat. Analisis Papua Strategis berharap agama dan adat mempunyai sistem sosial yang akan menjadi indikator keberhasilan kebijakan pembangunan.
Posisi Papua di Pasifik berada di daerah yang paling strategis, untuk itu Indonesia perlu membangun kekuatan dan strategi diplomasi Indonesia di kawasan Pasifik dengan menggunakan paradigma baru, lompatan baru dan juga pendekatan baru. Hal ini disampaikan oleh Laus Deo Calvin Rumayom, Ketua Analisis Papua Strategis dan Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Cenderawasih, Jayapura Papua.
Pendekatan baru dilakukan dengan connecting people. Diplomasi Indonesia harus melihat bagaimana caranya melakukan connecting people. Masyarakat seharusnya tahu tentang apa yang bisa Indonesia lakukan di Kawasan Pasifik, karena Pasifik pasti menyediakan akses tersebut jika ada relasi yang terhubung.
Nilai Oikumene Sebagai Pendekatan Baru
“Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) dengan Nilai Oikumene seharusnya menjadi kekuatan dan basis untuk menghubungkan Papua dengan Kawasan pasifik melalui riset,” ungkap Laus dalam perbincangan bersama Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) yang merupakan Rumah Perdamaian bagi semua Agama di Indonesia, Jumat (3/6/2022).
Oikumene sebagai gerakan “satu rumah”, menyiratkan bahwa seluruh umat kristiani di berbagai belahan dunia sejatinya hidup berdampingan dalam satu rumah yang sama, yaitu rumah Tuhan.
Gereja Sebagai Mitra Strategis
Dengan nilai tersebut gereja harus disasar menjadi mitra strategis. Karena gereja, di seluruh dunia terutama di Asia-Pasifik bisa memberikan masukan dan bantuannya terhadap gereja di Papua.
Salah satu media yang cukup kuat untuk mengkontruksi cara berpikir gereja-gereja di Papua adalah dengan riset yang dilakukan di Pasifik. Riset ini harus sampai pada tahap implementasi Peran Kementerian Budaya dan Pendidikan tentunya sangat dibutuhkan untuk mendukung riset-riset tersebut.
Baca Juga: Papua Sebagai Kekuatan Indonesia Menghadapi Dinamika Geopolitik di Pasifik
Gereja-gereja merupakan bagian integral dari sistem sosial. Secara khusus gereja berada dekat dengan pusat-pusat kekuasaan dan aktivitas-aktivitas politik terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat.
Hal ini berarti berarti gereja mempunyai akses untuk turut terlibat dalam ranah publik dan dapat memengaruhi proses pembahasan serta pengambilan keputusan-keputusan terkait arah dan kebijakan pemerintahan.
Laus menambahkan, “Gereja seharusnya memperkuat posisi negara. Namun sebaliknya Indonesia justru berada dalam posisi yang saling tidak support, ini terjadi karena kita tidak membangun mekanisme yang kuat. Jangan sampai kita kehilangan nilai dari gereja terhadap nilai-nilai pembangunan.”
Membangun Mekanisme yang Kuat dengan Riset
Mekanisme yang kuat adalah riset dan bagaimana kita bisa mengimplementasikan hasil riset tersebut terhadap projek-projek antara agama dan pemerintah baik dengan Kementerian Agama atau Kementerian lainnya.
Indonesia perlu melakukan riset mengenai konstruksi lokal mengenai bagaimana orang Papua melihat dunia, bagaimana mereka merespon dan bagaimana mereka menghadapainya. Seperti halnya bagaimana Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) memahami gereja-gereja di Papua atau bagaiamana PGI memahami gereja-gereja di Pasifik dalam konteks theology masa depan gereja.
“Dengan begitu, ini akan sangat menolong perspektif negara, karena negara ini, tidak bisa bergerak hanya karena regulasi tetapi harus juga dengan connecting people atau membangun relasi,” ungkapnya.
Indonesia tidak meletakan tokoh dan lembaga agama dalam kerangka strategis. Sehingga ketika rivalitas politik di Pasifik memanas, tidak ada koneksi yang dapat menghubungkan Indonesia dengan negara-negara di Pasifik tersebut.
Negara adalah Manusia
“Negara adalah manusia, dan manusia harus memiliki relasi. Melalui lembaga agama dan PGI sebagai anggota Dewan Gereja-Gereja se-Dunia (DGD), Indonesia bisa lebih mudah untuk mengambil peranan di pasifik,” beber Laus.
Riset ditingkat regional juga menjadi mekanisme yang sangat penting, dan harus memiliki forum. Agama bisa melakukan kerjasama untuk beridiskuai tentang perdamaian, maritim surveillance, melakukan pemberantasan Illegal Unreported and Unregulated (IUU), dan perubahan iklim dalam perspektif kawasan. Sehingga melalui masyarakat agama, kita bisa membantu kesulitan negara dalam menghadapi soal-soal politik ini.
Untuk melihat Indonesia kedepan, kita harus memposisikan Papua dalam kerangka Strategis Indonesia untuk Pasifik dan orang Papua harus turut berperan.
“Jika kita membicarakan ini dalam kerangka birokrasi maka akan sulit, tetapi jika dalam kerangka gereja, hal ini akan menjadi mekanisme yang sangat relevan dan paling bisa untuk kita mendapatkan titik temu,” tegas Laus.
“Masa depan dunia ada di Pasifik, membangun Papua berarti membangun kekuatan dan kejayaan Indonesia di Pasifik,” tutupnya.
Pasca Konferensi, Analisis Papua Strategis terus berupaya memberikan porsi lebih besar terkait masyarakat adat dan agama. APS bersama ICRP akan mempertemukan Lembaga dan Tokoh agama di Indonesia yaitu Pengurus besar Nahdhlatul Ulama (PBNU), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) untuk merespon bagaimana pergerakan di Pasifik dan peranan Agama-agama dalam persoalan di wilayah Pasifik.
Penulis: Ai Siti Rahayu